Ditulis oleh: Dona Kamal
Urusan nyinyir antar teman kerja mungkin tidak dialami oleh semua perempuan bekerja (beryukurlah Anda). Tapi saat itu terjadi pada saya, ini yang saya lakukan.
Tidak seperti jaman sekolah atau kuliah di mana sebagian besar teman-teman kita seumuran, saat memasuki dunia kerja, kita harus berbaur dengan orang-orang dengan latar belakang usia yang berbeda. Banyak yang lebih tua dan senior, beberapa ada yang seumuran, dan seiring berjalannya waktu, akan banyak rekan-rekan kerja yang usianya lebih muda dari kita.
Menjadi ibu bekerja di lingkungan sesama rekan kerja yang juga sudah bekeluarga mungkin tidak akan begitu rumit, karena paling tidak repotnya menjadi ibu dan bekerja pasti sudah dipahami oleh rekan-rekan yang juga menjadi ibu bekerja. Keadaan (mungkin) akan menjadi sedikit tidak menyenangkan jika kita berada di lingkungan rekan kerja yang kebanyakan masih single.
Beberapa waktu lalu, ketika membaca tulisan Lariza Putri mengenai pesan dari working mom untuk para rekan kerja yang belum mempunyai anak, saya jadi senyum-senyum sendiri. Pengalaman saya berbeda, tapi masih bersinggungan dengan lingkungan rekan kerja di kantor yang kebanyakan belum memiliki anak. Mereka, (mungkin dengan niat bercanda) terkadang mengeluarkan pernyataan-pernyataan yang membuat saya tidak enak hati di tengah upaya saya menyeimbangkan tanggung jawab saya sebagai seorang ibu dan pegawai.
Menghadapi pernyataan-pernyataan yang awalnya sekadar nyinyir dan lama-kelamaan menjadi bully memang tidak mudah. Saya harus pandai mengelola emosi agar tidak terjadi konflik di kantor. Berikut ini tiga hal yang saya lakukan agar dapat lebih sabar menghadapi pernyataan-pernyataan nyinyir itu:
*Image dari static2.businessinsider.com
1. Tentukan prioritas
Sebagai ibu, tentu anak-anaklah yang menjadi prioritas utama. Saya tetap akan berusaha profesional sebagai seorang pegawai, menyelesaikan tugas dan tanggung jawab tepat waktu. Jadi, ketika saya pulang tepat waktu, datang ke kantor sedikit telat, dan pulang ke rumah saat jam istirahat kantor, itu pasti saya lakukan setelah menyelesaikan pekerjaan. Toh, ketika ada pekerjaan yang urgent dan harus diselesaikan, saya bersedia lembur dan tidak pulang saat jam istirahat kantor kok.
Oh ya, for your info, nih, ketika saya datang terlambat atau pulang ke rumah saat istirahat kantor, bukan berarti saya sengaja bermalas-malasan bangun siang atau tidur siang di rumah saat jam istirahat kantor lho! Di rumah, saya melakoni kewajiban saya sebagai seorang ibu: mengurus anak-anak.
Jadi, ketika terdengar suara nyinyir di kantor tentang sering pulang cepat, datang telat, atau menghilang saat istirahat, abaikan saja! Toh, kalaupun saya keseringan telat, yang akan menanggung hukuman dari perusahaan kan saya, bukan situ! *mulai panas, hahaha* Pokoknya, terserah deh situ mau ngomong apa, yang penting anak-anak gue sehat, cerdas, dan nggak kurang kasih sayang dari ibunya.
2. Sesekali sharing dengan rekan kerja yang juga memiliki anak
Dengan sharing ke sesama rekan kerja yang juga memiliki anak, paling tidak ketika suatu saat ada yang nyinyir di ‘belakang’, si rekan kerja ini bisa menjadi mulut kedua yang meng-counter tudingan rekan-rekan kerja yang lain. Dengan counter statement ini paling tidak isunya jadi berimbang dan mengendalikan spekulasi-spekulasi negatif tentang saya, sukur-sukur jika mereka berusaha memahami akan tanggung jawab kita sebagai seorang ibu. Tapi harus diingat, sharing seperlunya aja dan nggak perlu sering-sering ya, biar nggak dianggap cari pembelaan dan pencitraan.
3. Skakmat!
Ketika cibiran nyinyir atau bahkan bullying sudah mulai bikin saya panas kuping dan panas hati, biasanya saya akan mengeluarkan kalimat yang bisa bikin si pem-bully diam sejenak. Tidak perlu marah-marah, cukup keluarkan pernyataan netral yang bijak, seperti ini misalnya, “Jangan gitu, siapa tahu suatu saat kamu di posisi saya dan melakukan apa yang saya lakukan sekarang,” atau “Terserah mau ngomong apa, yang penting anak saya sehat, cerdas, dan nggak kurang kasih sayang!”
Nah, tiga poin itulah yang selama ini saya lakukan selama ini. Intinya, kita tidak akan bisa memaksa mereka untuk memahami apa yang kita jalani karena mereka belum mengalaminya. Jadi, yaa sabar aja deh.