Sekali lagi, iya. Sudah berkali-kali diributkan dan, ya, kalau mau jujur endingnya tetap sama. Kesimpulan bahwa dalam menanggapi tentang sex education, para orangtua di Indonesia masih belum move on dari generasi sebelumnya. Tetap berharap tidak perlu membahas tentang seks dengan anak, kalau perlu sampai kapan pun.
Saya pun begitu. Dibesarkan dengan tidak sepatah kata pun tentang seks didiskusikan dalam keluarga, lidah ini rasanya kelu dan pikiran jadi blank membayangkan harus ngomong tentang itu sama anak. Tapi kalau bukan saya atau ayahnya sebagai orangtua, lalu siapa lagi? Bisakah kita mempercayakan hal ini pada orang lain, walau itu guru sekalipun? Guru dan sekolah belum tentu punya prinsip yang sama dengan prinsip yang kita bangun di keluarga. Guru sendiri sebagai orangtua, apa sudah berdiskusi tentang seks dengan anaknya sendiri?
Kalaupun dibahas di sekolah, pasti tidak akan bisa senyaman dan sedetil berdiskusi dengan orangtua sendiri. Hanya akan dibahas secara garis besar, dan (bisa jadi) hal-hal penting malah luput. Lalu anak harus bertanya dan membahas dengan siapa?Dari isu yang kemarin ramai tentang buku seorang psikolog yang dianggap tidak pantas dibaca anak (setahu saya memang bukan untuk anak dan penerbit juga menjelaskan bagian tersebut ada karena pengalaman penulis menjadi konselor remaja sering menghadapi pertanyaan seperti itu), saya melihat ternyata masih banyak orangtua yang memilih mensterilkan anak ketimbang memberi pemahaman.
Steril memang lebih gampang dilakukan. Jauhkan buku, gambar, dan video porno dari anak (ya, jelaslah!). Tapi sampai kapan? Dan sampai dimana kontrol kita berpengaruh? Oke, anak aman di usia sekolah. Lalu apakah di usia 25 dia boleh seks bebas? 30? Tentu tidak, bukan? Usia bukan legitimasi perilaku.
Ada banyak sekali jalan ke materi pornografi kalau dicari. Zaman sekarang sebetulnya lupakan buku. Di zaman gadget, buku itu pilihan sumber informasi paling bawah. Buku itu membosankan. Apalagi buku psikologi.
Jangan lupa, di rak komik di bagian anak-anak, komik dewasa bercampur dengan komik anak. Apakah kita menemani anak menjelajah kesitu dan memantau apa yang dibaca anak? Lagu yang sedang hits di sekolah anak dan didownload MP3nya ke gadget anak, sudah baca liriknya seperti apa? Sudah cek video klipnya seperti apa? Game yang dimainkan anak, sudah dicek seperti apa? Yakin tidak ada konten 17+ karena orang tua tidak bisa mengeset restriction di gadget?
Oke, gadget anak sudah aman, televisi sudah diset supaya hanya menampilkan acara anak, craft, dan masak-memasak. Tenang, dong, kita? Teman anak bagaimana? Di sekolah bagaimana? Anak playdate atau main di rumah teman bagaimana? Gadget temannya, acara televisi dan tontonan di rumah teman, saudara teman? I can give you a very long list about this. Bisakah kita mengontrol semua itu?
Lalu mengapa kita sibuk mencari penyebab dan kambing hitam kalau sebetulnya yang paling gampang adalah ngobrol dengan anak sendiri? Mengobrol susah? Believe me masih jauh lebih susah mengontrol dunia supaya nggak sodorin konten pornografi ke anak kita, deh.
Saya pernah menonton Victoria Secret Fashion Show sama si Ayah sambil mengomentari perut modelnya yang super rata padahal punya bayi (siapa yang nggak iri, coba?!). Lalu anak lewat dan protes kenapa mereka nggak malu pakai baju seperti itu di panggung? Saya jawab karena disana memang nggak dituntut untuk malu seperti itu dan memang brand tersebut berjualan pakaian dalam. Sebagaimana model pakaian lain seperti baju atau celana yang lebih jelas bentuk dan cuttingnya saat dipakai orang ketimbang cuma digantung, demikian juga pakaian dalam. Anak saya ngeloyor pergi dengan muka bosan. Sepertinya Minecraft lebih menarik untuknya :D.
I can choose to change the channel when he's around, and switch back when he's not. Then what happen? Exactly, dia akan penasaran apa yang Mamanya tonton sampai dia nggak boleh lihat. He might google for it. And bam, keluarlah Youtube VS Fashion Shows tahun ini dan tahun-tahun sebelumnya plus konten-konten lain yang malah lebih porno. Then things goes up from there.
Sesuatu itu membuat penasaran kalau dianggap menarik, hits di antara teman, dan...dirahasiakan. Betapa pun sepelenya, kalau sifatnya rahasia nilai interestnya akan naik berkali lipat. Hukum kekepoan, kalau saya bilang. Bukan juga berarti kita paparkan anak sembarangan tanpa menimbang kedewasaan atau umurnya. Hanya saja, kita saat ini kejar-kejaran dengan paparan dari luar. Jangan sampai kalah duluan dengan paparan luar. Syukur-syukur kalau bisa bersamaan, saat anak mendapatkan konten, saat itu pula dia bertanya pada kita dan saling berdiskusi. Every parents' dream ini, sih, ya.
Mulailah dari sekarang. Ajak anak bicara, tentang apa saja. Dengarkan apa yang dia pikirkan, diskusikan. Lupakan salah benar, utamakan berjalannya diskusi. Yuk!