Saya sudah pasti bukan pengikut setia Martha Stewart, pebisnis perempuan yang ahli DIY untuk urusan kuliner, berkebun, dsb-nya. Kebetulan saya aliran yang kalau bisa saya lakukan sendiri ya saya lakukan, kalau tidak bisa, mari serahkan kepada orang lain, hahaha.
Setiap kali saya melihat postingan para mommies di IG atau Path, yang menampilkan bagaimana mereka memasak sendiri hidangan rumah dan bekal anak atau suami, membuat sendiri permainan yang bisa melatih motorik si kecil, sampai membuat pasta gigi organik sendiri…. Kadang saya suka bertanya dalam hati “Apa jangan-jangan mereka tinggal di negara yang waktunya lebih dari 24 jam??! Hehehe. Saya merasa kagum sekaligus heran…… kok sempat ya, kok bisa ya? (halah…. bilang aja lo iri Fi :D).
Tepuk tanganlah untuk ibu-ibu yang seperti itu. Karena saya sudah pasti akan angkat tangan kalau harus melakukan hal yang sama. Untungnya saya sadar diri dan nggak mau terlalu ngoyo. Masalahnya, nggak jarang, ada beberapa di antara teman-teman saya yang merasa terintimidasi dengan ibu-ibu model Martha Stewart ini dan kemudian mulai memaksa diri untuk melakukan hal yang sama. Akhirnya apa? Stress. Lah, kalau sudah begitu apa enaknya coba?!
Saya sendiri mengakui kok bahwa saya tipe ibu yang nggak hobi melakukan D-I-Y. Sesekali mungkin iya, seperti membuat cake (saya lebih senang membuat dessert dibanding memasak lauk pauk), tapi di luar itu saya memasrahkan diri untuk menerima bantuan dari pihak ketiga. Apakah ini membuat saya menjadi ibu yang lebih buruk? Ho..ho… tentu tidak!
1. Tidak memasak bekal anak, cukup mengatur menu dan berbelanja
Selama tujuh tahun mengalami masa anak-anak sekolah, mungkin bisa dihitung dengan jari kaki dan tangan sendiri plus minjem jari-jari suami, berapa kali saya memasak bekal untuk si kecil. Saya lebih intens di urusan mengatur menu agar asupan gizi si kecil dan keluarga tetap imbang. Yang memasak? Mari pasrahkan ke si mbak. Saya juga masih handle untuk belanja sayuran, daging dan ikan-ikanan. Minimal saya bisa memilihkan bahan-bahan mentah yang terbaik untuk diolah.
2. Lebih giat menabung untuk gaya hidup sehat
Saat membaca postingan seorang teman yang berhasil membuat pasta gigi organik sendiri, dengan semangat saya meninggalkan komen dengan bertanya “Bagaimana cara bikinnya? Mau coba ah.” Setelah membaca jawaban dari teman saya, diri ini pun mundur teratur dari niat mulia D-I-Y pasta gigi. Mending saya berhemat dan lebih giat menabung agar bisa membeli produk-produk organik, hahaha. Sama pintar-pintar browsing untuk membandingkan harga antara toko A dengan toko B.
3. Menyerahkan pada pihak ketiga
Di lingkaran pertemanan saya di Path, ada satu orang teman yang kerap menuliskan status-status mengenai kesibukan dia sebagai seorang ibu.
“Duh, abis membuat jadwal menu satu bulan untuk si A.”
“Ya ampun, setrikaan kok nggak ada habis-habisnya ya.”
“Derita ibu yang apa-apa dilakukan sendiri, lagi masak pun harus ‘diganggu’ si kecil.”
“Oke, mandiin si kecil udah, masak udah, masukin cucian ke mesin cuci, tinggal sapu pel dan nanti pulang kerja lanjut nyetrika. Ciayoooo.”
“Blablabla……”
Cape nggak bacanya? Saya sih capek. Masalahnya saya tahu bahwa dia sendiri yang membawa drama dalam hidupnya. Sok iya, tapi ngeluh (apa yang tertuang di Path tidak semuanya saya cantumkan di sini :D).
Nah, kalau ini kejadian sama saya. Kudu bekerja, urus anak dkk, saya akan menyerahkan bersih-bersih kepada pihak ketiga. Paling mudah, saat ART mudik, urusan setrikaan saya serahkan ke jasa setrika. Agar sesuai dengan standar saya, saat menyerahkan saya pasti memberikan wejangan tambahan, seperti “Nggak usah disemprot pewangi ya,” dsb.
Well, kadang-kadang dalam hidup dibutuhkan beberapa kompromi memang agar kita nggak mudah stress dan ujung-ujungnya memberi efek negatif ke diri sendiri maupun keluarga. Selain kompromi, juga dibutuhkan kesadaran dari diri sendiri, bahwa kemampuan masing-masing ibu itu berbeda. Jadi jangan menyamaratakan standar kita dengan standar orang lain.
Baca juga: