Suka atau tidak, cerita Fifty Shades of Grey telah menjadi fenomena dunia. E.L James membuat sesuatu yang baru, sebuah novel dewasa yang tidak seperti cerita romantis maupun porno lainnya, tetapi memasukkan unsur BDSM (Bondage, Domination, Sadism and Machonism) yang menjadi kontroversi. Praktik BDSM sendiri, bagaimanapun penerimaan dalam masyarakat di dunia barat sana, sebelum ini masih dikotakkan pada sudut lain, dianggap sebagai hal yang aneh, asing, dan milik komunitas tertentu.
Tetapi begitu novel ini booming, fenomena BDSM tersebut seolah dibawa ke tengah masyarakat, diolah dan diaduk sedemikian rupa sebagai bagian dari hubungan cinta antara dua orang biasa. Apa yang terjadi? Semua orang yang terekspos pada buku (dan film) ini pun ingin tahu lebih banyak tentang BDSM, paparan BDSM yang meningkat tajam, dan seterusnya.
Saya tidak anti buku ini, dan saya pun penasaran serta membaca sebagian. Namun kemudian buku ini difilmkan sehingga Fifty Shades pun memperoleh ketenaran berkali-kali lipat, hingga mempunyai jutaan fans di seluruh dunia.
Tapi wajarkah exposure yang sedemikian besar tersebut? Saat membaca artikel "To everyone who thinks 50 Shades is all sorts of awesome: Please, stop and THINK," I couldn't agree more. Let's think again before promoting this movie in your social media, mentioning it over and over in your daily activities, and referencing it to others. Saya beberapa kali mendapati cuplikan film diposting ke halaman Instagram, ajakan nonton bareng diposting ke Twitter, dsb.
Why so? Mari kita breakdown beberapa alasannya.
Banyak yang beranggapan, apa yang dilakukan tokoh utama pria dalam cerita tersebut bukan sebuah kekerasan, karena adanya persetujuan dari pasangannya. Dengan atau tanpa persetujuan, tindakan-tindakan kasar bahkan kejam - memukul, menampar, menyakiti bagian tubuh - tetap merupakan tindakan kekerasan yang tidak bisa dibenarkan. Ini baru yang fisik, belum kekerasan psikis seperti menekan, meneror, menguntit, menakut-nakuti.
Ada banyak yang beralasan, yang menonton 'kan juga sudah dewasa, jadi ini cuma bagian dari 'fantasi' yang malah bagus untuk kehidupan seks rumah tangga mereka. Saat kita berpendapat demikian, coba pikirkan ribuan generasi muda yang juga menonton film ini. Seperti dikutip dari artikel yang saya sebut di atas, "The younger generation are being socialized to accept violence and torture inside of a sexual relationship, so we have created a toxic situation in which people very much are being hurt."
Dan bahkan karena terus menerus ditampilkan dalam jalan ceritanya - dikesankan sebagai hal yang romantis dan erotis. Sebuah hubungan yang sehat tidak akan memasukkan unsur kekerasan, atau perilaku dominan dan submissive (seperti tuan dan budaknya).
Bondage, Domination, Sadism, Masochism. Adakah diantara keempat istilah tersebut yang mencerminkan sebuah romansa atau cinta? Alasan mengapa BDSM tetap berada pada kotak terpisah, pada tempat yang 'tidak lazim,' adalah bahwa perbuatan tersebut adalah penyimpangan, yang seharusnya mendapat sanksi atau terapi. Bukan mendapat persetujuan secara perlahan dari masyarakat.
Saya tidak tahu bagaimana di Indonesia, tetapi sejak buku ini meledak, sangat mudah mencari berita atau tulisan apapun tentang hal ini. Penjualan 'BDSM tools' yang meningkat, paket hotel yang menyewakan 'play room' milik Christian Grey, dan tentu saja, kasus-kasus kekerasan pada perempuan. Dalam cerita tersebut - tentu saja - yang menjadi 'korban' adalah sang wanita.
Apa yang sudah kita tanamkan pada anak-anak perempuan kita seperti bagaimana menghargai tubuhnya, bagaimana bentuk hubungan yang sehat bisa buyar dengan bagaimana mereka nantinya dan masyarakat memandang film ini adalah sesuatu yang normal. Bukan hanya itu, tapi juga yang kita tanamkan pada anak-anak laki-laki kita tentang bagaimana menghargai perempuan. Apakah kita rela anak perempuan kita diperlakukan seperti Anastasia, atau anak laki-laki kita menjadi seperti Christian? Buku ini seperti mengoyak nilai-nilai tersebut, dan melecehkan harga diri seorang manusia. Oh ya, silakan baca di artikel ini tentang anak perempuan ABG di Indonesia yang status media sosialnya "Reading Fifty Shades of Grey."
Well, of course, there are still a LOT of to take from this Fifty Shades phenomenon. But at least, take time to think, and please consider the impact if you promote this book/movie.