Sorry, we couldn't find any article matching ''
Curhat (Bukan) Ke Mama
*Gambar dari sini
Saat remaja, saya sempat iri dengan mereka yang bisa curhat masalah cinta ke mamanya. Bukannya mama saya tidak bisa dicurhatin, bisa banget malah kalau saya mau. Apalagi mama tahu semua teman saya, aktivitas saya, karena saya selalu ngobrol dengan beliau tentang apa yang saya alami hari itu. Kecuali masalah cinta, ya.
Awalnya adalah ketika masa puber tiba. Saat itu usia SD, di mana dada mulai tumbuh, perasaan ke lawan jenis mulai beda, yang tadinya main Barbie jadi mantengin boybands di MTV, and so on. Beberapa teman saya pun mulai ada yang pacaran. Mungkin mama saya kuatir kalau saya berpacaran terlalu dini sehingga beliau mulai menasehati saya bahwa pacaran itu tidak boleh, terlarang, dan segala macam embel-embel negatif lainnya.
Saya ingat sekali, cara beliau menyampaikan wejangan tersebut benar-benar tegas, dengan mimik muka disgusted (beneran..!) sehingga saya pun tercuci otak dengan suksesnya. Sukses banget karena saya kemudian menjomblo hingga usia 20 tahun, hahaha.. Oh ya, mama tidak menjelaskan mengapa tidak boleh pacaran terlalu dini, saya pun tidak bertanya mengapa. Bisa jadi, pola asuh orangtua pada saat itu lebih bersifat satu arah sehingga mama pun tidak membuka ruang diskusi. Meskipun demikian, mama dan papa memperbolehkan saya berlangganan majalah remaja so I know more about teenage life that they weren’t comfortable to talk about.
Lantas, apa efeknya? Saya jadi sangat tertutup tentang masalah cinta dan pubertas ke beliau karena saya tahu beliau tidak menyukainya. Untuk curhat, saya curhat ke teman. Bahkan, saat surat menyurat dengan artis sedang booming, saya pernah curhat via surat ke Lusi AB Three, haha.. Begitu teman membocorkan curhatan saya ke teman lainnya, saya jadi trauma dan memilih buku harian. Eeh, buku harian enggak sengaja dibaca teman, bocor juga rahasia saya.. Akhirnya saya trauma memiliki buku harian. Yaa, kalau curhat ke teman tetep lah ya, hanya akhirnya saya belajar untuk lebih selektif.
Ternyata efeknya tidak hanya di saya. Mama pun juga merasa “iri” ketika beliau tahu siapa kecengan saya dari wali murid lain yang suka ngobrol sewaktu menjemput anak. Kok bukan ke beliau ceritanya ya? Sebenarnya ada satu lagi yang membuat saya jadi malu bercerita ke mama: karena mama suka menjadikan hal-hal tersebut sebagai lelucon. Misalnya, saat payudara saya mulai tumbuh, aroma badan mulai berubah, termasuk punya kecengan itu tadi. Saya kan jadi malu kalau keluarga besar saya jadi ikutan tertawa atas sesuatu yang privat menurut saya.
Hingga saya SMA, mama benar-benar clueless about my love life. Sampai-sampai beliau menanyai sahabat saya, apakah saya sudah punya pacar. Lah, saya jadi bingung ya, kan dulu enggak boleh pacaran. Begitu anaknya enggak pacaran beneran, malah enggak percaya, haha..
Akhirnya, saya punya pacar pada saat kuliah, dan….saya enggak bilang papa dan mama! Jujur, saya enggak bermaksud backstreet. Namun, saya benar-benar merasa canggung, malu, rikuh untuk mengatakan ke mama bahwa saya punya pacar. Orang pertama yang tahu pun menjadi adik saya, bukan mama atau papa. Akibatnya, pacar saya dijutekin mama tiap kali ngapel, hehe..
Dari pengalaman ini, saya memutuskan untuk menggunakan cara yang berbeda ketika kelak Aksa remaja. Bagaimana caranya? Buka halaman selanjutnya ya!
*Gambar dari sini
Beri dukungan moral ketika anak memulai masa pubernya
Di saat anak mengalami perubahan besar pertamanya, jangan sampai kita menunjukkan ekspresi yang akan membuatnya malu. Bersikaplah biasa ketika mengetahuinya, ataupun menanyainya. Ketika ada saudara, tetangga, atau orang dewasa yang dekat dengannya bertanya mengenai masa pubernya, jawablah sesuai apa yang ditanyakan, tanpa menjadikan anak merasa tidak nyaman, apalagi mengejeknya. So, kita sebagai orangtua harus sensitif melihat bahasa tubuhnya, khususnya apabila anak memiliki tipe introvert.
Berilah informasi yang diperlukan anak seputar perubahan tersebut
Sekarang sudah banyak referensi tentang apa yang harus disampaikan ke anak pada masa pubertas dan kiat bagaimana menyampaikannya pada anak. Meskipun sudah banyak media yang bisa diakses anak untuk mengetahui informasi tersebut, tetap orangtua harus berbicara langsung pada anak karena anak pasti akan mengingatnya. Ini juga untuk menghindarkan anak dari bertanya dan mencari tahu pada sumber yang salah.
Biasakan selalu menjalin komunikasi dengan anak sejak dini
Agar anak bersikap terbuka pada kita, usahakan selalu mengajaknya bercerita tentang apa yang dialaminya hari itu. Saya yakin, komunikasi yang lancar sejak anak belum memasuki usia remaja akan mempermudah kita tetap dekat dengan anak ketika masa remajanya tiba. Ini bukanlah suatu jaminan karena lingkungan dan karakter anak akan berpengaruh juga. Setidaknya, kita mencoba kan?
Semoga saja semua langkah di atas bisa terlaksana dengan baik ketika Aksa mulai beranjak remaja *degdegan*. Apalagi suami dulu mengaku tidak diberi wejangan apapun ketika orangtuanya tahu ia mengalami mimpi basah. Saya ingin agar kami berdua kelak bisa membicarakan hal-hal yang dulu dianggap tabu oleh orangtua kami -seperti seks dan pubertas- secara nyaman dan terbuka kepada anak-anak kami.
Saking paranoidnya, saya sering menggendong Aksa sambil berbicara, “Besok kalo udah gede jadi anak yang sholeh ya Nak, ayah ibu disayang ya, kalo ada apa-apa ceritain ke ayah ibu ya Nak, jangan ke orang lain…” Suami saya pun cuma bisa geleng-geleng kepala, wong Aksa baru juga 16 bulan. Hehe...
PAGES:
Share Article
COMMENTS