Ditulis oleh: Irawati Budiningsih – Konselor Menyusui dan Ketua Divisi Dana Usaha AIMI Pusat
Tugas besar menanti seorang ibu baru: Memberikan ASI untuk si kecil, yang untuk 6 bulan pertama menjadi satu-satunya sumber makanan bagi si kecil.
Seorang ibu muda pulang dari rumah sakit bersalin. Wajahnya tampak senang, tetapi sekilas tampak semburat kepanikan. Tangisan si kecil yang baru lahir beberapa hari itu cukup meneror perasaannya. Ada sebuah “tugas” besar selama minimal 2 tahun ke depan: memberikan ASI untuk si kecil, bahkan lebih serius lagi: menjadi satu-satunya sumber makanan bagi si kecil selama 6 bulan ini.
Dan tibalah masa menakutkan itu terjadi, ketika si kecil tidak berhenti menyusu. Ia ingin menyusu terus menerus. Bagaimana ini?
“Apakah ASIku kurang dan encer?”
“Kok si A bisa stok ASI perah berpuluh-puluh botol sedangkan aku belum bisa
nabung ASI perah sama sekali?”
Baca juga:
Stok ASIP Sampai Sekulkas Nggak Perlu, Lho!
Oke, kita coba ‘perintah’ eyang & mertua: sayur daun katuk. Kata eyang, “pokoknya setiap hari wajib makan katuk. Supaya ASI jadi banyak.”
Baca juga:
Mengapa ASI Tidak Langsung Keluar Setelah Melahirkan?
Katuk merupakan sayuran yang daunnya dikenal memiliki khasiat memperbanyak air susu ibu (ASI).
Beberapa penelitian mengenai keberhasilan ibu menyusui yang mengonsumsi daun katuk, memiliki hasil beragam. Salah satunya penelitian yang dilakukan di Jambi dan dipublikasikan pada tahun 1997. Hasil penelitian ini menyebutkan pemberian katuk pada ibu tidak cukup berpengaruh terhadap frekuensi dan lamanya menyusui.
Di Jogjakarta pada 2004 meneliti efektivitas ekstrak daun katuk dalam meningkatkan produksi ASI. Tim peneliti menyimpulkan bahwa pemberian ekstrak daun katuk pada kelompok ibu melahirkan dan menyusui bayinya dapat meningkatkan produksi ASI sebanyak 50,7% lebih banyak dibandingkan dengan kelompok yang tidak diberi ekstrak daun katuk.
Pada tahun 2008 sebuah penelitian di Bandung membuktikan bahwa pemberian ekstrak daun katuk tidak lebih baik dibandingkan plasebo dalam keberhasilan ibu menyusui. Penelitian ini juga melaporkan bahwa Inisiasi Menyusu Dini segera setelah bayi lahir dapat meningkatkan keberhasilan ibu menyusui.
Kembali ke daun katuk. Daun katuk mengandung zat papaverina, suatu senyawa yang juga terdapat dalam opium. Konsumsi berlebihan dapat menimbulkan efek samping seperti keracunan zat papaverin. Bahkan di Taiwan dan Amerika mereka yang mengonsumsi daun katuk mentah dilaporkan mengalami sumbatan saluran udara di paru-paru hingga kematian. Namun proses pemanasan daun katuk dapat mengurangi bahkan meniadakan sifat racun daun katuk.
Lalu mengapa ada ibu yang berhasil dan tidak berhasil meningkatkan produksi ASI dengan konsumsi daun katuk?
Dalam ilmu laktasi, ada sebutan galaktagog atau laktagog atau laktagoga, yaitu hal-hal yang dipercaya dapat memperlancar ASI. Ada aneka ragam laktagog yang diyakini oleh berbagai masyarakat di dunia. Di mancanegara ada fenugreek, camomile tea, sup ayam, oats, kacang-kacangan, dsb. Di Indonesia, selain daun katuk ada juga pare, kacang hijau, susu kedelai, hingga susu almond dan kukis. Laktagog pun kini lebih dikenal dengan nama ASI booster.
Ada dua hormon yang berpengaruh terhadap kelancaran ASI, hormon prolaktin sebagai hormon yang mendorong produksi ASI dan hormon oksitosin yang mengatur pengeluaran ASI.
Hormon prolaktin bekerja selama ada pengeluaran ASI dari payudara, baik dengan diisap bayi maupun dengan memerah ASI. Sedangkan hormon oksitosin berkaitan erat dengan perasaan rileks dan keyakinan. Layaknya kerja sebuah afirmasi atau sugesti positif, jika ibu merasa rileks dan percaya diri setelah mengonsumsi salah satu booster ASI tersebut, maka terjadilah apa yang diyakininya itu, yaitu produksi ASI-nya meningkat. Celakanya, beberapa ibu lantas merasa tidak percaya diri saat lupa mengonsumsi booster ASI. Akibatnya ibu panik, lalu hormon oksitosin tidak bekerja maksimal. ASI-pun seret.
Penggunaan booster ASI tidak dilarang, tapi juga tidak ada booster ASI yang secara khusus dianjurkan. Setiap ibu memiliki karakter, latar belakang dan selera yang berbeda, yang kemungkinan dapat mempengaruhi persepsinya terhadap suatu laktagog, dan akhirnya mempengaruhi efektivitas booster ASI tersebut, sehingga hasil yang didapat pun akan berbeda.
Penting untuk dipahami bahwa ibu akan lebih baik untuk tidak bergantung pada satu booster ASI, karena sebaik dan sebanyak apapun booster ASI yang ibu konsumsi, tidak akan banyak berpengaruh jika ibu tidak menjaga frekuensi menyusui atau memerah ASI.
Apabila ibu mengalami masalah ASI kurang atau produksi ASI menurun, segeralah menemui konselor menyusui agar dapat dicari sumber permasalahannya dan mendiskusikan solusi yang tepat.