Sorry, we couldn't find any article matching ''
Sarapan dan Anak, Hubungan yang Tidak Selalu Harmonis
Memasuki bangku sekolah dasar, urusan mengajak anak untuk sarapan sudah menjadi drama tersendiri. Asli deh, banyak banget alasan mereka untuk melakukan Gerakan Tolak Sarapan *__*.
Saya kira, semakin besar, semakin mudah meminta anak untuk makan. Di satu sisi, memang sih mereka nyaris melahap apa saja, mengingat semua anak saya laki-laki dan di masa pertumbuhan ini kemampuan mereka untuk memasukkan seluruh makanan berada di level dahsyat. Namun, di sisi lain, itu tidak berlaku di waktu sarapan. Ada masanya saat saya merasa capeeeeek banget untuk kekeuh meminta mereka melahap apa yang ada di meja makan, sebelum mereka berangkat sekolah. Untung masa-masa kegelapan itu sudah berlalu …. Fiiuuuh.
Jadi, saat kemarin saya hadir di acara Konferensi Pers Nestle Ayo Bangun Indonesia – Bangun Masa Depan Melalui Kebiasaan Sarapan Sehat, saya semaca dejavu, ahahaha. Menarik mendengar pemaparan dari Prof. Dr. Ir. Ali Khomsan, MS, seorang guru besar pangan dan gizi bahwa ternyata urusan sulitnya mengajak anak sarapan memang dialami nyaris sebagian besar orangtua (yeaaaaay… I am not alone baby…..)
Menurut Prof Ali, pertama-tama, orangtua harus paham dulu bahwa yang namanya sarapan itu harus dilakukan dalam waktu dua jam setelah bangun tidur dan tidak lewat dari jam 10 pagi, dengan jumlah kalori 25% dari total kebutuhan energi harian. Dan, memang semakin bertambahnya usia kebiasan sarapan cenderung turun. Padahal, sarapan itu wajib untuk dilakukan, apalagi oleh anak-anak yang sedang berada dalam masa pertumbuhan.
Sebuah penelitian yang dilakukan pada anak usia di bawah 12 tahun di Amerika Serikat, saat anak skip sarapan dan ia merasa lapar, maka terjadi beberapa hal buruk seperti ini:
- menurunkan daya konsentrasi,
- tubuh menjadi gemuk
- kesehatan dan stamina menurun
- prestasi anak tidak optimal
- Cenderung menyalahkan orang lain atas kesalahan yang dia perbuat
- Bermasalah dengan guru
- Tidak mau menaati aturan
- Senang mengambil milik orang lain
Nah, nyeremin kan, ternyata dampaknya nggak hanya kesehatan tubuh semata, perilaku pun juga menerima dampaknya!
Prof Ali juga menjabarkan, beberapa masalah yang berkaitan dengan sarapan adalah: orangtua kesulitan membangunkan anak di pagi hari, sulit mengajak anak untuk sarapan, susah meminta anak menghabiskan sarapannya dan ketakutan orangtua jika anak terlambat sekolah (hmmmm…..).
Sedihnya lagi, fakta di Indonesia menunjukkan bahwa:
- 26.1 % anak hanya sarapan air mineral, teh atau susu,
- 44.6 % anak mengonsumsi sarapan berkualitas rendah, yaitu asupan energi kurang dari 15%
- Dan hanya 10,6% anak yang sarapannya sesuai dengan kebutuhan energi di atas 30%.
Padahal, jenis sarapan yang baik itu harusnya menyumbangkan energi sekitar 25% dari asupan energi harian, terdiri dari karbohidrat, lauk pauk, sayuran, buah dan minuman.
Baca juga:
Daftar Ikan yang Aman dan Sehat Untuk Anak-anak
Jadi, mari deh kita cek lagi, tampilan di meja makan kita setiap kali makan itu apa sih? Apakah sesuai dengan penjelasan di atas, atau sekadar roti setangkup atau nasi uduk tanpa sayur? (menunduk malu).
Kalau lagi malas masak sarapan, ingat aja mom, bahwa skip sarapan itu dampaknya nggak hanya ke problem fisik, namun juga psikologis. Manfaatnya pun juga sama, nggak hanya membuat tubuh sehat secara fisik, namun juga sehat untuk segi psikologis, seperti yang mbak Vera Itabiliana Psi sampaikan.
Menurut mbak Vera, sebagai psikolog khusus anak dan remaja, sarapan itu selain membuat anak bisa maksimal berprestasi di sekolah, juga dapat menurunkan tingkat kecemasan anak saat menghadapi situasi yang membuatnya stress. Anak juga terlatih untuk lebih disiplin, lebih percaya diri, sehingga anak bisa menjadi anak yang tangguh alias tahan banting.
Jadi, mari kita mengubek-ubek berbagai macam menu yang ada di mommies daily untuk membuat sarapan bagi si kecil besok lebih sehat dan sesuai standar gizi, mengusahakan dengan berbagai macam cara agar anak-anak mau melahap makanannya. Mau berbagi ide?
Baca juga:
Share Article
COMMENTS