Metode positive parenting semakin booming. Para orangtua bahkan seakan berlomba-lomba untuk bisa melakukannya. Tapi sayangnya, tidak sedikit orangtua yang salah kaprah mengartikan positive parenting. Berikut penjelasan dari Anna Surti Ariani, S. Psi., M. Si.
Sudah familiar, dong dengan istilah positive parenting? Di Mommies Mommies Daily sendiri sebenarnya sudah banyak sekali mengulas mengenai topik yang satu ini. Mulai dari membahas apa, sih, yang dimaksud dengan positive parenting, apa saja manfaat yang bisa dirasakan dari positive parenting ini, sampai artikel yang mengulas kalimat positif yang bisa kita contoh dalam positive parenting.
Terus terang saja, saya sendiri termasuk ibu yang berusaha untuk menjalankan konsep pengasuhan yang satu ini. Seperti yang diungkapkan Anna Surti Ariani, S. Psi., M. Si, Psikologi dari Universitas Indonesia, pada dasarnya yang dimaksud dengan positive parenting adalah konsep pengasuhan anak yang menekankan pada sikap positif dan menerapkan disiplin dengan kasih sayang.
Tapi dari sini, justru menimbulkan tanda tanya besar pada diri saya? Benarkah positive parenting yang saya coba terapkan ini sudah benar? Jangan-jangan saya malah salah kaprah dalam menjalankan positive parenting ini.
Seperti yang diungkapkan psikolog anak dan keluarga yang kerap saya sapa Mbak Nina, ia mengatakan kalau saat ini memang tidak sedikit orangtua yang punya pemahaman yang keliru mengenai positive parenting. “Ketika orangtua mendengar positive parenting, yang ada dalam bayangannya itu tentu adalah hal-hal yang sifatnya positive terus. Memang tidak ada yang salah dengan istilah positive parenting ini. Hanya saja, kadang ada orang yang salah tanggap mengartikannya, ‘Ohh... jadi semua harus positive, jadi orangtua itu nggak boleh marah-marah sama anaknya, nggak boleh menghukum anak, tidak boleh membatasi anak, padahal hal ini justru keliru,” ujarnya.
Begitu mendengar penjelasan Mbak Nina, saya, kok, jadi ingat kalau zaman sekarang memang tidak sedikit orangtua yang akhirnya memberikan banyak pembenaran atau memberikan toleransi yang sangat besar ketika anaknya melakukan kesalahan. Ya, paling nggak saya cukup banyak melihat kondisi seperti ini di lingkungan saya. Misalnya, nih, ketika ada anak yang membuat gaduh, nangis karena menginginkan sesuatu, atau bahkan teriak-teriak di tempat umum, orangtuanya terlihat membiarkan begitu saja. Saya yang melihat jadi geregetan sendiri, dan bertanya-tanya, “Kok, sikap anaknya yang seperti itu dibiarkan saja, sih? Kenapa tidak ditegur? Kenapa sebagai orangtua malah tidak membatasi perilaku anaknya yang seperti itu?
Mbak Nina menjelaskan, tindakan seperti ini justru bukannya menerapkan pola asuh positive parenting tapi cenderung kepada pola asuh keluarga yang permissive. Di mana orangtua jadi tidak tidak memberikan struktur dan batasan-batasan yang tepat bagi anak-anak mereka. Anak terlalu dimanja karena terlalu bebas mengatur dirinya sendiri. Dengan demikian anak tidak belajar bertanggung jawab dan tidak banyak dikontrol oleh orangtua.
Tapi seperti yang diungkapkan Mbak Nina, memang benar hal positive harus bisa diajarkan dan ditularkan pada anak-anak. Tapi, peran besar orangtua justru sebenarnya adalah dengan memberikan batasan yang tepat. “Positive parenting ini adalah bagaimana orangtua bisa mengatur perilaku anak agar tidak mengalami problem di kemudian hari, baik problem perilaku ataupun emosional anak”.
Jika ada orangtua yang memahami bahwa positive parenting maka orangtua tidak bisa mengatakan tidak, termasuk tidak perlu melarang anak, menurut Mbak Nina sebenarnya concern-nya bukan di situ. Bukan dipemilihan kata tidak, tapi justru lebih kepada bagaimana perilaku atau sikap orangtua saat melarang atau membatasi anak.
Agar tidak salah kaprah dalam menerapkan pola asuh, Mbak Nina mengingatkan bahwa penting bagi kita, sebagai orangtua untuk terus menambah pengetahuan, keterampilan, dan tentunya percaya diri sehingga pola asuh yang diterapkan pada anak akan menjadi efektif dan tentunya benar-benar positive dalam artian yang sebenarnya.
Yuk, ah, sama-sama belajar!