Sorry, we couldn't find any article matching ''
Si Gembrot
Judul yang menyakitkan..
Kalau kita sendiri yang dipanggil gembrot, gendut, atau variasi unyunya macam embrot, ndut, kira-kira gimana ya?
*Gambar dari sini
Saya sendiri kurus, tetapi saya merasa risih apabila ada orang yang dengan mudahnya memanggil anaknya, saudaranya, atau bahkan anak tetangganya dengan sebutan demikian. Apakah kita tahu, mereka merasa senang atau tidak dengan julukan tersebut?
Ini pengalaman adik saya sendiri. Sejak kecil badannya terlihat relatif berisi karena tubuhnya tidak begitu tinggi, walau sebenarnya berat badannya masih normal. Di keluarga besar saya, tradisi saling berbalas jokes menjadi salah satu acara yang bisa menghidupkan suasana, meskipun topiknya adalah kekurangan salah seorang dari kami. Berat badan adalah salah satunya, selain warna kulit, dan kejadian memalukan yang pernah dialami.
Pada saat saling bercanda, yang ada hanya tawa. Yang apes menjadi bahan guyonan biasanya bisa membalas, kalau tidak ya paling hanya manyun-manyun pasrah (itu kaya gimana ya?). It seemed like no hurt-feeling, just jokes.
Suatu hari dalam perjalanan pulang dari acara keluarga, adik saya menangis di mobil, marah ke saya. Alasannya, saya melempar joke tentang berat badannya and it hurt her. Saya sangat kaget, karena pada saat itu I thought that we all did that and nobody protested, for years. Dia meluapkan segala kekesalan dan sakit hatinya yang terpendam selama ini –dalam isak tangis- karena selalu diejek gemuk, gendut, dsb. Saat itu, usianya 23 tahun! Selama itukah dia memendam perasaannya?
Awalnya saya sempat menyangkal, kok gitu aja sakit hati sih? Tetapi kemudian saya ingat rasa jengkel saya saat remaja dan terus-terusan dibilang kurus. Iya, saya sangat kurus. Apalagi kalau yang mencela adalah orang-orang terdekat yang tahu bahwa sebanyak apapun saya makan, saya tetap kurus karena dari sononya emang begini.
“Mbak, mbok digemukkin dikit tho badannya, “ kata Mama.
“Nanti kalau kurus-kurus keliatan tua lho,” lanjut Mama.
Walaupun itu saran dari Mama, diucapkan dengan halus, bermaksud memotivasi, saya langsung berpikir bahwa “aku kurus + mukaku tua = tidak menarik”. Apalagi hal tersebut diucapkan sewaktu SMA. Betul, rasa pede saya tentang tubuh saya langsung terjun bebas. Semua baju seolah tidak ada yang pas di tubuh saya, haha..
Dari perenungan itulah akhirnya saya menyadari bahwa saya telah ikut serta menurunkan self-esteem adik saya, dalam rentang waktu yang lama, dan entah berapa lama efeknya akan berlangsung. Akankah kata maaf menyelesaikan segalanya? Baca di halaman selanjutnya, ya.
Sejak saat itu saya tidak pernah lagi membahas tentang berat badannya sebagai bukti ucapan maaf saya. Namun saya melihat bahwa ia masih berpikir bahwa ia gemuk, dan merasa dirinya tidak secantik yang lain (a.k.a yang langsing). Ia pernah hampir mengalami gangguan makan, karena mencoba diet tetapi tidak kuat. Akhirnya malah makannya tidak terkontrol, kemudian merasa bersalah. Alhamdulillah tidak sampai dimuntahkan.
Ahli kejiwaan dari Rumah Sakit Internasional Omni Alam Sutera Tangerang, dr Kresno Mulyadi SpKJ mengatakan bahwa ejekan yang berulang-ulang akan membuat anak mendapatkan sugesti dan berpikir bahwa ejekan tersebut benar adanya. Betapa fatal akibatnya ya..
Yang menyedihkan adalah, banyak proses bullying semacam ini dilakukan oleh lingkungan terdekat anak, seperti anggota keluarga, teman sekolah, maupun lingkungan tetangga. Saya sendiri menjadi saksi mata kala seorang tetangga mengatakan anaknya sebagai “kulkas dua pintu” di depan ibu-ibu lainnya, dan mereka pun tertawa terbahak-bahak. She thought it was fine, but it’s not.
Kejadian di atas hanya akan menjadi lingkaran setan, karena kelak si anak akan berpikir bahwa laughing at someone’s flaw is okay.
Di sebuah artikel, saya baca pendapat seorang psikolog dari UI, Dra. Rosemini A Prianto, M.Psi, yang mengungkapkan bahwa anak yang mengolok-olok bisa terjadi karena modelling dari melihat lingkungan.
Tidak usah jauh-jauh, acara lawak di Indonesia masih banyak yang menjadikan berat badan sebagai topik, bahkan menghina diri sendiri hanya agar orang lain tertawa. Saya tidak tahu apakah humor semacam ini hanya terjadi di Indonesia, atau mungkin di Asia saja, karena setahu saya di negara-negara Barat berat badan adalah hal sensitif.
Lalu, bagaimana caranya agar anak-anak kita tidak menjadi korban, atau bahkan menjadi pelaku? Lihat di halaman selanjutnya, ya.
Pertama, jangan pernah menjadikan kekurangan fisik anak kita sebagai bahan lelucon, meskipun hal tersebut terlihat menggemaskan bagi kita. Masih banyak hal lain yang bisa membuat kita dan anak kita tertawa.
Kedua, jelaskan kepada anak kita mengapa kita tidak boleh mengejek orang lain, khususnya karena fisiknya. Katakan pada anak kita bahwa hal tersebut bisa membuat orang sedih. Menggunakan pendekatan agama juga tidak ada salahnya, lho. Seperti, Tuhan tidak menilai orang dari bentuk tubuh, kekayaan, atau kepandaiannya, tetapi dari kebaikan hatinya.
Ketiga, tanamkan pada diri mereka bahwa bukan kurus atau gemuklah yang penting, melainkan hidup sehat dan seimbang.
Keempat, karena kita adalah role model mereka, berhati-hatilah ketika bercanda dengan sesama orang dewasa. Jangan sampai kita menasehati mereka tetapi anak kita melihat kita melakukan hal yang kita larang.
Semoga saja anak-anak kita kelak menjadi generasi yang bisa berempati, bukan menjadi generasi yang gemar mengolok-olok. Dimulai dari kita sendiri ya, Mommies!
PAGES:
Share Article
COMMENTS