Ditulis oleh: Nayu Novita
Gelar juara yang dibawa pulang si kecil memang membanggakan. Tapi, yakinkah kita bahwa ia sudah siap menghadapi tekanan dalam kompetisi?
Zaman saya kecil dulu, prestasi seorang anak (dan keberhasilan orang tua dalam mendidiknya *wink wink) biasa ditakar dari urutan ranking—alias peringkat kecerdasan siswa di kelas. Makin kecil angka ranking, prestasinya makin yahud tentunya. Zaman sekarang, meski sudah banyak sekolah yang menghapuskan kebijakan pemberian ranking, tetap masih banyak kok, orangtua yang menakar prestasi anak melalui ajang kompetisi, mulai dari lomba lukis, lomba musik, lomba matematika, dan sejenisnya. Dulu saya termasuk salah satu di antaranya.
Sewaktu si kakak (10) menjuarai lomba Spelling Bee di awal masa sekolah, saya bangga bukan main. Rasa bangga itu berlanjut pada dorongan kepada si kakak untuk mempelajari kata-kata baru agar menjadi juara lagi tahun depan. Sayangnya, kegiatan mengutak-atik kata tak lagi menjadi “mainan” yang menyenangkan bagi si kakak. Ia malah melakukan “aksi demo” ringan dengan cara membaca buku-buku level pemula (yang dari karton tebal itu. Ya sudah, daripada mogok, kami pun sepakat mengangkat “beban untuk menjadi juara” itu dari pundaknya. Si “kutu buku” kami pun kembali pulih seperti semula...
Kompetisi VS Kolaborasi
Terkait pengalaman saya, ternyata para pendidik dunia sudah lama mempelajari dampak kompetisi pada diri anak-anak. Apa benar kompetisi adalah cara ideal untuk memupuk prestasi pada si kecil? Hasilnya, keyakinan terhadap kompetisi dalam dunia pendidikan di tingkat global terbagi dua: negara yang percaya pada kompetisi dan negara yang percaya kolaborasi. Finlandia—yang sistem pendidikannya diakui sebagai salah satu terbaik di dunia, termasuk dalam kelompok negara yang meyakini kolaborasi.
Bagi kelompok berhaluan kolaborasi, sistem kompetisi cenderung memupuk sifat egois pada diri anak-anak, dan bukannya menginspirasi mereka untuk maju dan berprestasi. Menurut Alfie Kohn, pakar pendidikan dari Amerika Serikat, di dalam sebuah kultur kompetitif, anak belajar bahwa sekadar menjadi baik tidaklah cukup. Ia harus menjadi lebih baik daripada orang lain di sekitarnya. Rasa bangga dan percaya diri yang didapat setelah menjadi juara hanya bersifat temporer. Lebih parah lagi, rasa percaya diri itu hanya bisa muncul akibat dipicu oleh faktor eksternal, salah satunya dari label juara yang diperolehnya.
Anak tidak terlahir kompetitif
Satu hal yang barangkali tak banyak diketahui oleh orangtua, menurut psikolog dari Lembaga Psikologi Terapan UI, Vera Itabiliana Hadiwidjojo, Psi., kompetisi sebenarnya adalah suatu hal yang berat bagi anak-anak. Anak tidak terlahir kompetitif. Dorongan untuk berkompetisi merupakan hal yang dipelajari anak dari lingkungan sekitarnya. Pada dasarnya, anak melakukan segala sesuatu atas dasar kesenangan. Anak juga tidak suka dinilai untuk aktivitas yang dia senangi tersebut.
Jika pada akhirnya anak tumbuh dengan jiwa kompetitif, maka itu adalah buah yang diperoleh dari apa yang ditanamkan oleh orang-orang di sekitarnya. Banyak bertemu orang tua yang berpendapat bahwa ikut serta dalam ajang kompetisi akan membuat anak lebih percaya diri. Padahal tidak demikian.
Ada anak-anak yang memang tidak suka ikut kompetisi. Bagi anak yang demikian, pengalaman berkompetisi justru malah bisa menciderai kepercayaan dirinya. Hal lain yang juga perlu dicermati adalah ada anak yang suka kompetisi karena merasa mendapat perhatian dari orangtuanya. Jadi yang sebenarnya dicari melalui kompetisi tersebut adalah perhatian dari orang tua.
Berkompetisi dengan diri sendiri
Tanpa kompetisi, lantas apa cara yang bisa dilakukan untuk memacu anak-anak berprestasi? Jawabannya, menurut Vera, anak dapat berkembang baik bakat maupun kepercayaan dirinya lewat pengalaman kehidupan sehari-hari. Orang tua perlu memberikan kesempatan dan fasilitas kepada si kecil untuk mengerjakan apa yang ia suka. Berikan pula apresiasi terhadap upaya yang dikerahkan anak.
Misalnya anak yang suka melukis, diberi kesempatan dan fasilitas yang cukup untuk membuat lukisan di rumah tanpa penilaian apapun atas lukisannya. Berikan pujian dan pajang lukisannya di rumah. Tumbuhkan keinginan si kecil untuk berkompetisi dengan dirinya sendiri. Dengan begitu, rasa percaya diri anak bersumber dari dirinya sendiri, dan bukan dari pencapaian mengalahkan orang lain.
Lantas apa yang harus dilakukan jika sewaktu-waktu anak perlu menghadapi kompetisi, misalnya untuk mewakili sekolah dalam perlombaan? Menurut Vera, sebelum berusia 9 tahun, rata-rata anak belum paham makna kompetisi dan belum dapat menerima kekalahan dengan baik. Karenanya, sebisa mungkin tundalah kesempatan untuk mengikuti kompetisi hingga si kecil betul-betul siap. Kalaupun sudah tergabung dalam kompetisi, orangtua wajib menolerir kelelahan dan kebosanan anak.
Ingat bahwa anak memiliki hak dan keterbatasan tertentu, sehingga jangan sampai membebaninya dengan beraneka tuntutan.