Sorry, we couldn't find any article matching ''
Dilarang Memperhatikan Piring Orang Lain
Di tahun 1980-an, restoran-ayam-goreng-siap-saji adalah tempat ter-hits di kota Bogor. Sebulan sekali pasti saya menantikan malam minggu ajakan Bapak dan Ibu untuk makan di restoran dimaksud. Di tulisan ini saya tidak akan bercerita tentang kenangan makan ayam goreng itu, tapi entah kenapa sampai sekarang saya selalu mengingat nasihat Bapak yang diberikan saat makan malam di restoran tersebut. Alkisah, saat itu saya berumur 7 tahun, sedang makan berdua dengan Bapak lalu tiba-tiba mata saya tertuju kepada piring pelanggan yang duduk beberapa meja di depan kami. Saya bertanya kepada Bapak kurang lebih tentang isi piring pelanggan dimaksud kalau tidak salah kenapa yang bersangkutan tidak memakan kulit ayam gorengnya.
Bapak tidak menjawab pertanyaan saya dan hanya berujar:
“Kalau sedang makan, jangan suka memperhatikan dan mengomentari piring orang lain. Lihat isi piring sendiri, jangan (timbul rasa) iri dengan makanan orang lain.”
Ucapan beliau ini yang selalu terlontar setiap saya kepergok sedang memperhatikan atau bertanya tentang isi piring orang lain, bahkan piring Bapak dan Ibu saya sendiri. Namanya anak kecil, pasti jika ada yang aneh akan selalu bertanya, tapi untuk urusan isi piring orang lain pasti terlarang untuk dilihat dan dikomentari.
Dahulu saya tidak tahu maknanya, namanya masih anak sekolah dasar jadi menyerap mentah-mentah nasihat Bapak bahwa memperhatikan piring orang lain itu terlarang. Memang hasilnya saya suka takut-takut melirik isi piring teman saya makan atau bahkan suami saya.
Kebalikan yang terjadi adalah salah satu sahabat kuliah saya suka memberikan komentar terhadap apa yang saya makan, sehingga suatu saat terjadi pertengkaran hebat gara-gara sepotong ayam goreng yang saya beli di tanggal tua diambil sedikit oleh teman saya. Saya dengan prinsip "I don't share food" langsung melempar ayam itu ke piring teman saya. Lebay ya hahahaha.
Ternyata sekedar menatap atau melihat bisa berujung petaka. Baru saat itu saya sadar makna ajaran Bapak. Ternyata dengan memperhatikan yang dimiliki oleh orang lain timbul rasa ingin. Sangat manusiawi tapi memang perlu batasannya.
Selanjutnya: Media Sosial sebagai si Piring >>
*Gambar dari sini
Jika saat ini diandaikan media sosial sebagai sebuah piring makanan, yang dapat dilihat siapa saja, maka sama halnya ketika kita berada di suatu tempat makan baru di mana kita bingung mau makan apa maka secara tidak sadar kita juga akan menyontek santapan pengunjung lain.
Sama seperti halnya dengan dampak adanya media sosial, jika mendapat informasi yang bagus maka kita akan mengikuti apa yang dilakukan dalam status friends atau isi akun media sosial yang kita ikuti, apalagi kalau kita dalam posisi keuangan, sosial dan situasi yang sama dengan orang yang kita ikuti.
“Eh kayaknya si Mawar habis liburan ke Paris Disneyland tuh, sama anak-anaknya. Asik nie Yah, tahun depan habis bonus kita ajak anak-anak yuk.”
“Si Dahlia kemarin habis bawa anaknya ke dokter di rumah sakit XXX, katanya di sana RUM dan pro ASI. Besok vaksinasi si Adik di sana saja ah.”
Namun jika kita berada dalam posisi yang berbeda jauh dengan teman tersebut yang timbul adalah rasa ENVY, keinginan untuk menjadi seperti orang yang kita lihat.
Envy: the feeling of wanting to have what someone else has (Merriam-Webster).
Setiap hari kita terekspos oleh status-status media sosial baik teman atau selebriti yang sekarang bertebaran. Jangankan media social, saat ini mau LINE, Whatsapp bahkan BBM saja bisa berstatus.
Ada satu penelitian yang saya dapatkan dari Parenting.com dalam artikel Do You Ever Experience 'Facebook Envy'? disebutkan bahwa dalam penelitian tersebut terkait dengan Envy on Facebook: A Hidden Threat to Users’ Life Satisfaction?, sekitar 36,9% responden yang terdiri dari mahasiwa Jerman menyebutkan bahwa mereka mendapatkan perasaan negatif setelah membuka Facebook, dalam hal ini termasuk perasaan Envy (1,2%), meskipun 43,8% responden mendapatkan perasaan positif antara lain merasa terhibur ataupun mendapatkan informasi yang tepat.
‘Facebook Envy’ is another affliction that can be caused by constant exposure to the numerous status updates about grand vacations, stellar jobs and perfect children.
Dalam penelitian tersebut ternyata memang terdapat suatu korelasi antara Social Networking Sites (SNSs) dengan life satisfaction. Para peneliti menyebutkan bahwa constant comparison that people tend to do when scrolling through all these status updates can lead to feelings of envy and dissatisfaction with their own lives. Intensity of passive following is likely to reduce users’ life satisfaction in the long-run, as it triggers upward social comparison and invidious emotions.
Setelah membaca tulisan di atas, saya mengakui memang awal tahun ini termasuk tahun terberat bagi saya untuk memandangi status sosial teman-teman yang sedang berlibur ke luar negeri sedangkan saat bersamaan saya sedang mengetatkan pengeluaran saya setelah awal tahun ini membayar biaya pendidikan Lil’Miss Koala yang tahun ini akan masuk Sekolah Dasar. Padahal sih kalau mau dihitung dari jumlah yang dikeluarkan, mungkin biaya masuk sekolah dasar bisa lebih daripada dana buat liburan tapi ya rasanya sepertinya: “Kok mereka hidupnya enak banget ya, gak perlu mikir apa-apa sudah bisa liburan”. Padahal belum tentu dalam dunia nyata kehidupan teman-teman saya seperti itu.
Dalam tulisan di TODAY Mom, 'Pinterest Stress' Afflicts Nearly Half of Moms, Survey Says menyebutkan bahwa dengan terus-terusan berhadapan dengan media sosial maka “It tricks you into thinking that everyone is baking their own bread,” dan pada akhirnya “we have a hard time enjoying our own experiences because we feel it’s not worthy of this invisible judge. It’s so easy to get depressed. You start to feel like your entire life has to be like a magazine all the time.”
Selanjutnya: Iri dan Anak-Anak >>
*Gambar dari sini
Rasa iri tidak hanya menjadi masalah pada orang dewasa, tapi juga pada anak-anak. Anak-anak juga bisa memiliki rasa iri itu sendiri. Dalam tulisan oleh Sherri Gordon, 5 Ways to Help Kids Overcome Envy and Avoid Bullying, terdapat suatu korelasi antara ENVY dengan BULLYING, di mana dalam beberapa kasus, anak-anak melakukan bully terhadap anak lain karena rasa iri.
Sebagai orangtua, tentunya kita ingin anak kita sehat secara emosional. Kita tentunya tidak ingin anak kita hidup dalam perasaan iri maupun minder atau tidak dapat menghargai pilihan atau hidup dia sendiri.
Sherri Gordon memberikan masukan jika suatu saat kita mendapati bahwa anak kita sedang berjuang dengan rasa iri, meskipun rasa iri merupakan suatu emosi yang normal, namun sebagai orangtua kita bisa mengarahkan menjadi hal yang positif. Cara-cara yang dianjurkan Sherri Gordon adalah sebagai berikut:
1. Stop Comparisons
Membandingkan anak dengan anak lain akan membuat mereka tidak nyaman terhadap diri mereka sendiri. Ingatkan anak bahwa yang dilihat dalam media sosial hanya bagian luarnya saja, bukan seeing the full picture. Dorong anak agar lebih fokus pada hal-hal atau bakat yang dimiliki daripada jengkel terhadap hal-hal yang tidak dia miliki. Tujuannya adalah mengurangi kebutuhan si anak untuk mengukur dirinya berdasarkan kehidupan orang lain, sehingga dia dapat menghargai dirinya sendiri.
2. Cultivate Self-Esteem
Masalah kepercayaan diri kadang menjadi akar rasa iri. Jika anak kita terlihat rendah diri atau terlalu keras terhadap dirinya sendiri, bisa jadi rasa iri adalah topeng untuk menutupi kekurangan rasa percaya diri anak. Untuk memotivasi anak, sebagai orangtua kita dapat menunjukkan bahwa kita percaya atas kemampuan sang anak dan kasih sayang kita akan membentuk rasa percaya diri anak.
Anak yang percaya diri tidak akan terlalu terganggu terhadap apa yang dilakukan orang lain karena mereka merasa tidak terancam terhadap kesuksesan orang lain maupun tidak mengurangi niat mereka untuk dapat berprestasi juga.
3. Take Positive Steps
Sebagai orangtua, jika kita mengetahui anak kita sedang jengkel atau sedih atas apa yang tidak dia dapatkan atau peroleh, maka kita bisa mendorong anak kita untuk berfokus kepada hal-hal yang positif. Yang terpenting jangan sampai rasa iri menguasai anak. Di saat dia merasakan sedih atau kehilangan, sebagai orangtua kita dapat mengarahkan anak untuk cepat “move on”.
4. Teach Gratitude
Salah cara untuk mengurangi rasa iri adalah mengajarkan untuk bersyukur.
Iri menyebabkan orang berfokus kepada apa yang tidak dimilikinya. Jika sebagai orangtua kita dapat mendorong anak untuk berfokus kepada apa yang dimilikinya daripada yang tidak dimilikinya, maka dia akan lebih cepat megatasi rasa irinya lebih cepat.
5. Celebrate Hard Work
Pada dasarnya rasa iri adalah kebutuhan untuk menjadi sempurna. Jika anak mulai merasakan bahwa dirinya tidak sebanding dengan teman-temannya atau merasa harus menjadi yang terbaik, maka kita harus membantunya untuk menyesuaikan prioritasnya.
Dorong anak kita untuk mengerti pentingnya dari kerja keras, ketekunan dan bertahan. Yakinkan anak bahwa sikap, etos kerja dan karakter adalah jauh lebih baik daripada hanye menjadi yang terbaik. Jangan lupa sebagai orang tua kita perlu menghargai kerja keras anak baik ketika dia menang maupun kalah.
Selanjutnya: Si Piring dan Mengolah Rasa Iri
Mungkin secara saya tidak sadar, Bapak saya sedang mengajarkan bagaimana saya harus bisa fokus dengan apa yang saya miliki. Pernah beliau menegur saya ketika memilih menu makanan seperti pengunjung lain dengan kalimat sendiri:
“Kalau mau makan ya pilih sesuai yang kamu mau, dipikirin kenapa, bukan latah ikut-ikutan orang.”
Jleb banget ya.
Latihan kecil yang berulang-ulang ini adalah salah satu ajaran parenting orangtua saya yang saya ingin tularkan kepada anak-anak kami. Jangan salah, sewaktu kecil saya sungguh kesulitan lho untuk tetap fokus kepada piring saya atau berhenti untuk mengomentari santapan orang lain hihihihi.
Sampai sekarang saya juga masih suka kepo baca status teman-teman saya. Kadang-kadang suka timbul rasa iri juga. Manusiawi toh. Saya bersyukur meski sampai sekarang saya belum merasa sempurna mengolah rasa iri, masih suka tergelincir, namun larangan untuk tidak memperhatikan piring orang lain tetap saya pegang dan sebagai pengingat untuk fokus apa yang kami miliki.
Terima kasih kepada Bapak yang sering sekali mengingatkan saya di waktu kecil.
Bagaimana Mommies, apakah ada nasihat orangtua yang saat ini Mommies merasakan manfaatnya saat ini?
PAGES:
Share Article
POPULAR ARTICLE
COMMENTS