Mengajarkan anak disiplin memang nggak mudah. Tapi ternyata ada cara yang bisa ditempuh, bahkan cara ini nggak perlu membuat kita marah-marah saat mengajarkannya.
Sudah baca tulisan saya yang judulnya 3 menit mengubah emosi menjadi tenang? Di situ bisa terlihat kalau anak saya sekarang, yang usianya mau 6 tahun sudah pintar sekali protes. Segala hal yang ia nggak suka dan menurutnya kurang baik, pasti akan ia ungkapkan secara lugas. Ya, seperti soal nada bicara saya yang sering kali mudah meninggi.
"Kok, ibu ngomongnya kenceng begitu? Ibu marah? Kata Ibu kalau ngomong sama orang lain nadanya nggak boleh seperti itu".
Duh, saya selalu merasa tertampar dengan apa yang anak saya katakan. Tapi akan lebih baik seperti itu, ya, seperti yang banyak dikatakan oleh orang bijak, kalau guru utama parenting adalah anak kita sendiri. Terus terang saja, nih, saya memang sering dibikin geregetan sampai naik urat kalau melihat Bumi nggak disiplin. Contoh kecilnya, seperti membereskan mainannya atau saat ia enggan mengerjakan pekerjaan rumahnya.
Ternyata mengajarkan anak untuk bisa disiplin ini masalah yang cukup rumit, ya. Paling nggak ini yang saya alami. Dulu, untuk mengajarkan anak disiplin saya dan suami sempat menerapkan metode reward and punishment, tapi seperti yang diungkapkan psikolog anak, Elly Risman, cara ini kurang efektif membuat anak disiplin, karena datangnya dari luar dan tidak memberikan anak kesempatan untuk membuat pilihan serta belajar tangung jawab.
Lalu bagaimana, dong? Dalam hal ini Anna Surti Nina selaku psikolog anak dan keluarga menegaskan kalau ada banyak cara membuat anak disiplin, tanpa perlu membuat kita ngomel. Salah satunya dengan memberikan anak pilihan. Bahkan katanya, teknik disiplin memberikan pilihan cocok untuk lintas usia. Mulai untuk anak anak batita, balita, bahkan anak yang usianya lebih besar, meskipun begitu tentunya kompleksitasnya mesti disesuaikan.
Maksudnya begini, untuk anak yang usianya sudah lebih besar, berikan pilihan yang lebih rumit sehingga anak bisa belajar mempertimbangkan lebih banyak hal. “Teknik disiplin pilihan ini bisa digunakan untuk perilaku makan, pakai baju, toilet training, mandi, membereskan mainan, belajar, dan lain-lain,” ungkapnya.
Psikolog yang kerap saya sapa dengan sebutan Mbak Nina ini pun memberikan contoh, sebagai orangtua kita bisa memberikan pilihan 2 hingga 3 pilihan yang disetujui, lalu berikan pilihan tersebut kepada anak, sehingga ia yang bisa menentukan
“Jadi pilihannya sudah jelas, anak tinggal pilih yang disodorkan orang tua, bukan memilih yang lain-lain lagi. Misalnya saat anak mau makan, beri pilihan, kamu mau makan yg mana dulu? Brokoli, wortel, atau buncisnya? Bukan dengan bertanya kamu mau makan atau tidak?”.
Sementara untuk kasus yang sering kali saya alami, seperti meminta Bumi untuk disiplin membereskan mainannya, Mbak Nina memberika contoh agar saya memberikan pilihan dengan bertanya apa yang ingin dibereskan lebih dulu, maianan mobil-mobilannya, atau balok kayunya. “Jadi bukan bilang, bereskan semua!”
Bahkan, pilihan ini juga berlaku untuk pemilihan sekolah anak. Benar juga, sih, ya, soalnya kan yang sekolah itu yang menjalani anak, jadi harus sesuai dengan pilihan anak. Jadi, nggak ada salahnya untuk memberikan 2 sampai 3 pilihan sekolah yang sudah kita disetujui, lalu biarkan anak yang menentukannya sendiri.
Menurut Mbak Nina, dengan memberikan pilihan seperti ini pertengkaran anak dan orangtua jadi lebih sedikit, karena anak tidak memilih pilihan yang tidak disetujui orangtua. “Saat anak bisa memilih berdasarkan berdasarkan pilihan disodorkan, anak jadi merasa berdaya atau punya powerful. Jika anak merasa berdaya, maka kepercayaan dirinya akan meningkat. Selain itu anak juga belajar mengambil keputusan”.
Semakin bertambahnya usia anak, mengambil keputusan akan terasa lebih rumit sekali karena harus mempertimbangkan banyak hal. Lucunya lagi, Mbak Nina mengatakan pada anak yang lebih besar, biasanya anak dengan sengaja tak mau memilih pilihan yg diberikan.
Lalu, bagaiamana dong?
Dalam hal ini Mbak Nina menegaskan penting bagi orangtua untuk tetap tegas dan konsisten memberikan pilihan yang ada, jangan mudah menyerah pada kerewelan anak. Yang pasti, tegas di sini bukan berarti galak, kok. Saat oragtua konsisten, anak juga belajar aturan deng lebih nyaman.