*Gambar dari sini
Saya dulu nggak percaya kalo saya bakal menikah, boro-boro punya anak. Sebagai orang introvert, saya nggak percaya kalo saya bakal pernah bisa berbagi hidup saya dengan orang lain. Saya ini rumit, lho. Emang situ bisa ngertiin saya? Bikin diri sendiri bahagia aja susah, gimana mau ngebahagiain orang lain. Yang bener aja lah.
Lagian, kenapa sih orang pengen nikah? Karena cinta? Coba, berapa banyak orang bilang cinta atau ngerasa cinta, lalu ditinggal pergi atau ninggal pergi karena 'perasaan gue udah berubah'? Tekor dong kalo pake nikah segala. Apalagi katanya kalo cinta itu sama kayak efek makan cokelat. Makan aja cokelat segudang, masih mending daripada makan cinta. Gak pake risiko broken heart pula.
Plus, saya punya standar tinggi soal lelaki macam apa yang bisa 'menangani' saya. Mereka harus kayak ayah saya yang mungkin adalah laki-laki paling devoted sama keluarganya. Ayah saya pernah jadi bapak rumah tangga ketika karier ibu saya lagi di puncak. Laki-laki model gini di Indonesia? Jarang.
Punya anak? Beban dunia ini berat, men. Penduduknya udah kebanyakan. Global warming, penurunan sumber daya alam, perang, angka kriminalitas tinggi, halah. Belum lagi milih sekolah buat anaknya, kalo anaknya gak mau makan, atau anaknya tantrum. Pusing.
No, thank you. Mending sendirian aja. Single gini juga happy, kok.
Fast forward to now. Saya sudah menikah dan punya anak. Tada!
Eh, bukan nikah paksa, lho. Emang kepingin menikah aja, gara-gara seorang laki-laki yang bukan suami saya.
Emang suami saya yang nikahin saya dan bikin saya hamil lalu punya anak. Tapi bukan dia yang bikin saya berubah pikiran soal menikah. That happened before him. Dengan seorang mantan.
Gimana cerita si mantan? Simak di halaman selanjutnya, ya :D
*Gambar dari sini
Hihihi .. alay, yak. Tapi emang dia sih penyebabnya. Hubungan kami emang nggak berakhir dengan mulus. Ya, kalo mulus biasanya berakhir di pelaminan, bukan jadi mantan.
So, there I was minding my own thought being a happy single when I met him. Dia kebalikan saya di banyak aspek hidup. Saya usil, dia alim. Saya tukang telat, sementara buat dia, kalo nggak on time, dunia kebalik. Saya suka 'meh' sama banyak hal, dia sangat perhatian. Kadang malah kelewat perhatian. Dia juga workaholic yang menolak mentah-mentah ide suami jadi bapak rumah tangga kayak ayah saya. Ih, padahal jadi bapak rumah tangga juga bisa workaholic, lho. Dia aja yang nggak tau.
Lalu, kenapa saya mau pacaran sama dia?
Awalnya, karena saya kurang kerjaan. Ya, saya kan nggak niat punya pacar. Lalu, seperti banyak niat nggak baik di dunia ini, karma datang.
Saya jadi beneran suka sama dia. Mungkin karena meskipun dia nggak ngerti kenapa saya nggak suka olahraga, dia nggak maksa saya ikutan dia lari keliling Monas tiap hari Minggu. Karena meskipun dia suka ngeluh saya boros, dia bisa mendadak bokek setelah die cast kesukaannya diskon. Karena dia pengen makan pepes kesukaannya, saya nggak papa masak berjam-jam di dapur yang bau ikan. Dia juga nggak papa saya bau ikan berhari-hari kemudian. Dan gongnya, karena meskipun dia nggak kayak ayah saya, ternyata saya juga baik-baik aja.
Then it ended and I was hit by a broken heart trainwreck.
Kalau ada fase dalam hidup saya yang mencerminkan pelangi setelah topan badai ya, fase setelah hubungan saya usai dengan mantan saya ini. Ternyata saya ini nggak rumit. Saya aja yang waktu itu alay, nggak ngerti maunya saya apa dalam hidup dan apa yang dibutuhkan dari pasangan saya, tapi kebanyakan gaya. Kemudian hari, saya bilang sama suami saya bahwa hubungan dengan si mantan itu menyederhanakan saya.
Dan nggak papa kok bahagia dalam bentuk yang biasa aja. Hepi karena bisa ngobrol nyambung berjam-jam. Hepi karena meskipun pepesnya gosong dikit dan orangnya bau ikan, tapi makanannya tetep diabisin. Dan standar fantastis saya tentang laki-laki tadi, ya ternyata saya nggak perlu lelaki kayak ayah saya supaya bisa bahagia. Yang perlu ayah saya, ya ibu saya. Saya perlu laki-laki model yang lain. Lagian emang nggak ada laki-laki sesuper ayah saya aja. Hahaha ...
Saya juga jadi 'ngeh' kalau punya kapasitas untuk berpasangan dengan orang lain. I am a complete person as one, but, apparently, I'm a happier piece when I'm in a duet.
Tapi emang nggak ada satu resep manjur buat kehidupan, ya. Mau itu soal cinta, soal anak, apa aja, deh. Mending emang kita cari tahu sendiri resep mana yang paling pas buat kita. Hidup kita ini custom made banget, cuma pas buat diri kita sendiri. Contek ide dari hidup orang emang saik, tapi penerapannya emang cuma kita sendiri yang gimana pasnya.
Lalu berubah pikiran soal punya anak, juga karena mantan? Ha. Soal anak sih karena nasib, abis nikah langsung tek dung. But that's another story for another time.
Wicahyaning Putri adalah editor di 24hourparenting.com. 24hourparenting.com adalah adalah situs parenting yang memuat how-to-parenting, singkat dan to the point, juga membahas tentang menjadi orangtua, dan ide kegiatan ortu-anak. Dilengkapi visual yang semoga asik. Diasuh oleh psikolog dan orangtua.