Ditulis oleh: Nuniek Tirta
Kapan waktu yang tepat untuk menerapkan controller Hat, Coaching Hat dan Consultant Hat sesuai usia anak?
Semalam, putri pertama kami (9,5 tahun) melakukan ritual bersih-bersih sebelum tidur: mencuci muka dengan sabun pembersih wajah, sikat gigi dan mengoleskan body lotion, etc. Melihatnya, suami berkomentar: “Kok sekarang ritualnya banyak amat sih?”
Putri pertama kami spontan menjawab: “Ya namanya juga mau remaja"
Sontak suami dengan lebaynya merespon, “Huaaaaaaaa! Tidaaaaakkk!” Dan kemudian dilanjutkan dengan, “Pantesan sekarang sudah nggak mau pegangan tangan sama daddy lagi. Maunya cuma pegang bahu. Sudah nggak mau dicium-cium lagi. Huaaaaaaa!”
Saya tertawa melihat suami yang kelabakan anaknya sudah mau remaja dan tingginya sedikiiiitt lagi sudah sama dengan mommynya.
Change along your kids changes
Ya, kita sebagai orangtua harus berubah seiring dengan perubahan anak-anak kita. Ketika anak beranjak remaja, ia sudah tidak bisa lagi diperlakukan seperti balita, misalnya. Menurut Arun Gogna dalam bukunya Lasting Gifts You Can Give Your Children, sebagai orangtua kita memakai 3 topi yang memainkan peranan berbeda sesuai tahap kehidupan anak. Inilah prinsip 3 topi dalam parenting menurut Arun Gogna :
1. Controller Hat (Topi Pengontrol)
Pada LOJConference yang saya ikuti beberapa waktu lalu, Arun Gogna mendemonstrasikan topi pengontrol ini bentuknya seperti safety helm warna kuning/oranye yang sering dipakai tukang bangunan. Topi ini kita pakai saat anak berusia 0 – 10 tahun. Dengan menggunakan topi pengontrol ini, peran kita sebagai orangtua adalah mengontrol anak apa yang harus, boleh, dan tidak boleh anak lakukan.
Pada periode ini, merupakan tanggungjawab kita untuk memberi batasan kepada mereka agar mereka terhindar dari hal-hal yang membahayakan. Kita juga dituntut untuk memberikan contoh nyata, walk the talk. Kalau menyuruh anak gosok gigi sebelum tidur, ya kitanya juga harus kasih contoh kalau kita sendiri gosok gigi sebelum tidur. Kalau menyuruh anak bangun pagi, ya kitanya juga harus kasih contoh kalau kita sendiri bangun pagi. Dan sebagainya.
2. Coaching Hat (Topi Pelatih)
Topi pelatih ini bentuknya mirip topi pelatih baseball. Topi ini dipakai ketika anak berusia remaja, 11 – 19 tahun. Ketika memakai topi ini, kita tidak boleh lagi berada dalam “lapangan permainan”, tapi harus berada di sisi lapangan, memantau mereka, hanya sesekali saja memanggil mereka untuk memberikan arahan. Persis seorang pelatih olahragalah.
Pada masa ini, anak tidak lagi membutuhkan informasi terlalu banyak dari orangtua; yang mereka butuhkan adalah inspirasi. Jadi, kita harus menginspirasi mereka, dan tidak lagi menginstruksi mereka. The main message of the Coach is: “I trust you to make the right decision.”
3. Consultant Hat (Topi Konsultan)
Topi konsultan ini dipakai oleh orangtua ketika anak-anak telah dewasa (20 tahun ke atas). Sebagai konsultan, orangtua diharapkan memberikan masukan hanya ketika diminta. Masalahnya, menurut Arun Gogna, banyak orangtua yang tidak rela melepaskan topi pelatih dan bahkan topi pengontrolnya, padahal sudah saatnya mereka memakai topi konsultan karena anak mereka telah berusia dewasa.
Dan ini merupakan akar dari problem mertua – menantu pada umumnya. Yaitu ketika orangtua masih menyuruh anak/menantu melakukan ini/itu, karena mereka masih memakai topi pengontrol tadi. Saran dari Arun Gogna, apabila terjadi konflik seperti itu, maka yang harus menghadapinya adalah anak kandung dari orangtua tersebut.
Balik lagi ke cerita awal soal “kesedihan” suami menghadapi anaknya yang sebentar lagi beranjak remaja, rasanya kita semua sebagai orangtua juga akan/sedang/pernah mengalaminya. Mungkin kita tidak siap melepaskan peran sebagai controller untuk menjadi pelatih lalu konsultan. Jujur saja, sebagai orangtua kita pasti punya tendensi untuk mengontrol anak sesuai keinginan kita. Di sinilah kita harus belajar, bahwa “To hold on is to let go. Know when to let go.”
Originally posted in http://www.nuniek.com/post/150621353845/prinsip-3-topi-dalam-parenting
Nuniek Tirta adalah ibu dari 2 putri (9 & 8 tahun), istri dari Natali Ardianto, mahasiswi pascasarjana Psikologi Konseling, inisiator komunitas #Startuplokal. Aktif berbagi cerita di blog pribadinya nuniek.com maupun twitter @nuniek dan instagram @nuniektirta.