Motherhood is a choice you make everyday to put someone else's happiness and well being ahead of your own to teach to hard lesson, to do the right thing event you're bit sure what the right things is, and to forgive yourself over and over again for doing everything wrong.
Sejak dulu, saya paling sebal kalau dibandingkan dengan orang lain. Baik dengan kedua kakak perempuan saya, terlebih dengan orang lain seperti sepupu atau teman-teman saya sendiri. Meskipun hal tersebut saya alami ketika di zaman ABG, di mana bayangan untuk berkeluarga masih jauh di atas angan-angan, tapi tetap saja saya sering membatin, "Suatu saat kalau gue punya anak, nggak mau deh banding-bandingin. Rasanya nggak enak!".
Lalu sekarang, ketika sudah berkeluarga dan menikah, apakah saya berhasi melakukannya? Ah, tentu saja tidak. Meskipun saya tahu benar kalau membandingkan itu bukan sikap yang baik dalam mendidik anak, toh, sesekali saya tanpa sengaja pernah melakukannya. Sebenarnya, sih, tujuannya hanya ingin memberi contoh, tapi tetap saja membandingkan bukan cara yang baik untuk mendidik #failedmom .
*Gambar dari sini
Sebenarnya pengalaman yang sudah pernah kita rasakan ketika kecil dulu bisa dijadikan pelajaran. Jika memang dirasa tidak baik untuk diterapkan, ya, usahakan untuk tidak melakukannya. Seperti yang diungkapkan oleh Efnie Indirani, M.Psi. bahwa kesalahan pola asuh saat mendidik anak yang sering tidak disadari orangtua akan berdampak buruk pada tumbuh kembang anak secara psikologis.
Waktu berbincang dengan psikolog keluarga sekaligus Kepala Psikolog Riset dan Terapan Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha, Bandung, beberapa waktu lalu, ia mengatakan bahwa sampai saat ini masih banyak sekali orangtua yang tidak sadar melakukan kesalahan dalam mendidik anak. Apa saja?
Membandingkan
Seperti yang sudah saya tulis di atas, meskipun semua orang pada dasarnya tidak suka dibanding-bandingkan, ternyata ketika sudah menjadi orangtua membandingkan anak merupakan tindakan yang sering kali dilakukan. Terlebih ketika orangtua memiliki lebih dari satu anak, mereka secara tidak sadar membandingkan anak satu dengan anak lainnya. Padahal hal ini akan membuat anak tidak memiliki kepercayaan diri.
Efnie menyarankan untuk mencegah diri dari ketidaksengajaan membanding-bandingkan anak, kita para orangtua harus membangkitkan kesadaran diri kalau setiap anak adalah unik, dan memiliki kemampuan yang berbeda satu sama lain. Ia memberi contoh, ada anak yan lebih mudah menyerap pelajaran lewat suara, tapi ada juga yang lebih mudah menerima lewat gambar. Untuk itulah orangtua seyogyanya mampu melihat dan menggali potensi anak.
Mengacuhkan Anak
Siapa di antara Mommies yang masih sering mengatakan, “Sebentar ya, nak, Ibu lagi capek banget, nih. Kamu main sendiri dulu aja, ya?” Menurut Efnie kalimat seperti ini merupakan tindakan mengacuhkan anak, lho. Padahal sebagai anak, tentu mereka sangat merindukan momen kebersamaan ketika kita pulang bekerja. Jadi tidak heran, kalau si kecil minta ‘jatah’ main ataupun sekadar curhat dengan orangtuanya. Kita tentu tahu, ya, bagaimana rasanya jika diacuhkan oleh orang yang kita sayang dan rindukan? Lantas, apakah tindakan ini tetap akan kita lakukan?
Padahal, dengan memberikan respon dengan berkata, "Nanti dulu, Ibu sedang capek," hal ini sama saja kita menolak untuk diajak berkomunikasi. Dan hal ini tentu saja berdampak buruk di kemudian hari, di mana si kecil bisa merasa kapok untuk mengajak ngobrol karena merasa diacuhkan. Penting bagi kita, untuk memiliki waktu yang berkualitas bersama si kecil. Paling tidak sisihkan waktu selama 30 menit setiap pagi sebelum kita berangkat ke kantor, dan 30 menit sebelum kita tidur.
Anak Berhasil = Nilai Bagus
Menurut Efnie, sampai sekarang masih banyak orangtua yang mengukur keberhasilan anak lewat angka. Misalnya, anak dinilai hebat dan pintar ketika ia berhasil mendapatkan nilai yang tinggi dan mampu mendapat rangking di kelas. Padahal, kemampuan dan kecerdasan anak tidak hanya diukur lewat angka.
"Misalnya nilai rata-rata kelas anak di sekolah itu 75. Si anak berhasil mendapat nilai di bawah 80, orangtua justru mengatakan "Kenapa cuma 80? Kenapa tidak 100?”. Hal seperti ini menunjukan bahwa orangtua tidak memberikan apresiasi atas suatu pencapaian yang dilakukan anak yang akan jutru bisa membuat anak minder dan merasa kalau usahanya tidak dihargai.
Berdebat di Depan Anak
Saya yakin sekali kalau semua Mommies sudah paham kalau bertengkar dengan suami punya dampak yang buruk terhadap perkembangan anak. Biar bagaimana pun jika hal ini terjadi berulang-ulang, maka akan berdampak pada psikologis si kecil. Ketika pertengkaran tersebut sudah terekam di pikiran anak, adegan tersebut bisa menimbulkan trauma yang terbawa hingga dewasa.
Namun, bagaimana dengan kalimat yang diucapkan dengan nada tinggi? Baik kalimat tersebut kita tujukan untuk pasangan ataupun anggota keluarga lain di rumah, termasuk si mbak? Bukan tidak mungkin, dong, hal ini akan dicontoh? Untuk itulah, perlu bagi kita semua para orangtua untuk meredam emosi. Ada baiknya ketika ingin menyelesaikan masalah, jangan di depan anak. "Kita kan pasti mengajarkan budaya Timur kepada anak yang harus menghargai dan menghormati orangtua. Tapi ternyata kita sebagai istri malah sering membentak suami atau sebaliknya di depan anak. Itu sangat disayangkan," ujarnya.
Menerapkan Konsep Materi
Sebuah studi yang dilakukan oleh Penn State's Smeal College of Business, seperti dikutip dalam No More Misbehavin' yang ditulis oleh Michele Borba, Ed.D, mengatakan kalau anak-anak zaman sekarang lebih materialistis di usia yang lebih muda lagi. Oleh karena itu, kita sebagai orangtua yang bertugas untuk mengajarkan anak untuk tidak bersikap materialistis.
Ternyata, selain faktor luar seperti iklan di televisi, menyogok anak dengan dengan berbagai mainan, ada salah satu kesalahan orangtua yang tanpa sengaja masih sering dilakukan. Yaitu ketika mengatakan pada anak, bahwa ia harus berkerja untuk mencari uang. Terlebih jika alasan ini digunakan untuk menghabiskan waktu dengan mereka. “Menolak bermain bersama anak dengan mengatakan, ‘Mama kan capek kerja cari uang untuk kamu’, secara tidak langsung menanamkan pada benak anak bahwa uang adalah segalanya.
Adakah Mommies yang pernah melakukan lima kesahahan di atas, seperti yang pernah tanpa sengaja saya lakukan?