Suatu sore di tahun 1999, saya baru saja pulang dari sekolah dengan perasaan takut. Segerombolan kakak kelas perempuan menarik saya ke sebuah ruang kosong di samping kantin, dan berteriak tepat di depan muka. Mereka bilang "Lo mukanya nyolot, ya! Nggak tahu siapa kita?" Kemudian sahutan suara lainnya terdengar "Awas, lo, ya!! Besok jangan pake sepatu yang gaya, jangan pake baju yang gaya!! Anak kelas satu aja mau gaya!"
Sepanjang perjalanan pulang saya berusaha introspeksi diri, karena Bapak sudah berpesan soal nasib anak baru yang terkadang tidak menyenangkan, terutama anak kelas satu yang terlihat mencolok. Menurut Bapak, kakak kelas ini akan selalu merasa benar dan akan selalu mencari-cari selah kesalahan. Karena itu, saya dibelikan seragam sekolah berukuran satu nomor lebih besar. Rambut saya pun waktu itu super pendek, dan sepatu yang saya pakai hanya keds biasa. Tapi karena teriakan pertama adalah soal raut wajah yang katanya menantang, saya hanya bisa diam. Dalam hati rasanya kesal, karena raut wajah kan diciptakan Tuhan. Setelan muka yang judes, jutek sejak lahir ini mau saya apakan?
*Gambar dari sini
Saat makan malam, seperti biasa, kami berkumpul di meja makan. Dan saya bercerita soal kejadian siang tadi. Ceritanya mengalir begitu saja, tanpa rasa takut. Saya percaya, kalau Bapak dan Ibu akan punya cara untuk membantu saya keluar dari masalah ini. Beberapa pertanyaan untuk mencari tahu apakah saya bersalah atau menantang seperti yang dibilang oleh si Tukang Gencet dilontarkan oleh Bapak. Malam itu rupanya saya belum mendapatkan jawaban dari beliau. Saya tidur dalam keadaan cemas, dan rasa malas untuk berangkat sekolah besok pagi pun muncul. Sungguh, rasanya ingin supaya ketiduran, jadi terlambat dan akhirnya saya tidak perlu sekolah. Tapi mustahil, karena ketika adzan Subuh berkumandang, otomatis saya bangun. Saya bilang ke ibu kalau saya nggak mau sekolah. Atau kalau bisa diantar saja dan ditunggu hingga bel, jadi saya bisa langsung masuk kelas, tanpa perlu basa-basi dengan kakak kelas gila hormat di pinggir lapangan. Bapak bilang "Kita ngobrol di jalan, kak! Yuk, berangkat!"
"Pak, nanti Kiki diteriakkin lagi kalau ketahuan diantar. Bapak lewat jalan yang depan saja."
"Kak, masalah dalam hidup ini harus dihadapi. Tidak bisa dihindari terus. Menurut Bapak ada tiga jalan yang bisa kamu pilih. Pertama, diamkan saja. Biarkan mereka teriak-teriak, selama tidak ada kontak fisik, nggak usah dipikirin. Kedua, lawan. Kalau sudah muak, teriakin balik. Sama-sama manusia dan makan nasi, nggak ada kasta-kastaan. Bedanya, mereka adalah kakak kelas, namun tidak pantas dihormati, kan kamu juga tidak diberi hormat. Ketiga, ajak berkelahi di luar sekolah. Kita bisa bikin perkara kriminal, kalau mereka main fisik di luar lingkungan sekolah. Urusannya sama polisi, it won't be easy, tapi selama kakak tidak berlaku jahat duluan, tentu hukum akan bisa ditegakkan."
"Yaahh, Bapak gampang ngomongnya. Kiki, nih, yang diteriakin. Salah apaan juga nggak tahu. Baju udah gombrong, nggak suka nongkrong, makan juga di kelas, masih aja kena!"
"Ya bagus, my daughter are always under the spotlight! Nasib kamu sepertinya selalu jadi orang yang menarik perhatian orang. Sial, nih, sekarang, karena masuk di sekolah yang ternyata punya tukang bully, hahaha! Kak, dalam hidup ini, nggak semuanya berjalan sesuai dengan apa yang kita inginkan. Walau sudah merasa mengikuti aturan, terkadang ada saja yang salah. Dan itu manusiawi, tinggal bagaimana kamu belajar untuk bertahan. Nantinya akan lebih banyak lagi orang yang lebih jahat dalam hidup lebih dari sekadar tukang teriak di depan muka seperti saat ini."
Waktu itu saya sudah tidak bisa lagi mencari alasan untuk tidak masuk sekolah. Mobil juga sudah sampai di persimpangan belakang sekolah. Anak kelas satu tidak boleh terlihat diantar memakai kendaraan, begitulah salah satu peraturan tidak tertulis yang disampaikan dari mulut ke mulut dan ajaibnya sampai ke seluruh telinga murid kelas satu. Begitu terdengar bel, saya pamit, dan berlari ke kelas. Sambil berharap, hari itu tidak ada kejadian yang tidak mengenakkan. Tapi nasib berkata lain, lagi-lagi saya diteriakin! Karena marah, saat itu saya tanya apa salah saya. Kenapa saya digencet? Dan suara lima orang perempuan berpakaian SMA yang ketat terdengar bersahutan, dan terakhir bilang "Dasar nyolot! Ngelawan, lo, ya?!" sambil tangan kanannya bersiap menjambak rambut saya. Untungnya saya bisa mengelak, dan mereka tiba-tiba menyudahi sesi menggencet.
Pulangnya saya cerita lagi sama Bapak. Kali ini memakai tangisan, karena saya super kesal. Apalagi tindakan mulai mau menyakiti secara fisik. Dan suara Bapak saat itu sangat menenangkan, beliau bilang "Besok Bapak ke sekolah."
Selesaikah masalah saya? Simak di halaman selanjutnya.
Long story short, kami semua dipertemukan di ruang wakil kepala sekolah. Beberapa guru menenangkan karena takut dilaporkan, Bapak juga memaksa memanggil semua orangtua kakak kelas dua yang kemarin teriak-teriak dan hampir menjambak. Kami semua menandatangani surat perjanjian. Rasanya saat itu aman, namun percayalah, setiap hari selama setahun sampai naik kelas dua, saya selalu cemas. Takut kalau kejadian tersebut terjadi lagi, takut juga kalau saya jadi bahan omongan sekolah, semacam cibiran "Yaelah, gitu doang, ngadu!" Hahahah serba salah, deh!
***
*Gambar dari sini
Kejadian ini memang teringat sewaktu melihat beberapa video kekerasan yang terjadi pada anak sekolah. Namun yang menakutkan, saat ini yang banyak terjadi adalah kekerasan fisik. Saya setuju dengan pendapat Kirana untuk berani melawan jika ada yang mengganggu. Dan kenyataan bahwa ternyata ajaran 'boleh main hakim sendiri' ini muncul karena guru lebih sibuk makan pisang goreng sambil gosip ketimbang mendengarkan curahan hati muridnya, juga bikin saya tersadar, rupanya budaya bully ini subur karena memang terbiasa dibiarkan. Berarti lumayan, ya, dulu Bapak saya mau datang ke sekolah, dan berhasil memaksa para guru untuk mengetahui apa yang terjadi pada murid di luar waktu belajar.
Nah, yang jadi hal yang mengganjal adalah kalau dulu saya sudah hampir dijambak, sekarang anak SD bisa dengan ringannya memukul teman sebaya tanpa rasa bersalah, bagaimana nanti saat Menik memasuki usia sekolah? Langitnya Lita saja sudah mengalami verbal bullying, and I know, it s*cks! Sakit hati, loh! Rasa sakitnya bisa berbekas, apalagi kalau anaknya sensitif. Saya tidak tahu, apakah cara yang dulu diajarkan Bapak bisa saya terapkan ke Menik. Saya juga tidak tahu, apakah nanti Menik bisa dengan mudah mengikuti saran, dan berani untuk melawan. Apakah masih ampuh? Atau saya harus mencari selah sendiri untuk menghadapi perubahan jaman?
Entahlah, sebetulnya daripada memikirkan harus bagaimana jika nanti anak saya ditindas, saya lebih ingin memikirkan bagaimana caranya semua bentuk penindasan ini bisa dihentikan. Physical and verbal bullying are not good. It can lead us to be greedy. Ketika terbiasa menindas orang yang dianggap lemah, rasa tamak akan muncul. "Tindas aja, tuh, yang di sana, agar lahannya bisa kita pakai!" sounds familiar? Jadi bagaimana? Tertarik nggak untuk bisa memutuskan mata rantai bullying ini?