Sorry, we couldn't find any article matching ''
Sekolah dan Fanatisme
*Gambar dari sini
Waktu SD dulu, atas inisiatif Mama, saya bersekolah di sebuah SD Islam di daerah Jakarta Timur. Alasan Mama, supaya saya tahu ilmu agama, serta rajin salat dan mengaji. Wajar sih, karena banyak orangtua (termasuk saya saat ini pun), menganggap agama sebagai pendidikan terpenting untuk anak sejak dini.
Tapi ada satu hal yang tidak diperhitungkan beliau saat memilih SD tersebut, yaitu soal fanatisme. Mama cerita, saat masih kelas 1 SD, tiap saya nonton acara TV yang ada artisnya, saya selalu bertanya, “Ma, agama artis itu apa ya?”.
Jika Mama bilang, misalnya agama si artis A itu Kristen, saya pun berkomentar, “Duh, sayang ya, cantik-cantik tapi bukan Islam.” Asli, saya sendiri nggak ingat pernah ngomong begitu. Tapi mendengar ceritanya saja saya jadi malu sendiri. I sounded like a bigot, didn’t I?
Mama pun berusaha meluruskan persepsi gue itu. Sebab, di keluarga kami dulu, nggak ada yang fanatik-fanatik amat. Apalagi, di keluarga Papa, ada om dan tante yang non muslim. Jadi, Mama dan Papa pun mencontohkan bahwa fanatisme agama tidak diterima di keluarga kami.
Karena pindah rumah, saat kelas 4 SD, saya pindah sekolah ke sebuah SD negeri yang isinya lebih beragam, baik dari segi ekonomi, maupun SARA. Jadi, proses cuci otak fanatisme itu pun bisa selesai. Dan saya bisa jadi seperti sekarang ini.
Maju beberapa tahun ke depan, saya lagi baca-baca thread sekolah di forum femaledaily.com. Saya ingat sekali kisah seorang teman di forum tentang sekolah anaknya. Si anak, sebut aja Doni, disekolahkan di sebuah SD Islam dekat rumahnya. Suatu hari, Doni cerita ke ibunya bahwa di sekolah ada acara nonton bareng. Pas diselidiki, rupanya film yang diputar adalah video pembantaian muslim di negara lain.
Si teman inipun marah. Mengajari anak tentang solidaritas umat Muslim sedunia, boleh. Tapi apa perlu dikasih nonton film yang isinya darah dan kekerasan untuk menumbuhkan kebencian?
Apalagi, dia sendiri nggak pernah mengizinkan anak-anaknya nonton film berisi unsur violence. Eehhh sekolah malah bikin acara nobar. Mau cuci otak supaya anak-anak benci non muslim sejak kecil? Akhirnya, dia memutuskan untuk memindahkan Doni ke sekolah lain yang lebih toleran.
Hal ini memberi saya pelajaran. Apa saja? Simak di halaman selanjutnya!
Terus terang, dua pengalaman tadi jadi salah satu bahan pertimbangan saya saat memilih sekolah untuk Nadira. Saya masih berkeinginan untuk memasukkan Nadira ke SD swasta Islam sebelum SMP nanti masuk sekolah negeri. Tapi PR terbesar adalah, dimana cari sekolah Islam yang tidak mengajari fanatisme berlebih pada anak muridnya?
Saya mau Nadira jadi Muslim yang toleran dan mampu berpikir kritis, nggak hanya mengiyakan apa kata ustaz. Yang penting, dia tidak terjebak fanatisme membabibuta yang dilakukan atas nama agama.
Kekhawatiran saya itu bukan tanpa alasan. Nggak usah jauh-jauh lah, lihat saja musim pilpres kayak sekarang. Saya sebenarnya amat menghormati perbedaan pilihan. Ada teman yang milih capres no 1, silakan. Ada teman yang milih capres no 2, monggo. Semua sah-sah aja ya. Prinsip saya, capresmu untukmu, capresku untukku.
Yang bikin saya sebal adalah mereka yang memilih dengan dalih agama membabibuta. Ada pula yang sampai mengkafir-kafirkan sesama Muslim, atau bikin fitnah-fitnah keji terhadap salah satu capres.
Eh, giliran diajak berdiskusi dengan logika, mereka ngeles, dan mengajukan alasan-alasan khas orang fanatik berlebihan. Nggak sedikit yang justru menyerang dengan bilang “Lo orang Islam bukan? Masa orang Islam pilih yang capres kafir?” Bahkan seperti yang diceritakan Ligwina Hananto, dia sampe disuruh buka jilbab karena memilih capres yang “tidak sesuai dengan umat” :(
Kalau dikasitau berita/info yang didapat itu adalah hoax atau fitnah, mereka malah balik bilang “Fitnah itu halal kalo digunakan untuk musuh Islam.” Terus kalo dikasih bukti-bukti bahwa fitnah itu bohong, mereka nggak mau dengar, dan malah create another fake news. Padahal jelas-jelas itu para capres dan cawapres sama-sama Muslim. Gimana kalau ada capres/cawapres yang non muslim beneran ya? :(
Sungguh, hati saya sedih banget liat ulah beberapa orang yang kayak gitu. Islam yang saya anut bukanlah Islam yang destruktif dan suka memfitnah seperti ini. Islam yang saya ketahui adalah Islam yang ramah, penuh kehangatan dan melindungi kaum minoritas. Tapi melihat kenyataan saat ini, koq jadi merinding sendiri. Sampe nangis lho mikirinnya :'(
*Gambar dari sini
Dan saya jadi mikir serta melihat pendidikan anak.Hubungannya apa? Lihat di halaman selanjutnya!
Maukah saya menyerahkan urusan pendidikan anak ke orang yang berpikiran sempit kayak gitu?
Memang, pola pikir anak tidak hanya ditentukan oleh apa yang dipelajari di sekolah karena ortu dan lingkungan juga memiliki andil besar. Tapi tetep saja, males banget nggak sih masukin anak ke sekolah yang bikin muridnya berpandangan sempit dan menghalalkan fitnah? Sama sesama muslim aja bisa mencaci dan menindas jika berbeda pandangan. Gimana sama yang bener-bener beragama lain?
Lagian, saya sebenarnya lebih suka kalo pendidikan di sekolah itu bukan melulu tentang menghapal Al Quran, salat, wudhu, dll. Saya lebih ingin sekolah yang mengajarkan nilai-nilai Islamnya ke perihal budi pekerti dan akhlak.
Terus, kalau anak sejak kecil diajarin untuk benci agama lain, apa ortu dan guru itu ingin anak dan muridnya pas gede jadi pembenci sesama manusia? Memang pada lupa apa ya kalo kita tinggal di Indonesia? Negara kita ini basisnya Pancasila, lho. Indonesia sampai saat ini bukanlah negara Islam. And just in case you forget, kita bisa kayak sekarang ini berkat darah, air mata dan keringat para pejuang dari Sabang sampe Merauke yang agama dan rasnya macam-macam itu.
Jadinya, saat ini, saya pun kembali lagi menyortir daftar SD kelak untuk Nadira. Ada sih yang sesuai dengan keinginan, yakni lebih mengutamakan akhlak dan budi pekerti ketimbang kurikulum. Tapi kendala utamanya ada di lokasi. Jauh banget, bok.
Alternatif lain, ya mungkin Nadira disekolahkan di SD umum. Lalu untuk pelajaran agama, saya bakal panggil guru untuk kami berdua. Jadi, saya belajar ilmu agama lebih dalam, Nadira belajar ilmu agama dasar. Tapi nggak tau juga deh, masih menimbang-nimbang nih. Doakan supaya kami dapet yang terbaik ya teman-teman :)
PAGES:
Share Article
COMMENTS