2,5 tahun yang lalu saya pernah dimarahi Ibu saya ketika saya menangis mengeluhkan kekurangan waktu istirahat selepas melahirkan anak kedua. Saat itu saya tinggal di rumah orangtua saya di Bogor, dalam keadaan “belum siap” melahirkan anak kedua karena anak saya lahir ketika saya baru saja merasakan cuti sebelum melahirkan 2 hari. Kecapekan dari perjalanan darat untuk dinas di luar kota seminggu sebelum melahirkan, anak saya yang pertama baru berumur 3 tahun lagi dalam fase cemburu -cari-perhatian, suami sedang dinas ke luar pulau selama 30 hari lebih, rasanya hidup saya merana sekali. Ditambah anak saya mempunyai tongue tied tipe 1, setiap menyusui rasanya seperti digigit anak singa. Semua dengan gaya sendiri saya lakukan sendiri, dari memandikan kedua anak, memakaikan baju, makan pun telat, dan berujung si Sulung kelupaan saya berikan makan siangnya sampai saya baru sadar sore harinya. Orangtua yang berusaha membantu seperti saya tampik karena saya ingin melakukan sendiri.
“Makanya kamu realistis dong, mau punya anak itu harus mikir-mikir dulu sebelumnya maunya apa!”
Maaf kalau terkesan pedas, tapi memang itu cara Ibu saya membangunkan saya dari kegalauan saya. Lalu Ibu saya bercerita, kenapa beliau yang sampai saat ini masih aktif sebagai dosen di perguruan tinggi hanya memiliki anak semata wayang, yaitu saya (dan jawaban ini baru saya dapatkan setelah 32 tahun). Ternyata Ibu saya mempunyai dua impian: berkeluarga dan berprestasi dalam pekerjaannya saat ini.
“Ibu sadar kemampuan Ibu, mau punya anak dan juga ingin sekolah sampai tingkat doktoral atau menjadi guru besar. Tapi semua kan ada batasannya dan Ibu harus mengukur kemampuan Ibu sendiri, tidak semua bisa didapat. Jadi Ibu memilih hanya mempunyai anak satu saja supaya bisa fokus secara maksimal di keluarga, anak dan pekerjaan.”
Pernah saya bertengkar hebat dengan suami saya, hanya sebenarnya hal yang sepele. Saya lebih mementingkan menunggu masakan ayam panggang untuk makan anak-anak besok hari dibandingkan bermain bersama suami dan anak-anak di minggu sore itu.
“Kalau gue gak masak, terus anak-anak mau makan apa?” kata saya marah ditegur pak suami.
“Kamu maunya apa sih? Kerja, lembur, masak, arisan, bergaul, mengurus ini itu. Badan kamu mau dibawa ke mana?” jawab suami saya.
Bayangan menjadi ibu yang sempurna selalu ada di pemikiran saya. Jadi ibu buat saya (saat itu) identik dengan menjadi istri yang membahagiakan suami, melahirkan dengan kelahiran normal, menyusui anak sampai umur 2 tahun, menyediakan homemade cook buatan tangan saya sendiri tanpa gula garam dan MSG, belanja bahan makanan yang organik, selalu ikutan seminar parenting, kesehatan dan pendidikan, aktif di sekolah anak-anak, pulang membantu anak mengerjakan PR, mengantarkan anak kursus ini itu dan selalu hadir pada acara pertunjukan anak. Anak-anak pun punya milestones harus potty training, harus tidur di kamar sendiri, harus duduk di car seat, harus ini itu.
*gambar dari sini
Ditambah saat seorang kerabat yang kebetulan punya usaha dari rumah yang secara tidak langsung menyindir saya di social media dengan mengatakan bahwa anaknya tidak terikat sama ART (Asisten Rumah Tangga) manapun alias bukan anak pembantu karena dia yang mengurus anaknya sendiri. Semakin menjadilah saya dengan memasang target ambisius meski saya sedang meniti karir di luar saya juga sanggup melakukan lebih daripada yang dia lakukan.
Berapakah persentase keberhasilan yang sudah saya capai untuk target di atas?
0,5% saja kalau saya boleh menilai diri saya sendiri.
Itupun hanya karena kedua anak saya dilahirkan secara normal. Prestasi yang lain sepertinya nol besar :).
Pernah saya melakukan itu semua, sepertinya selama tidur pun otak saya berpikir menu harian buat esok hari, meski saya baru sampai rumah di atas jam 9 malam dilanjutkan dengan memasak buat besok hari. Yang terjadi adalah I became cranky dan menyebalkan bahkan ke anak-anak saya. Sumbu sabar saya tipis sekali, tiap hari di perjalanan ke kantor saya tertidur sementara suami menyetir mobil kami (lupakan yang namanya car talks apalagi pillow talks), di kantor pun kecapaian.
Hidup dan jiwa saya menjadi tidak sehat lagi.
Setelah pertengkaran dengan suami saya, saya belajar untuk mengevaluasi diri saya kembali. Saya mencoba berkompromi dengan target ambisius saya.
Saya berusaha tidak memasang target harus setiap hari berkutat di dapur, saya percayakan para ART saya untuk membantu memasak sop sayur untuk anak-anak dan tidak anti menyajikan nugget dalam kemasan di saat saya memang sudah kecapaian. Ada yang berani protes gara-gara saya memberikan secuil nugget ke anak-anak di antara menu masakan saya akan dapat salam dari penggorengan, hihihihi.
Saya sudah memaafkan diri sendiri karena hanya sanggup bertahan menyusui ASI anak-anak saya sampai paling lama 14 bulan. Sungguh tanpa harus dihakimi oleh orang lain, rasa bersalah dan penyesalan bagi ibu-ibu yang harus berhenti menyusui itu cukup besar lho. Semoga umur saya masih cukup untuk bisa membesarkan dengan baik anak-anak saya dengan cara-cara lainnya, itu doa saya sekarang.
Saya sudah berusaha datang ke pentas balet si Sulung, meski masuk hampir di akhir acara, itupun langsung tancap gas dari Bandara Soekarno Hatta selepas dinas kantor dari Eropa (dan belum mandi lho hihihihi). Imajinasi akan 'yummy mummy' yang keren sudah saya ucapkan bye bye good bye.
Untuk karir pun saya mencoba melipir, tidak seambisius zaman baru masuk kantor, yang penting terencana dan yang utama tidak sering lembur untuk hal yang tidak perlu, kalaupun perlu makan siang cukup di meja supaya cepat menyelesaikan pekerjaan.
Kehidupan sosial dulu sempat saya hindari karena ingin selalu bersama anak, namun sekarang saya lebih aktif dengan manajemen waktu yang lebih baik tentunya, baik di kantor, dengan teman kuliah mapun di social media, karena pada akhirnya kita pun perlu teman berbagi.
Dan sekarang saya pun tidak sakit hati jika ada celetukan bahwa anak saya anak tetehnya (nanny), mau bagaimana lagi karena sebagian besar waktu mereka di rumah bertemu dengan teteh-teteh. Bersyukur bahwa selain ada pak suami yang sangat mendukung saya, ada teteh-teteh yang sampai saat ini mengasuh anak-anak saya dengan kasih sayang.
Tentunya mereka yang berusaha mencibir saya tidak akan menduga bahwa kedua anak saya itu lengket sekali dengan ayah ibunya karena sekarang saya punya banyak waktu di saat weekend untuk mengurus mereka berdua bersama suami ketika teteh-tetehnya istirahat atau ketika mereka sedang cuti.
Saya berusaha berkompromi dan belajar menjejakkan kaki saya di bumi.
Saya masih belajar untuk menerima kenyataan bahwa menjadi ibu itu tidak harus sempurna.
Saya harus menerima bahwa saya masih punya kekurangan.
Saya harus realistis supaya jiwa saya sehat.
Happy mommy, happy kids bukan?