Ditulis oleh: Saskia Elizabeth
Panik adalah hal pertama yang saya rasakan ketika melihat anak laki-laki saya mulai suka main masak-masakan sampai dress up mencoba sepatu kakaknya yang perempuan.
Apakah ada yang pernah mengalami kejadian seperti saya di mana si adik lelaki suka mengikuti kakak perempuannya bermain dengan mainan seperti masak-masakan, tea party, atau dress up mencoba sepatu kakaknya. Panik? Pasti. Mulai berpikir ada penyimpangan pada anak? Agak ya kan. Kejadian ini terjadi saat anak saya berusia 2 tahunan. Menghindari menerka-nerka maka saya langsung saja berkonsultasi dengan mba Vera Itabiliana Hadiwidjojo, S.Psi., Psi.
Kalimat pertama yang keluar dari mba Vera adalah, “Anak cenderung meniru figur yang lebih dewasa yang berada di sekitarnya termasuk orangtua dan saudara kandungnya.” Mmm, memang sih saat si kecil berusia 2 tahun itu ia menghabiskan waktu di rumah dengan saya dan kakak perempuannya. Dengan ayahnya paling hanya saat berangkat sekolah atau akhir pekan.
Saya melanjutkan bertanya,
“Lalu mbak, saya tahu ini terlalu dini, namun mungkin tidak ya ini dapat menandakan salah satu ciri-ciri dari penyimpangan seksual? Dan, kalau sudah terlanjur seperti sekarang suka bermain dengan mainan perempuannya bagaiamana, mbak?”
Untuk penyimpangan atau bukan perlu adanya observasi yang lebih mendalam, menurut mbak Vera. Anak akan melakukan identifikasi peran dari orang-orang sekitarnya. Nah, ini tergantung dengan siapa anak berinteraksi sehari-hari. Baik anak laki atau perempuan perlu peluang berimbang dengan figur dewasa berjenis kelamin yang sama dan berlawan. Jadi seorang anak laki-laki juga perlu menghabiskan waktu berimbang dengan ayah atau figur laki-laki dewasa dalam keluarga (bisa kakek/paman) sehingga proses identifikasi peran dapat berjalan lancar. Anak belajar bagaimana peran sebagai lelaki dewasa kelak nantinya.
“Saat ini sih si kecil masih main-mainan boys-nya. Namun sesekali bisa ia secara spontan memakai wellington boots kakaknya yang warna pink lalu juga menonton film perempuan walaupun film tersebut lebih ke petualang sih seperti Dora,” tanya saya lebih lanjut (masih was-was).
Meniru yang tidak mengubah identitasnya sebagai laki-laki. Mainan masih oke tapi kembalikan ke peran gendernya misalnya sama-sama main boneka seperti kakak tapi arahkan si adik laki-laki ini menjadi ayah dari bonekanya, jawab mbak Vera.
“Pertanyaan terakhir mba, dari sisi sang kakak bagaimana peran yang tepat?”
Kakak bisa bantu memberikan adik peran sesuai gendernya. Misalnya saat bermain role play, adik tetap diberi peran sebagai laki-laki. Kakak juga bisa bantu adik mengingatkan bahwa ia laki-laki. Lebih baik lagi adik diberi kesempatan untuk bermain dengan anak sebayanya, demikian penjelasan singkat dari mbak Vera.
Berusaha mencerna jawaban dari mba Vera, saya melakukan beberapa langkah. Selain ayahnya saat menghabiskan waktu bersama lebih bermain mainan boys dan melakukan aktivitas pria (nonton pertandingan bola, ke barbershop instead ke salon nemenin mamamnya, main layang-layang, dll), saat sehari-harinya bersama, saya menekan kan kalau ia ikut bersama saya ke salon atau memilih baju dan sepatu saya jelaskan bahwa yang saya lakukan adalah kegiatan atau barang wanita. Dan, ia sebagai anak laki-laki yang baik hati menemani mamanya. Begitu juga saat di rumah sebisa mungkin saya mengingatkan kalau sedang diajak main dengan kakaknya bahwa peran ia sebagai laki-laki.
Saat ia bermain mainannya terkadang saya temani terkadang saya biarkan dia bermain sendiri supaya maksimal, kayanya kalau main sama mamanya banyak nggak ngertinya -__-. Yang terakhir, sering-sering playdate dengan para boys juga sangat membantu lho apabila ia belum masuk sekolah.