Berbeda gaya pengasuhan dengan pasangan adalah hal yang lumrah terjadi, namun memang butuh strategi untuk menghadapinya – supaya tidak ada standar ganda dalam mengasuh si kecil.
Gambar dari www.ph.theasianparent.com
Memasuki usia pernikahan ke-3, saya dan suami masih saja dihadapkan dengan persoalan klasik ini, nggak heran sih, namanya juga beda kepala dan latar belakang ya. Dan hal ini memang lumrah terjadi, baik pada pasangan baru maupun yang sudah lama menikah. Jika terjadi di awal-awal pernikahan menurut Irma Gustiana A,M.Psi, Psi (Psikolog Anak dan Keluarga) dari Lembaga Psikologi Terapan Universitas Indonesia dan Klinik Rumah Hati “Anda dan pasangan sebaiknya duduk bersama dan mendiskusikan strategi pengasuhan yang akan dijalani – tujuannya agar tidak ada standar ganda dalam mendidik anak.”
Perbedaan gaya pengasuhan yang pernah terjadi dengan saya, lantaran faktor perbedaan arus informasi yang diterima saya dan suami. Walaupun kami sama-sama kerja di media online, namun pasangan lebih fokus ke berita-berita seputar politik, hukum dan sejenisnya. Sementara saya yang notabene bekerja di Mommies Daily terbiasa menerima berita mengenai parenting. Bisa dibayangkan, kan, Mommies – gap yang kami hadapi. Salah satu cara menghadapinya, berkomunikasi dengan pasangan, saat kami melakukan quality time di tengah-tengah kesibukan usai bekerja, untuk mencari jalan tengah yang paling nyaman.
Menurut Irma, berikut ini faktor perbedaan lainnya yang kerap terjadi. Supaya Mommies juga bisa mencari jalan keluar sesuai dengan faktor penyebabnya:
Strategi lain yang bisa ditempuh saat dihadapkan dengan perbedaan ini, penting banget untuk pasangan membuat kesepakatan mengenai aturan main dengan anak. Mana yang boleh dan tidak boleh dikerjakan. Mana yang menjadi kewajiban dan hak anggota keluarga termasuk pemberian konsekuensi dan reward. “PR nya adalah jangan sampai ada Bad Cop dan Good Cop dalam keluarga inti, karena anak akan cenderung manipulative,” tutur Irma.
Impulsive di sini artinya anak bisa tricky sama orangtuanya karena tidak ada aturan atau standar yang jelas. Misalnya nih, kalau ada maunya pasti anak minta ayahnya yang terlihat sebagai Good Cop, selalu minta pembenaran pada ayah, jika ia tidak bisa mendapatkan apa yang dimau dari pihak lain. Hal ini juga menghindari, munculnya kebingungan pada anak yang bisa berujung pada kenakalan anak.
Kalau sudah mentok, atau menemukan jalan buntu sebaiknya cari masukan dari pihak lain yang netral dan kompeten dari segi kemampuan atau keahlian. Misalnya psikolog keluarga atau konselor pernikahan. Hal penting lainnya yang Irma ingatkan adalah, “Jangan sampai saling membela diri atau saling menyalahkan di depan anak. Diam sejenak, tidak perlu langsung menginterupsi pasangan di hadapan anak. Setelah itu, barulah coba mengevaluasi tindakan yang dilakukan pasangan.”
Nah, kan, meski berbeda asalkan tahu cara menghadapinya – semua akan baik-baik saja kok, Mommies.