Ditulis oleh: Nayu Novita
Saya percaya salah satu faktor penting yang membantu anak dapat mengatasi tantangan hidup adalah jika mereka memiliki emosi yang baik. Jadi, bagaimana membentuk anak tangguh secara emosi?
Jujur, saya cukup malas membaca koran, berita online atau televisi karena isinya hanya membuat perut saya mules, kening saya berkerut atau hati mencelos. Mulai dari kasus remaja yang bunuh diri (hanya karena putus cinta), anak praremaja mencandu narkoba, sampai pelajar sekolah yang mengalami depresi akibat peer-pressure. Duh, Gusti… anak yang sejak kecil disayang-sayang dan dibesarkan dengan susah payah, kok ya malah menyia-nyiakan dirinya sendiri ketika mulai tumbuh besar. Sungguh saya nggak bisa dan nggak mau membayangkan bagaimana hancurnya perasaan orangtua mereka.
Ujung-ujungnya saya jadi berpikir, kalau masih seumur itu saja sudah tak sanggup menghadapi masalah dengan cara yang benar, bagaimana kelak anak ini bisa menjalani kehidupan sebagai orang dewasa yang begitu penuh intrik dan persaingan? Mungkin benar generasi sekarang yang dikenal sebagai generasi instan jarang berada dalam kondisi yang membuat mereka harus berjuang. Tapi sebagai orangtua, kok, rasa-rasanya saya nggak mau cap generasi instan yang ada di generasi kedua anak saya membuat mereka jadi lemah tak berdaya.
Remaja, masa yang paling rawan
Sebagai orangtua, kita pasti ingat bagaimana dulu kita “jatuh-bangun” melalui masa-masa remaja. Remaja perempuan berubah menjadi amat sensitif, sedangkan remaja laki-laki memiliki keinginan untuk memberontak. Menurut Anna Surti Ariani, M.Psi, memasuki masa remaja, seseorang memang akan mengalami fluktuasi hormon yang mengakibatkan dirinya mengalami “gonjang-ganjing” secara emosional. Anak pra remaja dan remaja memang memiliki tantangan tersendiri.
Ditambah lagi, usia remaja umumnya cenderung merasa tergantung dan menyerap (tanpa pakai saringan!) berbagai pengaruh yang datang dari teman-teman. Semuanya, baik hal-hal positif maupun negatif. Kalau flashback ke masa remaja saya, memang benar banget! Itu kan yang kita rasakan dulu? Hayooo ngaku :D.
Pada anak yang memiliki ketangguhan atau resiliensi (self-resilience) yang baik, berbagai masalah yang muncul bisa dipandang dan disikapi secara proporsional. Lain halnya dengan mereka yang tidak memiliki resiliensi kuat, maka guncangan masalah yang semestinya merupakan hal yang wajar akan terasa bagaikan badai besar. Di sinilah kita sebagai orangtua perlu memahami bahwa pembentukan pribadi yang memiliki resiliensi tinggi mutlak diperlukan dan perlu dilakukan sejak anak masih berada di usia kanak-kanak.
Ada tiga benteng dari dalam rumah yang bisa membantu anak-anak tangguh secara emosi.
Tiga “benteng” dari dalam rumah
Lantas, apa yang bisa kita lakukan sebagai orangtua, untuk membantu anak tumbuh menjadi sosok pribadi yang tangguh? Pada intinya, ada tiga hal yang bisa dilakukan oleh orangtua untuk membangun “benteng” pertahanan emosi yang kuat bagi anak-anaknya, yaitu:
1. Menjalin hubungan yang harmonis dengan pasangan
Riset membuktikan bahwa anak yang datang dari lingkungan keluarga yang harmonis dan hangat secara emosi akan memiliki resiliensi diri lebih tinggi dibandingkan mereka yang berasal dari keluarga “berantakan”. Definisi keluarga berantakan bukan selalu pasangan suami istri yang sudah bercerai, melainkan juga pasangan suami istri yang—meski masih terikat pernikahan dan tinggal di rumah yang sama, tetapi tidak memiliki kedekatan emosi antara satu sama lain. Hubungan emosi yang terjalin baik di antara kedua orangtua akan membuat anak memiliki perasaan aman dan nyaman terhadap keluarga dan dirinya sendiri.
2. Bangun attachment antara orangtua dan anak
Attachment atau kelekatan antara anak dan orangtua—terutama ibunya, memang sudah mulai terbentuk sejak si kecil masih bayi. Hanya saja, attachment tidak bisa terus tumbuh dengan sendirinya tanpa dipupuk oleh hubungan yang harmonis di antara orangtua dan anak. Attachment tidak sama dengan bonding. Dibandingkan bonding, attachment—yang merupakan hubungan timbal balik antara orangtua dengan anaknya, memiliki sifat yang lebih kaya. Ketika memiliki attachment yang kuat dengan orangtuanya, anak akan cenderung lebih percaya kepada orangtuanya dibandingkan orang lain dalam kehidupannya. Anak yang memiliki kepercayaan tinggi pada orangtuanya juga akan cenderung lebih percaya pada dirinya sendiri.
3. Pola asuh yang tepat
Jenis pola asuh apa yang paling baik diterapkan pada anak untuk menguatkan resiliensinya? Pola asuh otoriter (orangtua berkuasa penuh atas kehidupan anak), pola asuh permisif (santai dan penuh negosiasi), pola asuh neglectful (cuek dan membiarkan anak tumbuh dengan sendirinya), atau pola asuh otoritatif (hangat, moderat, namun tegas memenuhi aturan)? Jawabannya,adalah pola asuh otoritatif. Dengan menerapkan pola asuh ini, orangtua berupaya menjalin attachment dan memberikan kepercayaan kepada anaknya, namun tetap mampu untuk secara tegas memberikan batasan sesuai kebutuhan.
Dalam pola asuh otoritatif, anak dituntut untuk selalu lebih maju dan lebih baik dibandingkan sebelumnya. Hanya saja, tuntutan pada anak disampaikan secara hangat dan tetap membuka jalur negosiasi. Meski pada akhirnya, aturan yang telah diberlakukan tetap diterapkan secara tegas. Tuntutan untuk selalu menjadi lebih baik inilah yang pada akhirnya mampu membentuk anak menjadi pribadi yang tangguh dan tidak mudah menyerah.
Upaya untuk membangun resiliensi pada diri anak tidak bisa berhenti hingga anak berusia remaja atau ketika anak sudah tampak tangguh, melainkan perlu terus berlanjut, bahkan hingga anak dewasa. Sebagai orangtua, kita tetap perlu terus mendampingi anak ketika ia menghadapi masalah dalam hidupnya. Maksudnya tentu tidak untuk membuat anak kehilangan kemandirian, melainkan untuk terus memelihara kekuatan attachment—dengan menjadi partner berdiskusi, sambil terus mendorong anak untuk berani mengambil keputusan sendiri. Dengan begini, kekuatan resiliensi anak akan terus terpelihara dan menguat dari waktu ke waktu.