Bukan ibu namanya kalau nggak gampang parno – setidaknya saya sempat merasakan ini. Serba cemas dan khawatir kalau berkaitan dengan anak. Tapi, itu karena saya ingin yang terbaik buat si kecil.
Menurut suami saya, saya ini suka mencemaskan banyak hal yang tidak penting. Contohnya, mikir jam berapa si kecil harus bangun supaya bisa berangkat sekolah jam berapa, harus tidur siang supaya tidur malamnya nggak terlalu larut, menu makan buat besok apa saja, harus cari kegiatan pengganti supaya si kecil nggak overlimit main gadget dan sejuta pikiran lain bercampur aduk jadi satu. Semua harus saya pikirin. Semua harus menemukan jalan keluar yang membuat hati nyaman. Dan, cemas sendiri kalau tidak menemukan jalan keluar. Jadi ibu memang gitu, ya.
*Gambar dari sini
Suami saya suka bete kalau saat saya masuk ‘mommy mode’ kemudian saya menjadi sebal ketika tidak bisa memenuhi ekspektasi diri. Salah satu contohnya, baru terjadi beberapa hari lalu.
Akhir pekan adalah waktunya Nara main ke rumah eyangnya. Saat Nara main sama eyangnya, saya sama suami bisa istirahat. Dan di hari Minggu kemarin, tidak ada bedanya. Bahkan Nara sempat minta izin mau beli ayam sama eyangnya. Saat sedang istirahat (alias tidur), saya mendadak ditepuk Nara yang setengah menangis minta pulang ke rumah. Rupanya sehabis beli makanan, dia diajak main ke rumah tetangga yang punya anak seumuran Nara. Lalu, dua anak itu main bareng. Menurut cerita eyang, Nara nggak mau disuruh pulang. Mungkin dia marah karena dipaksa pulang.
Saya pun mulai bete. Bete karena awalnya Nara nggak nangis, sekarang nangis. Bete karena ternyata Nara main ke rumah temannya cukup lama dan ternyata anaknya belum makan. Kemudian cemas kalau nanti Nara susah diajak makan. Tapi ya sudahlah, mari kita pulang. Dan, bete saya pun berlanjut, ketika sore saat dia mandi saya menemukan baret di siku. Kenapa ada bonus baretnya? Ini anak tadi ngapain sih? Ditanya pun Nara bilang dia nggak tahu dapat baret di mana.
Di sinilah saya mulai masuk ‘mommy mode’. Berpikir, harusnya saya bisa pesan ke eyang untuk langsung pulang. Harusnya dia makan dulu sebelum pergi. Harusnya saya saja yang mengajak dia main supaya dia nggak perlu main sama anak lain dan luka baret.
I have let him down.
Dan, daftar ‘harus’ saya pun semakin panjang dan merembet ke hal-hal lain yang tidak ada urusannya sama inti permasalahan di awal. Harusnya saya sudah menyekolahkan dia supaya eyangnya nggak merasa cucunya kuper sampai harus diajak main ke rumah tetangga. Harusnya saya bisa nemenin dia sekolah. Harusnya saya bisa disiplin meminta dia gosok gigi sebelum tidur. Harusnya saya bisa mengajak dia jalan-jalan pagi. Harusnya saya lebih sehat. Harusnya saya bisa masak terus buat dia. Harusnya saya nggak teriak-teriak. Harusnya saya nggak begini karena saya editor web parenting. Harusnya …
Lalu, untuk pertama kalinya dalam 3 tahun mengurus Nara, saya merasa jadi ibu paling tidak kompeten di dunia. Saya nangis. Sambil mandiin anak. Jelek banget pasti mukanya. Ini bagaimana ya, apa saya pura-pura cuci muka aja supaya nggak terlihat kalau nangis sama Nara, ya? Tapi belum sempat saya siram muka pake air, Nara yang tadi lagi asik nyemplungin mobilnya ke bak mandi bilang,
“Ibu kenapa begitu?” sambil ngeliatin saya.
Saya cuma balik nanya, “Begitu gimana?”
“Ibu jangan begitu.”
Lalu saya dipeluk. Kepalanya ditempel di bahu saya. Lalu saya dipuk-puk. Tidak, saya tidak langsung baik-baik saja. Malah rasanya tambah ingin mewek.
Suami kemudian ikut bertanya, kenapa. Lalu berkeluhkesahlah istrinya ini tentang keharusan dan kekhawatirannya. Tentang banyak hal yang tidak berjalan sesuai harapannya.
“If you’re sad and angry every time things doesn’t go your way, you can be sad and angry nggak every day,” katanya. Pragmatis berat memang si suami saya ini. Kalau saya sedih dan marah setiap saat sesuatu tidak berjalan sesuai harapan, saya bisa sedih dan marah setiap hari.
Semua ibu juga ingin yang terbaik buat anaknya. Tapi realistis saja, kita punya keterbatasan. Iya,kan? Buat memenuhi harapan diri sendiri saja sudah ribet, belum lagi timbunan harapan dari orang lain. Benar memang, kalau kita berusaha memenuhi semua ekspektasi, bisa sewot terus tiap hari. Jadi ibu mungkin ibarat tugas negara, mustahil kalau tidak tertekan. Kalau bebas tanpa tekanan rasa-rasanya sulit, jadi, satu-satunya cara ya mari minimalkan penyebab kita stres. Dipilih saja mana yang memang harus, yang menurut kita penting dan mana yang tidak. Seringnya yang bikin kita merasa tidak kompeten dan gagal(http://24hourparenting.com/slide/tentang-merasa-gagal/) jadi ibu asalnya dari faktor yang tidak bisa kita kendalikan. Ini penting, menurut saya. Soalnya kalau ibu merasa tertekan dan tidak bahagia, bagaimana cara dia akan mengurus anak dengan baik?
Ya, saya kadang-kadang teriak kalau lagi kesal. Kadang saya longgar tentang aturan waktu bermain gadget. Saya juga pernah membiarkan Nara tidak mandi karena saya malas harus mengejar-ngejar dia keliling rumah. Sekali-kali Nara juga pernah berteriak ke saya. Tapi saat saya menangis, anak yang sering ogah menjawab kalau dipanggil ini memeluk saya. Paling tidak, meskipun dia malas makan sayur lodeh, dia bisa berempati. Dan, untuk editor web parenting ini, bisa berempati itu skill yang penting. I must’ve done something right.
In my worst, I’m an OK mom. And that’s not a bad thing.
Wicahyaning Putri adalah Editor di 24hourparenting.com. 24hourparenting.com adalah adalah situs parenting yang memuat how-to-parenting, singkat dan to the point, juga membahas tentang menjadi orangtua, dan ide kegiatan ortu-anak. Dilengkapi visual yang semoga asik. Diasuh oleh psikolog dan orangtua.