Sudah baca artikel saya ketika ngobrol dengan Mbak Putri Langka? Waktu itu, Mbak Putri bercerita kalau dirinya bersama teman-temannya yang tergabung dalam Yayasan Pulih sedang menggaungkan Lelaki Peduli. Sebuah ajakan untuk para ayah untuk ikut terlibat dalam pengasuhan. Khususnya, bagaimana cara kita mengasuh anak laki-laki supaya nantinya tidak mengedepankan emosi-emosi yang agresif.
Saya sendiri sangat salut dengan adanya gagasan ini. Paling nggak, lewat gerakan ini kita bisa ikut mencegah lahirnya bibit-bibit lelaki yang akan bisa melakukan kekerasan dalam rumah tangga. Seperti yang Mbak Putri Langka bilang, sampai saat ini kasus KDRT memang masih banyak sekali. Dan, pelakunya rata-rata adalah kaum laki-laki.
Karena punya anak laki-laki, saya pun sempat bertanya pada Dekan Fakultas Psikolog Universitas Pancasila ini, hal apa yang membuat anak laki-laki cenderung melakukan KDRT? Ya, walaupun rumah tangga saya baik-baik saja, jauh dari pemandangan tindak kekerasan dalam rumah tangga, tapi hal tersebut sama sekali nggak menjamin apa-apa. Saya tetap nggak tau kondisi anak kita 20 tahun yang akan datang?
Sebagai orangtua, jelas saya takut kalau anak saya Bumi akan tumbuh jadi laki-laki yang tidak bisa mengelola emosinya. Duh, Naudzubillahmindzalik....
Waktu itu Mbak Putri bilang, “Kita di sini bicara gender, ya. Dalam posisi apapun laki-laki punya privillage yang lebih besar dibandingkan perempuan. Karena masyarakat kita selalu punya harapan kalau yang bertanggung jawab adalah laki-laki. Perempuan kadang sering diasosiasikan dengan segala sesuatu yang bentuk emosional sedangkan laki-kali lebih rasional, sehingga di kerjaan di mana rasional dan logika itu sering dibutuhkan, laki-laki lebih sering lebih stand up. Sampai sekarang pola pikir seperti itu masih terus terbawa”.
*Gambar dari sini
Dan, ternyata hal ini juga berkaitan dengan jenis permainan anak-anak, lho. Seperti yang diutarakan Mbak Putri, selama ini anak laki-laki dari kecil dalam permainannya selalu diajarkan untuk berkompetisi. Contohnya, ketika main layang-layangan untuk diadu, main gundu juga diadu, main bola juga dilihat siapa yang menang. Sementara berbeda dengan anak perempuan. Di mana dalam bermain selalu mengedepankan sisi sosialisasi. Misalnya, main tamu-tamuan, main boneka.
“Dengan begitu anak laki-laki cenderung lebih berani untuk berkompetisi sementara anak perempuan tidak, anak perempuan senangnya kumpul-kumpul, senang bersosialisasi dan menyenangkan orang lain. Ketika harus berkonflik, perempuan lebih susah karena memang tidak dilatih untuk seperti itu”.
Yang lebih bahaya jika anak laki-laki sudah sering melihat tindak kekerasan di dalam rumahnya. Ketika mereka juga melihat kemudian mempraktikannya pada masa pertumbuhan dan mereka tidak mendapatkan konsekuensi kalau melakukan kekerasan tidak ada konsekuensinya akhirnya sikap itu akan terus tumbuh dengan subur.
Makanya, sebagi orangtua kita juga wajib waspada. Jika kita sudah melihat anak suka berteriak, berkata kasar, nggak punya etika dalam berteman, nggak ada salahnya untuk berkaca ke diri sendiri. Jangan-jangan mereka melihat perilaku itu dari kita? Biar gimana anak itu kan seperti mesin fotokopi. Kalau ternyata memang anak-anak meniru, kita sebagai orangtua harus bisa mengubah perilaku kita lebih dulu. Anak itukan hanya mengikuti pola orangtunya. Untuk itulah, permainan anak-anak juga sebenarnya juga harus balance sehingga ke depannya perkembangan mereka juga bisa seimbang.
“Jadi saya punya teman, yang anak laki-lakinya main peri-perian. Waktu itu anaknya main peri-perian yang pakai sayap. Waktu melihat, teman saya tentunya kaget. Tapi dalam ilmu psikologi yang kami pelajari kan mengajarkan nggak bisa kalau kalau langsung melarang anak. Akhirnya teman saya tanya, adek jadi peri apa? Ternyata anaknya bilang kalau dia jadi peri laki-laki.”
Mbak Putri pun berpesan, ketika anak sedang bermain, coba jadikan mainan itu sebagai sesuatu yang netral. Tapi cara bermainnya, yang harus diperhatikan. Begitu juga kalau anak kita sedang dengan bermain boneka Barbie. Makanya penting sekali orangtua mendampingi dan tahu cara mereka bermain.
“Jadi, ketika dia sedang pegang mainan yang menurut kita kurang pas dengan gendernya, jangan dilarang dulu. Perhatikan saja cara bermainannya. Misalnya kalau saat bermain boneka dia jadi keperempuan-perempuanan, tugas kitalah yang untuk meluruskan dan menerangkan. Makanya anak laki-laki perlu dikembangkan cara bersosialisai dan berinteraksi dengan orang lain sehingga mereka banyak belajar bagaimana caranya beretika. Sebagai orangtua tugas kitalah yang terus melatih anak laki-laki untuk lebih ekpresif, dan mengajarkan anak perempuan untuk menghadapi konflik. Sehingga ketika dewasa pun mereka punya kemampuan yang seimbang”.
Wah.... saya nggak pernah nyangka kalau ternyata memilih mainan punya dampak yang begitu luas. Satu hal yang patut saya syukuri, selama ini saya memang nggak pernah parno ketika melihat anak saya bermain boneka. Bahkan kadang-kadang Bumi suka mengajak main peran, "Aku jadi Ibu... Ibu jadi Bumi, ya..." begitu katanya, hahahahaa... Yang penting, seperti yang Mbak Putri bilang di atas, kita sebagai orangtua hanya perlu mengarahkan, tanpa perlu melarangnya.