banner-detik
PARENTING & KIDS

Mengenalkan Etika Bercanda Pada Anak, Perlu Ya?

author

adiesty02 Feb 2016

Mengenalkan Etika Bercanda Pada Anak, Perlu Ya?

Etika merupakan sikap yang sering  kali dianggap sepele, namun kenyataanya sangat penting dipelajari anak kita. Termasuk etika saat bercanda. Seperti apa batasannya?

Minggu kemarin, beredar kabar di antara teman-teman sesama ibu di kantor maupun di luar kantor mengenai kasus siswi salah satu SMP yang bercanda dengan menarik kursi temannya dan mengakibatkan si teman terjatuh. Lucu? Mungkin. Berbahaya? IYA! Terbukti, menurut kabar yang beredar tulang ekor si korban remuk.Kalau sudah begini, candaan pun berubah menjadi malapetaka, iya kan?

Saya tidak bisa menyalahkan si anak, mungkin memang dia belum paham bahwa hal itu berbahaya. Masalahnya, tugas untuk mengajarkan anak mengenai candaan yang berbahaya atau tidak, seharusnya ada di tangan kita orangtua. Dan, jujur saja, candaan menarik kursi saat seseorang mau duduk masuk ke dalam daftar larangan saya untuk Bumi jika dia bercanda dengan siapapun.

Terus terang, saya suka merasa jengah mendengar ada orangtua yang sering melakukan pembenaran atas sikap anaknya. Misalnya saja, Fia pernah becerita kalau teman sekolah anaknya ada yang menendang temannya, dan saat si ibu korban komplein, jawaban dari orangtua pelaku ..... "Maklumin ya dia masih kecil."

Buat saya, sih, pola asuh seperti ini justru bisa berdampak buruk bagi anak. Bisa-bisa anak jadi tidak punya etika atau sopan santun. Sementara  dalam kehidupan ini kita harus punya etika. Menurut para ahli psikologi, etika bisa diartikan sebagai aturan perilaku, adat kebiasaan manusia dalam pergaulan antara sesamanya dan menegaskan mana yang benar dan mana yang buruk. Jadi, sudah bisa dipastikan, kalau anak harus punya etika. Contohnya, ketika anak berkunjung ke rumah temannya, jangan sampai anak kita menjadi ‘tamu cilik’ yang tidak disukai oleh tuan rumah.

Bicara masalah etika, salah satu etika yang perlu diajarkan pada anak adalah batasan saat bercanda dengan teman sepermainannya.

etika bercanda

Selain cerita tentang siswi SMP yang terjatuh itu, saya pun menemukan artikel kesehatan di Detik Health yang mengulas kasus serupa. Di mana candaan membuat teman terjatuh dengan menarik bangku saat hendak duduk adalah sebuah kesalahan fatal. Soalnya, selain membahayakan tulang ekor, kondisi ini juga berisiko bagi sistem saraf.

Dalam artikel tersebut, dr Yuda Turana, SpS dari Fakultas Kedokteran UNIKA Atma Jaya menjelaskan kalau saraf kita terlindung di ruang dalam tulang belakang yang cukup kuat atau canalis spinalis. Ketika terjadi cedera atau benturan saat duduk terjadi cukup berat dapat mengakibatkan kerusakan saraf permanen. Ngeri, ya?

Oleh karena itulah, sebelum anak-anak kita belajar pentingnya punya etika saat bekerja, mereka harus lebih dulu paham kalau bercanda dengan teman juga ada aturannya. Bukan tidak mungkin, kalau niat awal bercanda untuk mendapatkan kesenangan justru bisa menyebabkan orang lain marah bahkan berdampak buruk. Sejauh ini, sih, ada beberapa rambu yang tidak pernah bosan saya ajarkan ke Bumi.

Tidak membuat cedera

Seperti  cerita kasus anak yang jatuh dengan posisi terduduk, salah satu batasan yang selalu saya tekankan pada Bumi adalah ketika bercana dengan teman-temannya jangan sampai mencelakai dan membuat cedera. “Bercanda itu boleh, kok, Mas Bumi... tapi ada batasannya, ya. Jangan sampai nendang, pukul atau mendorong. Nanti temannya kan sakit.” Saya juga suka mengajak Bumi untuk membayangkan kalau dirinya berada di posisi si teman yang ditendang atau dipukul. Dengan mengajukan pertanyaan ini saya berharap Bumi bisa membayangkan bagaimana perasaannya bila ada yang menyakitinya, sehingga ia pun bisa bisa belajar mengidentifikasi perasaannya sendiri dan belajar empati.

Tidak menghina fisik

Terus terang saja, saya paling deg-degan kalau Bumi mengina temannya. Terutama menghina yang berkaitan dengan kondisi fisiknya. Saya masih ingat, sebelum Bumi masuk sekolah ketika sedang jalan-jalan di sebuah mall, kami bertemu dengan seorang anak yang kondisi fisiknya tidak sempurna. Melihatnya, Bumi pun bertanya ke saya, “Bu, kakak itu kenapa?”. Saya pun akhirnya mencoba untuk menjelasknya sesuai dengan bahasa yang Bumi pahami. Dari sini saya pun kemudian selalu berusaha mengajarkan Bumi akan adanya perbedaan, termasuk kondisi fisik. Intinya, sih, saya selalu berusaha mengingatkan Bumi untuk tidak melontarkan kata-kata yang buruk dan bisa menyakiti hati orang. lain. Jangan sampai, deh, anak saya jadi pelaku bully, termasuk bully secara verbal.

Tidak berbohong

Suatu kali Bumi pernah ngomong, “Ibu... nanti kalau bapak sudah pulang kerja, jangan bilang aku sudah ngerjain PR, ya”. Saya paham sekali, maksud Bumi hanya sebatas candaan untuk bapaknya. Tapi saya segera menekankan kalau bercanda pun tidak boleh berbohong karena justru bisa mengakibatkan orang marah atau kesal. Padahal bukankah tujuan bercanda iu untuk membuat kita merasa happy dan rileks?

Selain tiga rambu di atas, sebagai orangtua kita pun harus lebih dulu menjadi contoh yang  kongkrit buat anak-anak? Bagaimana mungkin anak kita bisa menjalankan etika di atas sementara kita sendiri belum mampu? Biar bagaimana pun, anak adalah fotokopi orangtuanya.

Share Article

author

adiesty

Biasa disapa Adis. Ibu dari anak lelaki bernama Bumi ini sudah bekerja di dunia media sejak tahun 2004. "Jadi orangtua nggak ada sekolahnya, jadi harus banyak belajar dan melewati trial and error. Saya tentu bukan ibu dan istri yang ideal, tapi setiap hari selalu berusaha memberikan cinta pada anak dan suami, karena merekalah 'rumah' saya. So, i promise to keep it," komentarnya mengenai dunia parenting,


COMMENTS


SISTER SITES SPOTLIGHT

synergy-error

Terjadi Kesalahan

Halaman tidak dapat ditampilkan

synergy-error

Terjadi Kesalahan

Halaman tidak dapat ditampilkan