Semenjak hamil, bagian yang paling saya tunggu dari perkembangan anak saya adalah bagian ketika dia mulai bisa bicara.
Tumbuhnya kuku dan rambut di dalam rahim memang menakjubkan. Bisa merangkak dan berjalan juga luar biasa. Tapi saya nggak terlalu memersoalkan milestone tumbuh-kembang anak, karena bisa dibilang saya ini penganut paham ‘Kalau sudah waktunya, nanti juga bisa.’ Begitu juga soal kemampuan berbicara anak. Terkecuali anak punya kelainan, bagi saya ini salah satu hal yang jika memang kalau sudah waktunya, maka anak akan bisa.
Namun, mungkin yang paling bikin saya menanti bagian bisa bicara ini adalah karena fase ini yang paling menarik buat saya. Bagaimana anak kecil dapat mengembangkan kemampuan berkomunikasi dengan orang lain. Dari yang tadinya cuma bisa mengucap “Aaaa,” “Oooo,” “Muuu” secara nggak beraturan, jadi bisa bilang ”Ibu,” “Ayah,” “Mamam,” dan, varian yang kadang paling nyebelin, “Tidak.”
*Gambar dari sini
Kegemasan saya menunggu anak bisa bicara ini sudah pakai bumbu suspense sejak Nara, anak saya, baru lahir. Karena Nara tounge tie dan ayahnya cadel, dokter anaknya sudah berpesan kalau mungkin nanti Nara akan agak telat ngomong karena lidahnya tidak selincah anak lain. Dan mungkin, seperti ayahnya, dia bakal cadel. Okelah, saya terima ini sebagai bagian dari tantangan menjadi orangtua. Cuma menunggunya jadi ekstra deg-degan.
Balik soal komunikasi tadi, seperti kata banyak ibu-ibu sebelum saya, anak sebenarnya sudah berusaha berkomunikasi dengan kita sejak masih bayi. Memang kelihatannya mereka masih piyik banget, belum bisa apa-apa. Tapi 'kan mereka sudah bisa merasa lapar, haus, gerah, dingin, ingin dipeluk, dan sebagainya. Kemudian berusaha mengomunikasikannya dengan hingar bingar dengan satu-satunya cara yang mereka tahu: menangis.
Konon, dari jenis tangisannya, kita bisa tahu apa mau anak. Apakah dia lagi kepanasan? Beda, lho, nangisnya dari dia lagi kepingin nyusu. Dia lagi bosan, beda dari dia lagi mengantuk. Katanya, sih. Saya sendiri dulu sulit membedakan jenis tangisan anak saya. Maybe I’m not that sensitive. Yang ada, saya mencoba segala rupa jurus. Sampai saya punya checklist kalau anak saya nangis, musti cek popok dulu sebelum kasih ASI atau gendong (http://24hourparenting.com/2015/03/bau-tangan/) atau pukpuk atau yang lain. Memang benar susah membedakannya, sih. Jadi, semakinlah saya menanti saat ketika dia bisa bicara supaya saya tahu dia maunya apa.
Ada yang bilang, kata pertama yang dibilang anak biasanya yang paling penting buat dia. Ada juga yang bilang, yang paling gampang dan paling sering didengar. Namanya ibu-ibu, ya, maunya kata pertama yang keluar adalah bu, ma, bunda atau sejenisnya yang penting mengacu kepada ibu, hehehe. Oh, betapa indahnya kalo kata pertama anak yang muncul adalah “Ibu.” Udah berasa paling berarti di dunia aja, ya. Kelar sudah semua urusan.
Saya juga maunya begitu. Tapi nggak gitu-gitu amat. Soalnya, selain saya, ada eyangnya yang juga ikut mengasuh Nara. Kebetulan eyangnya ini cerewet, jadinya rajin ngajak anak saya ngomong. Lebih rajin dari saya mungkin. Jadi, nggak realistis aja kalo maksa anak saya tiba-tiba kata pertamanya ‘Ibu.’ Apa saja, deh, asal cukup jadi penanda kalo dia sudah mulai bisa diajar bicara. Satu kata saja.
Seperti banyak hal lain, menunggu sesuatu itu rasanya bisa sangat lama dan menegangkan. Apalagi kalau urusannya soal anak. Suka deg-degan nggak, sih, kalau dengar anaknya teman atau saudara sudah bisa melakukan sesuatu sementara anak kita belum? Padahal umurnya sama atau anak lain itu umurnya lebih kecil? Saya gitu, sih. Cuma lalu kembali berusaha ingat setiap anak punya perkembangannya sendiri. Deg-degannya hilang sedikit.
Lalu, apakah akhirnya dia bicara? Iyalah. Cuma, seperti perkiraan, dia cadel. Sedikit aja. Mungkin karena tongue tie-nya sudah digunting waktu bayi jadi nggak separah ayahnya. Dan, cerewetnya minta ampun. Ini, sih, kata banyak orang karena yang mengasuh juga cerewet.
Tapi kata pertamanya memang bukan ‘ibu.’ Kalau diingat-ingat, saya sebenarnya juga agak lupa apa kata pertamanya. Mungkin ‘nana’ pas minta nenen, mungkin juga ‘ibueh’ buat manggil saya (technically, bukan ibu), atau mungkin ‘bukak’ pas minta tolong dibukain payung favoritnya. Saya juga sedikit lupa di umur berapa dia bisa bicara.
Aneh, ya, kalau saya tidak ingat? Padahal ini bagian yang paling saya tunggu dari perkembangan anak saya. Mungkin sebenarnya yang saya tunggu bukan kata pertamanya. Mungkin sebenarnya yang saya tunggu dia bisa berkomunikasi dengan saya, supaya saya, yang tidak sensitif ini, tak perlu menebak-nebak lagi. Supaya ketika dia jatuh, dia bisa bilang bagian mana yang sakit. Supaya ketika dia demam, dia bisa memberi tahu saya jika ada bagian lain yang juga ikut sakit. Supaya ketika dia menangis, saya tahu dia sedang sedih, marah, kecewa, atau malah sedang tersentuh. Supaya saya bisa dengan benar tahu apa yang dia inginkan, supaya saya bisa dengan tepat memberikan apa yang dia perlukan. Itu saja.
Dan kata pertama cuma awal dari itu semua.