Dulu saya baru punya geng setelah duduk di SMP. Kenapa sekarang anak-anak SD sudah ada geng-geng-an?
Bukan, yang saya bicarakan bukan anak SD yang bikin geng layaknya geng motor. Lebih sederhana dari itu. Misalnya saja, geng anak pintar, atau geng penyuka K-Pop (kemudian mengelus dada…dada Adam Levine). Coba, deh, saya ingat-ingat lagi. Dulu saya punya geng, nggak ya? Punya, sih, tapi saat di SMP. Waktu SD, saya main sama siapa aja yang penting bisa main karet merdeka, atau galasin.
Nah, ketika fenomena geng-gengan ini ternyata juga sudah ditemuikan pada anak SD masa kini, saya agak khawatir juga. Secara Awan, anak saya yang paling besar sekarang duduk di kelas 3 SD. Takutnya efeknya buruk, misalnya memicu ia untuk ikut geng bully dan anak menjadi pelaku bully atau geng motor ketika dewasa kelak? Ish, parno banget, deh, saya. Belum lama saya share masalah ini pada mbak Vera Itabiliana, Psi. Perlu nggak, ya, kita khawatir kalau anak kita sudah membentuk geng di sekolah dasar?
*Image dari: DepokNews
Masih Normal
Sebenarnya anak bergabung, atau bahkan menjadi pendiri sebuah geng masih bisa disebut normal. Karena ini adalah bagian dari perkembangan anak. Saat mereka berada di usia sekolah, yaitu 6-12 tahun, mereka mulai mencari pertemanan dengan orang-orang yang bisa membuat nyaman. Umumnya kenyamanan didapat dari suatu hal yang sama.
Baca juga:
6 Masalah Besar yang Dihadapi Anak di Sekolah
Lantas apakah misalnya anak laki-laki hanya main dengan anak laki-laki saja, atau sebaliknya bisa disebut geng. Mbak Vera menjelaskan, bisa dinamakan geng bila intensitas kebersamaannya besar dan ada kesamaan minat, atau pemikiran tertentu. Jadi setiap hari di sekolah, mainnya, ya, hanya dengan anak-anak yang sama saja, serta memiliki kesenangan aktivitas yang sama. Misalnya geng bola, karena mereka hobi main bola, atau geng anti K-Pop yang aktivitasnya mencemooh teman yang suka KPop (wahaahahahha).
Jadi, anak SD bergabung dalam sebuah geng adalah suatu fenomena wajar. Ini terjadi dalam perkembangan sosialisasi anak, ketika anak mulai mengembangkan hubungan yang lebih luas dan berwarna dengan teman-teman seusianya. “Nggak perlu khawatir berlebihan,” kata mbak Vera menenangkan.
Supaya Nggak Memandang Rendah Geng Lain
Terkadang, kalau sudah berkumpul dengan teman-teman segeng, perasaan hati sudah yang paling keren. Ah, jadi ingat masa-masa sepatu Docmart jadi identitas geng saya dulu. Hahaha… Perasaan paling keren sendiri ini memang jadi berbahaya jika memicu sikap merendahkan geng atau orang lain. Menurut mbak Vera, anak-anak perlu diingatkan bahwa sama dengan mereka, geng yang lain tentu bangga dengan geng-nya sendiri. Ingatkan mereka jika mereka sendiri direndahkan. Pasti nggak enak dan sakit hati, kan?
Selain itu tiap geng punya ciri masing-masing. Nggak harus semua anggota geng punya minat yang sama. Kita juga harus membantu mengajarkan pada anak bahwa ia harus bisa bergaul dengan siapa saja. Jangan terlalu bergantung pada gengnya. Sampaikan pula pada anak kalau sah-sah saja bergabung di lebih dari satu geng. Misalnya, di sekolah dia punya geng bola, di rumah punya geng ngaji, sementara di tempat les Inggris, dia bisa bergabung di geng lantai 2 (ini, sih, anak saya yang memang les bahasa Inggrisnya ada di lantai 2. Hahaha…)
Harus Waspada
Walau masih bisa dikatakan normal, ada kondisi-kondisi yang harus orangtua waspadai. Jika masalah geng ini membawa perubahan negatif pada anak, misalnya lalai belajar karena asyik main, atau menjadi sangat tergantung pada teman-teman gengnya. Jangan sampai anak terlanjur menjadi follower. Apalagi bila anak mulai merasa tersiksa atau tidak nyaman dengan aturan di dalamnya, namun karena takut kehilangan teman, ia berusaha fit in. Ajarkan nilai-nilai baik pada anak di rumah, ketetapan hati, harga diri dan ketahanan mental supaya kalau dia sudah tidak nyaman dengan gengnya, ia punya kemauan sendiri untuk meninggalkannya.
Jadi, coba mana suara mommies yang dulu SD juga sudah punya geng??