Menghadapi anak tantrum memang nggak mudah. Terlebih saat menghadapi anak berkebutuhan khusus yang sedang tantrum. Harus bagaimana menyikapinya?
Bingung, kesal, malu, dan ujung-ujungnya mau marah. Mungkin empat perasaan ini cocok menggambarkan situasi ketika menghadapi anak tantrum, khususnya ketika berada di pusat keramaian. Hampir empat tahun lalu, ketika Bumi, anak saya masih berusia 2 tahunan, saya pernah menghadapi kondisi seperti ini.
Dimulai dengan aksi merengek, berteriak, lalu nangis menggerung-gerung. Kesal? Jelaslah. Waktu awal, sih, saya malah ikutan kepancing jadi marah. Bahkan, sempat bertanya-tanya, wajar nggak sih, sikap anak seperti ini? Masa iya, ketika nangis minta sesuatu tapi nggak dipenuhi jadi ‘ngamuk’ nggak jelas kaya begini?
Baca ini juga : Selesaikan Tantrum Sejak Dini Yuk
Pelan-pelan saya pun belajar untuk memahami bahwa situasi yang dinamakan sebagai tantrum merupakan kondisi di mana seorang anak memang sulit mengontrol emosinya. Makanya berujung dengan polah yang berlebihan dan bikin orangtua pusing. Biasanya, nih, perilakunya seperti menangis berlebihan, menjerit, bahkan sampai berguling-guling hingga ada keinginan untuk menyakiti dirinya sendiri. Kondisi ini dianggap ‘nomal’ terjadi bagi anak-anak yang memasuki usia 2 tahun, ketika mereka belajar membentuk kesadaran diri karena 23 sampai 83 % dari anak usia 2 hingga 4 tahun pernah mengalami temper tantrum.
Irma Gustiana, M.Psi, Psi, Psikolog Anak dan Keluarga juga menjelaskan bahwa kondisi tantrum ini sangat berkaitan erat karena memang anak usia balita belum bisa memahami kata “aku” dan “keinginan dirinya” namun mereka bisa tahu bagaimana memuaskan apa yang diinginkan. Jadi, tantrum merupakan hasil dari energi tinggi dan kemampuan yang tidak mencukupi dalam mengungkapkan keinginan atau kebutuhan dalam bentuk sebuah kalimat.
Kondisi ini pun tentu saja juga berlaku bagi anak-anak yang memiliki kebutuhan khusus. Bahkan seperti yang dijelaskan oleh Mbak Irma, tantrum pada anak ABK memang lebih berat. Contohnya saja, anak-anak dengan autistic yang berat, karena ketidakmampuannya berkomunikasi, akan bereaksi berlebihan bila kebutuhannya atau keinginannya tidak terpenuhi.
Apa yang perlu dilakukan saat menghadapi anak berkebutuhan khusus yang sedang tantrum? Dalam hal ini Mbak Irma bilang, kalau pada dasarnya menghadapi anak berkebutuhan khusus yang sedang tantrum tidak berbeda jauh dengan anak kebanyakan. Apa saja?
Ciptakan ‘safety area’
Maksudnya, saat anak berkebutuhan khusus, mereka sedang tidak bisa mengontrol emosinya. Sebelum terjadi sesuatu yang membahayakan, coba pastikan kalau di area tersebut tidak ada anak lain atau benda-benda berbahaya di sekitar anak. Jika anak dalam keramaian, segera pindahkan anak ke area lain yang lebih aman atau sepi.
Tetap tenang, kontrol emosi
Biasanya, nih, banyak orangtua yang panik bahkan jadi senewen kalau melihat anaknya tantrum. Padahal, kondisi seperti sama sekali tidak diperlukan bahkan bisa memperparah anak tantrum. Oleh karena itu, Mbak Irma mengingatkan bahwa orangtua perlu mengontrol emosi sehingga tidak berlebihan dalam memberikan respon. Tapi saya percaya, semua orangtua yang memiliki anak berkebutuhan khusus juga orang-orang yang special dan punya kemampuan mengontrol emosinya dengan baik.
Beri dekapan
Salah satu cara yang dirasa cukup efektif meredam emosi anak adalah dengan memberikan dekapan. Saya sendiri pernah mempraktikannya pada Bumi saat ia sedang tantrum. Meskipun awalnya terasa sulit karena anak berusaha memberontak, tapi dekapan mommies bisa memberikan ketenangan. Toh, sebenarnya tenaga kita cenderung lebih kuat daripada tenaga anak bukan? Supaya lebih nyaman, cari posisi duduk dan bersandar sehingga kita pun bisa bisa menopang tubuhnya dengan aman sampai anak pun tenang kembali.
Oh, ya… Mbak Irma juga mengingatkan ke kita semua, ketika melihat ada anak orang lain yang sedang tantrum di area publik, khususnya anak berkebutuhan khusus, cobalah untuk lebih berempati dan tidak membuat judgment atau menatap sinis. Pada kenyataannya, sampai sekarang masih banyak sekali yang seperti ini di lapangan.
Saya sendiri juga pernah, kok, mengalaminya saat Bumi sedang tantrum minta dibelikan buku terbitan luar negeri yang harganya cukup mahal lantaran ada mainannnya. Begitu tidak saya penuhi, ia malah ‘ngamuk’ di toko buku. Ketika saya sedang mencoba menanangkannya, banyak sekali tatapan sinis yang tertuju ke saya. Bahkan ada satu ibu-ibu komentar, “Sudah belikan saja bukunya, dari pada anaknya nangis begitu…”
Duh…, padahal kan bukan begitu menyelesaikan anak yang sedang tantrum. Jangan sampai, rengekkan malah dijadikan alat anak untuk mendapatkan sesuatu dan anak tumbuh menjadi jagoan manipulatif. Iya, nggak, sih?