3 Tantangan Anak Pra-Remaja & Cara Menghadapinya

Behavior & Development

adiesty・27 May 2015

detail-thumb

Bagi yang belum memiliki anak pra-remaja, nggak ada salahnya artikel ini dibaca untuk persiapan kelak, agar hubungan kita dengan si anak yang akan beranjak remaja nggak penuh dengan konflik :).

Duh... pusing, deh, punya anak pra-remaja masalahnya lebih sulit, ya. Saya pikir lebih mudah mengurus dan mendidik anak yang usianya sudah 9 tahun ke atas ketimbang balita. Tapi, ternyata dugaan itu salah”.

Kira-kira begitulah kalimat curhatan yang dilontarkan salah satu sahabat saya yang sudah punya anak ABG. Sebagai ‘tong sampah’ yang baik, saya pun hanya bisa merespon dengan senyuman dan sesekali melemparkan pertanyaan. Salah satunya adalah, “Memang, ada masalah apa sih?” Pertanyaan singkat ini pun lantas dijawab dengan singkat, “Intinya sih, sekarang, antara Vira dan gue sering banget terlibat konflik. Ada aja yang diributin”.

0e525863dc58bcd3327745674ac906aa

Masalah yang sedang dialami kawan saya ini tentu sudah sering kali kita dengar. Banyak orangtua yang merasa kewalahan dengan perubahan sikap anaknya. Buat saya yang anaknya masih berusia 5 tahun, masalah ini memang belum saya alami. Namun,  sebagai orangtua kita memang dituntut untuk terus belajar. Biar bagaimanapun, cara menghadapi anak saat mereka masih bayi, balita, remaja, ataupun dewasa memang berbeda.

Hal ini pun diamini Psikolog Spesialis Perkembangan Anak, Vera Itabiliana K. Hadiwidjojo, Psi. "Fase perkembangan anak memang punya tantangan masing-masing. Tidak bisa dikatakan kalau anak pada masa balita lebih mudah diurus dibandingkan anak-anak yang masuk pada usia pra-remaja. Hanya saja, memang menghadapi anak-anak yang mulai masuk pada usia pra-remaja ini lebih banyak tantangannya, karena mereka sudah memiliki keinginan sendiri. Berbeda dengan anak balita, yang memang mudah mengikuti keinginan orangtuanya.”

Vera mengungkapkan bahwa perubahan ini tidak terlepas dari masa pubertas di mana seorang anak akan menghadapi perubahan hormonal yang besar. Hal ini pun akan memengaruhi perkembangan secara fisik ataupun psikologis, yang akhirnya berujung kepada kematangan seksual.

Biasanya orangtua suka nggak ngeh kalau anaknya sudah masuk dalam masa pubertas. Memang untuk ciri fisik belum bisa terlihat. Namun sebenarnya, kita bisa melihatnya dari ciri emosi anak-anak. Mereka lebih mudah mengalami mood swing dan labil. Jadi mudah ngotot dan membantah orangtua. Rupanya, hal inilah yang akhirnya menimbulkan ‘gesekan’ hingga terjadi konflik antara orangtua dan anak. Ujung-ujungnya, anak-anak pun akan melarikan diri pada situasi yang mereka anggap bisa memberikan kenyamanan.

Masa pubertas anak-anak sendiri sebenarnya tidak bisa disamaratakan. Tumbuh kembang anak tentu akan berbeda. Namun, seperti yang sudah sempat saya tulis di artikel ‘Anak Puber? Ini Yang Harus Dilakukan!’, biasanya masa pubertas anak perempuan akan terjadi pada usia 9 hingga 11 tahun. Sementara untuk anak laki-laki akan terjadi ketika mereka berusia 11 hingga 13 tahun.

Menurut Vera Itabiliana, Psi, problem utama anak pra-remaja umumnya berkaitan dengan pubertas. Dan, ada 3 hal yang sering dihadapi  oleh anak-anak usia pra-remaja yang sebaiknya dipahami oleh para orangtua. Apa saja itu?

Girl-Acne-Mirror

*Gambar dari sini

  • Nggak pede dengan penampilan fisik
  • Kalau saya ingat-ingat lagi masa remaja saya dulu, memang sih, urusan penampilan cukup menyita perhatian. Namanya juga abege, hehehe. Ternyata, banyak anak pra-remaja saat ini yang juga merasa tidak nyaman dengan penampilan fisik mereka. Saran dari Vera adalah alihkan kepada hal-hal lain yang tidak ada kaitannya dengan urusan fisik. Orangtua harus pandai menggali kelebihan lain yang dimiliki oleh si anak dan tunjukkan pada anak bahwa mereka punya hal lain untuk dibanggakan. Orangtua juga bisa memberikan masukan atau informasi yang berkaitan dengan tampilan fisik, misalnya, pola makan sehat seperti apa, cara berpakaian yang baik seperti apa. Ingin memasukkan anak ke sekolah kepribadian? Tidak masalah, asalkan memang si anak yang mau, bukan keinginan orangtua semata.

    rules

    *Gambar dari sini

    2. Mudah konflik dengan orangtua

    Sering terjadi adalah orangtua tidak siap menerima kenyataan bahwa anak sudah beranjak remaja. Tidak  menyadari bahwa berkomunikasi dengan remaja berbeda cara dengan berkomunikasi ketika anak masih kecil. Maka, orangtua perlu mempelajari  lagi karakteristik anak remaja seperti apa. Kalau selama ini anak lebih banyak mendengarkan, sekarang diubah dengan orangtua lebih banyak mendengar. Time Alone juga tetap penting untuk dilakukan pun ketika anak sudah beranjak remaja.

    Menurut Vera, hal yang seringkali menimbulkan konflik adalah penerapan aturan di keluarga. Contoh mudah misalnya, saat anak ingin pergi bersama teman-teman sampai jam berapa, namun orangtua mengizinkannya hanya sampai jam berapa. Vera menyarankan, jangan sekadar melarang, namun orangtua harus belajar untuk memberi alasannya, menyampaikan kekhawatiran. Hal ini perlu dilakukan agar anak paham kalau orangtua memberi aturan karena rasa sayang. Berikutnya yang bisa dicoba adalah berdiskusi dan bernegosiasi. Misalnya, “Oke, kamu boleh nonton di PIM sampai jam 8 malam, tapi mama akan ikut ke PIM dan menghabiskan waktu di toko buku menunggu kamu selesai nonton.”

    peer-pressure2

    *Gambar dari sini

    3. Peer pressure

    Siapa di antara kita yang tidak pernah mengalami tekanan dari teman sekolah dulu? Kayaknya nggak mungkin deh. Mau di sekolah manapun, pasti yang namanya tekanan dari teman-teman sudah pasti ada. Hal sepele seperti gaya rambut atau pilihan baju aja bisa dikomentarin abis-abisan jika memang tidak sesuai dengan ‘standar’ teman-teman satu geng. Tekanan teman sebaya menjadi problem yang cukup sering karena di usia ini anak sudah mulai peduli dengan apa pendapat teman-temannya.

    “Jika memang anak-anak sedang mengalami masalah dengan teman di sekolah atau lingkungannya, hal yang bisa dilakukan orangtua adalah mendengarkan keluh kesahnya. Jangan sampai kita mengatakan, ‘Ah sudah, lupakan saja. Hal seperti itu, kok, dipikirin.’ Dalam hal ini orangtua tidak bisa meremehkan atau mengecilkan perasaan anak. Jangan sepelekan apa yang dirasakan anak. Coba untuk mahami dan berada dalam posisi mereka,” pesan Vera. Tanyakan ke anak, kira-kira solusi yang menurut mereka nyaman apa, cari solusi bersama antara orangtua dan anak. Setelah menemukan solusinya, jangan lupa orangtua harus memantau terus, follow up terus, bagaimana kondisinya.

    “Sering kali, karena ingin melindungi anak, orangtua jump in ke what to do, sehingga melupakan perasaan anak. Orangtua jadi sering mendikte, kamu harus ini harus itu. Coba biarkan anak bercerita, lebih  dulu. Jika memang anak sulit untuk bercerita, kita dahulukan dengan sharing apa yang sudah kita lewati. Kemudian, baru kita pancing untuk mengetahui perasaan dan emosinya dan biarkan anak untuk bisa mencari solusi dengan pemikirannya sendiri”.

    Lebih lanjut, Vera memaparkan bahwa sampai saat ini masih banyak orangtua yang sering ‘terjebak’ dengan merasa apa yang mereka pikirkan adalah yang terbaik untuk anak-anaknya. Sebagai orangtua, kita memang harus bisa menurunkan ego lebih dulu. Dengan memahami anak yang masuk dalam masa puber, kita bisa memosisikan diri sebagai mereka.

    Umh, benar juga, ya, dengan me-rewind masa pra-remaja dulu, tentu kita bisa mendapatkan gambaran tindakan atau respon seperti apa yang paling diharapkan.

    Mendengar penjelasan Mbak Vera ini, saya jadi ingat dengan tahapan perkembangan manusia yang diungkapkan E. Erikson. Dalam pandangannya Erikson mengemukakan bahwa anak adalah makhluk yang aktif dan penjelajah yang adaptif, yang selalu berupaya untuk mengontrol lingkungannya, dan anak bukanlah makhluk pasif yang mau begitu saja dibentuk oleh kedua orangtuanya. Maka,  kembali tentang pentingnya Time Alone, hal ini akan membuat hubungan antara anak dan orangtua menjadi lebih nyaman.

    Ah, soal yang satu ini saya yakin semua orangtua memiliki harapan yang sama, saya ataupun Mommies lainnya. Mudah-mudahan, kita bisa selalu menjadi 'rumah' yang nyaman untuk anak-anak.