Post Partum depression, cerita tentang perjalanan menuju depresi yang pernah saya alami setelah kelahiran anak pertama saya dan membuat saya merasa ingin bunuh diri.
Ditulis oleh: Amelia Virgnia
Ada begitu banyak cerita tentang kehamilan, proses melahirkan, dan pengalaman pertama menjadi Ibu. Namun, jarang saya temukan cerita tentang perjalanan menuju depresi setelah kelahiran anak pertama. Bukankah itu semacam hal yang tabu sehingga tidak pernah diceritakan?
Kehamilan pertama menjadi memori yang membahagiakan buat saya. Hal yang sama juga saya rasakan pada saat melahirkan. Percaya atau tidak, bagi saya melahirkan itu nggak sakit. Well, sakit, sih. Tetapi, nggak sesakit yang orang-orang ceritakan, kok!
Sayangnya, begitu mengejan dan si bayi keluar, hidup saya mulai suram. Saya menyebut masa-masa itu sebagai dark era di dalam kehidupan saya.
Bayi saya hanya ingin didekap sambil digendong. Jika diletakkan di kasur, dia menangis. Jika berhenti digendong, dia menangis. Hampir setiap saat, dia menangis.
Stres melanda saya. Apalagi, saya nggak pakai pengasuh. Pagi hingga sore hari, saya berdua bersama si bayi. Menimangnya tanpa henti. Menyusuinya terus plus urusan gumoh dalam kuantitas sering dan kualitas yang banyak.
Meskipun ada bantuan dari suami dan ibu saya setelah mereka pulang kerja, itu nggak membuat suram dalam diri saya sirna. Saya tetap merasa suram, nggak merasa bahagia atas kehadiran si bayi, dan nggak merasa nyaman saat menyusui bayi. Bahkan saya tidak suka menyusui!
Pernah suatu kali, Ibu dan suami saya memohon kepada saya untuk menyusui si bayi. Saya menolak dengan ketus. Mungkin, Anda nggak mengerti perasaan ini, pun saya. Yang saya paham adalah saya terlalu lelah menyusui setiap saat.
Di akhir pekan, saya nggak bisa jalan-jalan. Bayi saya menolak berkendara lebih dari lima menit. Saat masuk ke dalam mall, dia akan menangis, minta digendong dan ditimang atau menetek. Saya merasa kehidupan saya nggak lagi berwarna. Hidup saya harus didedikasikan untuk si bayi. Saya nggak bisa menikmati setiap momen keibuan itu. Rasanya, saya ingin melarikan diri dari tugas keibuan.
Tuhan, boleh saya mati sebentar saja? Begitu batin saya.
Stres melanda saya. Satu bulan, dua bulan, hingga usia si bayi satu tahun.
Setiap kali saya cerita soal ini kepada orang lain, nasihat yang saya terima selalu seputar istirahat, jalan-jalan, dan bersyukur. Bahkan, Ibu saya bilang bahwa saya mendramatisir. Rasanya saya ingin teriak marah: Kalian nggak merasakan apa yang saya rasakan!
Terlalu sering mendengar nasihat serupa dari teman dan keluarga, saya muak! Saya pun mulai mencari tahu tentang kondisi yang saya alami. Ternyata, namanya adalah Post Partum Depression (PPD). Ini bukan baby blues. Kondisinya lebih gawat dari baby blues karena sudah masuk tahap depresi.
Banyak sekali faktor penyebab PPD. Selain kelelahan, kurangnya dukungan untuk ibu menyusui, faktor hormonal juga menjadi salah satu penyebab.
Di luar negeri, awareness tentang PPD sudah mulai banyak. Sayangnya, di dalam negeri sendiri ibu yang mengalami baby blues atau PPD hanya akan diberikan kata mutiara atau dicemooh karena dianggap ANEH. Setidaknya, itu yang saya rasakan. Padahal, kondisi PPD ini termasuk kondisi gawat darurat karena dapat membahayakan ibu dan bayi.
PPD yang tidak ditangani dengan baik akan menjadikan si Ibu depresi berkelanjutan, dan membahayakan si anak karena ibu rentan melakukan kekerasan verbal atau fisik kepada anaknya.
Pada kasus yang berbeda seperti pada Post Partum Psychosis, si Ibu bahkan mengalami halusinasi. Ini menunjukan bahwa tubuh si ibu tidak lagi sanggup untuk menahan semua hal yang dia alami, baik fisik dan mental.
Tanda-tanda yang dirasakan bisa berbeda-beda pada setiap ibu. Tetapi, berikut tanda-tanda yang pernah saya alami:
Dari situ, saya memutuskan untuk meminta bantuan psikolog.
Pengalaman pertama menjadi Ibu itu bisa menyebabkan kita gagal atau sukses. Tergantung, jalan mana yang kita pilih. Saya memilih untuk berhasil melewati ini semua.
Keberhasilan saya melewati masa postpartum depression kala itu memberikan pengetahuan baru soal kesehatan jiwa, pentingnya kebahagiaan, dan mencintai dengan tulus.
Foto: Freepik
*Tulisan serupa pernah dimuat di kamantara.id
Cover image: Freepik