Penggunaan Skincare dan Kosmetik Saat Hamil

Mommies Tools

Tanti Hamad・30 Jan 2014

detail-thumb

Salah satu pertanyaan yang kerap dilontarkan oleh ibu hamil adalah tentang penggunaan skincare dan kosmetik terhadap janin. Hal ini juga dialami oleh teman saya, yang sedang merasa super buluk di trimester pertama kehamilannya. Teman saya ini sebelum hamil memiliki kulit mulus nan cantik, hasil dari perawatan dengan skincare premium. Dia langsung menghentikan penggunaan skin care andalannya, juga kosmetik kesayangannya, begitu tahu kalau dia hamil. Semua itu gara-gara dia mendengar KATANYA skincare dan kosmetik itu bisa membahayakan janin.

Sebenarnya, bolehkah ibu hamil memakai skincare dan kosmetik? Boleh, asal kandungan dalam produk yang digunakan aman bagi janin. Terus, bagaimana kita tahu bahwa produk skincare dan kosmetik yang kita gunakan tidak berbahaya buat janin?

Pertama, mari kita cermati komposisi dari skincare yang kita gunakan. Bila kita masukkan kata kunci save skincare during pregnancy, maka Google akan memberikan banyak nama dari senyawa komponen skincare dan kosmetika yang ditengarai tidak aman bagi janin, dari berbagai sumber. Familiar dengan retinoid, asam salisilat, benzoil peroksida, hidrokuinon, dihidroksiaseton, paraben, ftalat, metilbenzena, formaldehida, fenilendiamin dan oksibenzona? Tapi apakah semua senyawa itu benar-benar berbahaya bagi janin? Salah satu pendekatan untuk menganalisa keamanan suatu bahan terhadap janin  adalah dengan menggunakan US FDA Pharmaceutical Pregnancy Category. Dari lima kategori dalam US FDA Pharmaceutical Pregnancy Category, idealnya ibu hamil hanya menggunakan bahan-bahan yang masuk kategori A dan B saja. Dengan demikian, skincare dan kosmetik yang mengandung bahan yang masuk kategori X sama sekali tidak boleh digunakan, sedangkan yang mengandung bahan dari kategori C dan D sebaiknya dihindari.

Bila mengacu pada US FDA Pharmaceutical Pregnancy Category, dari deretan nama komponen skincare dan kosmetik yang saya tulis di paragraf sebelum ini, retinoid masuk kategori X, asam salisilat, benzoil peroksida dan hidrokuinon masuk kategori C, sedangkan sisanya belum dikategorikan.

Terus, bagaimana dengan komponen skincare dan kosmetik yang seringkali disebut-sebut berbahaya bagi janin, tapi belum masuk dalam salah satu kategori US FDA Pharmaceutical Pregnancy Category tersebut? Lihat di halaman selanjutnya!

 

Keberadaan senyawa-senyawa tersebut dalam skincare memang kontroversial, dalam artian ada yang pro, tapi ada pula yang kontra. Bagi yang pro, senyawa-senyawa tersebut bisa digunakan karena FDA (dan/atau otoritas pengawas obat dan makanan lainnya) tidak mengategorikannya sebagai bahan berbahaya, dan telah digunakan dalam jangka waktu yang panjang tanpa ada laporan efek samping terhadap janin. Bagi yang kontra, dasarnya adalah adanya beberapa penelitian yang menyebutkan bahwa senyawa tersebut berbahaya (walaupun kemudian penelitian-penelitian tersebut dianggap tidak komprehensif, sehingga tidak bisa dijadikan dasar untuk mengambil tindakan pelarangan penggunaannya oleh otoritas pengawas obat dan makanan).

Khusus untuk senyawa-senyawa ftalat, hasil penelitian yang yang dipublikasikan akhir tahun lalu ini menarik untuk disimak. Penelitian tersebut membandingkan kadar metabolit ftalat pada urin ibu yang melahirkan bayi cukup umur dengan ibu yang melahirkan bayi prematur. Ternyata, kadar metabolit ftalat pada urin ibu yang melahirkan bayi prematur lebih tinggi dibandingkan kelompok yang melahirkan bayi cukup umur. Para peneliti kemudian menyimpulkan bahwa akumulasi ftalat pada ibu hamil meningkatkan risiko kelahiran prematur.

Pihak yang kontra terhadap penggunaan komponen skincare dan kosmetik yang masuk golongan ini seringkali menyarankan penggunaan bahan-bahan organik sebagai penggantinya. Bila kita memang percaya terhadap manfaat produk organik, tidak ada salahnya dicoba. Tapi, ibu hamil dengan flek hitam  akibat perubahan hormonal saat hamil (melasma, mask of pregnancy) harus menghindari penggunaan produk skincare yang mengandung ekstrak kedelai. Senyawa fitoestrogen yang terkandung dalam kedelai dilaporkan malah memperparah kondisi flek hitam tersebut.

Yang kedua, cara penggunaan. Prinsipnya, semakin banyak suatu senyawa yang masuk ke darah ibu hamil dan menyeberang ke janin via plasenta, maka efek yang ditimbulkan akan lebih hebat juga. Secara umum, penggunaan topikal (dioleskan pada kulit) akan menghantarkan lebih sedikit bahan aktif ke dalam darah dibandingkan penggunaan oral (diminum).  Misalnya, efek birth defect yang parah dari  retinoid sejauh ini dilaporkan ditemukan hanya pada ibu hamil yang menggunakannya secara oral. Perlu dipahami bahwa retinoid adalah turunan vitamin A, maka ibu hamil perlu menghindari konsumsi vitamin A dosis tinggi.

Sebenarnya, bahan skincare dan kosmetik yang jelas-jelas telah dinyatakan berbahaya dan sebaiknya dihindari oleh ibu hamil oleh otoritas pengawas obat dan makanan itu hanya ada 4, yaitu retinoid, asam salisilat, benzoil peroksida dan hidrokuinon. Tapi, pilihan menjadi sulit ketika bahan-bahan tersebut saat ini sedang naik daun dan digunakan secara luas dalam banyak produk skincare. Hampir semua produk anti aging mengandung turunan retinoid, seperti halnya hampir semua produk facial wash yang menawarkan khasiat mild peeling dan/atau mencerahkan kulit mengandung asam salisilat. Terus, bagaimana?

Selalu ada pilihan, tentu saja. Minyak nabati seperti minyak zaitun dan minyak kelapa adalah alternatif pelembap yang banyak disarankan. Produk pembersih yang mengandung asam glikolat (atau lazim disebut AHA, alpha hydroxy acid), produk pelembap yang mengandung asam hyaluronat, produk sunscreen yang mengandung sunscreen fisik seperti titanium dioksida atau zink oksida juga aman digunakan. Untuk kosmetik, semua produk kosmetik mineral ditengarai aman untuk ibu hamil.

Semoga tidak bingung lagi, ya, ibu-ibu.