Belum lama ini, saya mewakili Mommies Daily menghadiri Play Lab Session perdana di Indonesia bersama Cathy Sharon dan Vera Itabiliana. Pasti sebagian besar Mommies sudah mengenal sosok Cathy Sharon dengan baik, ya. Waktu itu, Kirana juga sempat ngobrol bareng dengan ibu dari Jacob Gabriel Kusuma (8 bulan). Sedangkan Vera adalah Psikolog Spesialis Perkembangan Anak yang digandeng Fisher Price untuk menyuarakan betapa pentingnya bermain untuk anak-anak.
Waktu itu, baik Cathy dan Vera menceritakan pengalamannya saat mengunjungi Play Lab yang ada di East Aurora, New York. Sebenarnya Play Lab ini didirikan Fisher Price untuk mempelajari perkembangan anak di setiap tahapan usianya dan mengetahui apa saja bagaimana cara anak-anak berinteraksi dengan lingkungan lewat cara mereka bermain. Jadi bisa dibilang, saat memproduksi mainan, Fisher Price sudah melewati tahapan yang panjang terlebih dahulu lewat Play Lab ini. Selain itu, Play Lab ini serupa dengan museum mainan Fisher Price, lho. Di mana, di sini kita bisa melihat ribuan mainan yang telah diproduksi Fisher Price. Wah, seru banget, ya!
Asyiknya, sih, dalam waktu dekat Play Lab juga akan hadir di Indonesia. Tapi mungkin bentuknya sedikit berbeda dengan Play Lab di negara asalnya. Soalnya, Play Lab Fisher Price di Indonesia akan hadir di mal atau Taman Kanak-Kanak yang bertujuan untuk memberikan edukasi dan informasi bahwa bermain sangat mendukung perkembangan seorang anak.
Supaya lebih jelas, saya pun nggak mau ketinggalan untuk ngobrol dengan Vera Itabiliana. Selain sebagai psikolog perkembangan anak, Vera juga memiliki dua orang anak. Jadi semua yang keluar dari Vera, sudah pasti berdasarkan pengalamannya juga, bukan cuma teori, kan :)
Bermain itu kan secara umum itu efeknya agar anak bisa belajar tentang dirinya sendiri. Oh, kalau aku melakukan gerakan ini, bisa timbul bunyi seperti ini, ya. Lewat bermain, anak-anak juga bisa belajar tentang orang lain, lingkungan, dan belajar bagaimana sesuatu itu bisa bekerja. Misalnya handphone. Bagaimana sih, handphone bisa berbunyi. Jadi sangat luas, ya.
Kecerdasan intelektual, koginitif, language, emosional sosial, anak-anak semua bisa dikembangkan lewat bermain, asal memang bermainnya juga bervariasi dan disesuaikan usia anaknya. Jadi dilihat kemampuan anaknya dulu seperti apa, baru dipilihkan mainan yang sesuai dan diperlukan untuk mendukung perkembangan si anak.
Apa yang bisa terjadi ketika orangtua memberikan mainan yang tidak tepat dengan usia anak?
Selain memang nanti mainannya jadi nggak menarik buat anak-anak dan pasti akan dicuekin, memberikan mainan yang tidak sesuai dengan usia anak juga bisa membuat anak stres atau depresi, lho. Jadi, kalau kita bisa membeli baju yang ukurannya lebih besar dari usia anak, kalau mainan nggak bisa seperti itu.
Jadi memang sebaiknya orangtua harus mengetahui milestone anak sesuai usianya sehingga bisa memberikan mainan yang tepat. Setelah saya mengunjungi Play Lab Fisher Price beberapa waktu lalu, saya jadi semakin yakin kalau di Fisher Price tidak main-main saat memberikan label usia pada mainan yang mereka jual.
Oh, ya, ceritain dong bagaimana awalnya bisa kerja sama dengan Fisher Price Indonesia?
Jadi waktu itu saya memang dihubungi pihak Fisher Price dan ditanya apakah mau membantu. Mereka terus menyakinkan saya kalau tujuan utamanya di sini nggak untuk menjual mainan. Tapi, lebih memberikan informasi dan edukasi kalau bermain itu sangat penting untuk anak-anak. Apalagi kalau ingat, selama ini di Indonesia yang selalu di highlight nggak jauh dari nutrisi atau pendidikan yang menuntut nilai akademis yang tinggi.
Play Lab Fisher Price sangat memandang penting kalau bermain itu sangat penting. Saya sebagai psikolog anak juga begitu, masih mengutamakan bermain untuk dunia anak-anak. Salah satu pertimbangan aku untuk menjadi konselor beberapa sekolah juga nggak terlepas dari pemikiran mereka yang mengutamakan bermain sebagai pendekatan untuk anak-anak.
Saat berkunjung ke Play Lab di New York, kondisinya jauh berbeda dengan di Indonesia, ya?
Wah, jauh sekali, kondisi di sana sangat mengoptimalkan bermain pada anak-anak, apalagi untuk anak-anak di preschool yang selalu mengutamakan belajar lewat bermain. Nggak ada yang memaksakan untuk belajar calistung.
Belakangan ini, banyak orangtua yang menjadikan gadget sebagi baby sitter buat anak-anaknya. Nah, kalau sudah kecanduan gadget, sebenarnya bisa diterapi nggak, sih, Mbak?
Tergantung sebenarnya. Memang efek paling gampang dari sering bermain games lewat gadget adalah anak akan mengalami gangguan konsentrasi. Biasanya, sih, gangguan ini terjadi untuk anak-anak yang usianya sudah besar. Sedangkan kalau anak-anak di bawah tiga tahun, biasanya efeknya jadi terlambat bicara. Biasanya, kalau aku melihat ada anak 2 tahun 3 bulan belum bisa bicara, akan aku sarankan untuk terapi wicara. Selain itu juga bisa melatih dengan membawa ke lingkungan sekolah, karena anak bisa “terpancing” untuk bicara lewat lingkungannya.
Untuk anak-anak yang lebih besar dan ada kasus gangguan konsentrasi, harus dilihat dulu kenapa asalnya. Memang murni karena exposure gadget yang berlebihan atau karena ada hal yang lainnya? Kalau memang ada ADH, harus ada terapi khusus. Kalau memang kelebihan bermain gadget, terapi juga memang bisa sangat membantu, kok. Tapi memang perlu proses dan komitmen dari orangtuanya.
Soalnya sekarang memang makin banyak kasus yang aku tangani dan berhubungan dengan penggunaan gadget yang berlebihan. Memang, sih, gadget itu ‘menggoda’ banget. Semua ada di situ. Mau belajar bisa di sana, main games bisa di sana juga. Tapi kan sebenarnya ada hal lain yang bisa dijadikan pilihan, lho, ya.
Supaya nggak kebablasan, selain membatasi waktu penggunaan gadget, apa saja sih yang harus dilakukan orangtua?
Kalau dari pengalaman aku pribadi, anak-anak dari dulu memang selalu aku batasi. Kalau nonton televisi, hanya satu atau dua jam selama sehari. Sedangkan untuk main games yang berhubungan dengan PS dan iPad, weekend only. Itupun hanya 30 menit.
Aku sendiri nggak pernah memberikan izin ke anak-anak untuk main games di handphone, PC ataupun laptop. Aku bilang ke anak-anak kalau itu semua hanya digunakan untuk pekerjaan saja Karena memang anak-anak nggak terbiasa, jadi mereka main juga hanya ala kadarnya saja. Bosen sendiri dan akhirnya lebih tertarik main buku atau main lego.
Jadi memang tergantung pembiasaan di rumah saja, ya?
Iya, kalau memang nggak terbiasa, ya, anak-anak akan biasa saja. Jadi kalau orangtua bisa memberikan fasilitas lain selain gadget, anak-anak tentu jadi akan tau bahwa di luar sana banyak kegiatan yang lain yang lebih menarik ketimbang main gadget saja. Nah, itu yang memang sangat kurang ya, saat ini. Seharusnya orangtua memang lebih banyak menyodorkan alternatif mainan atau kegiatan lain pada anak-anaknya. Kadang, kitanya yang perlu menyodorkan gadget ke anak-anak. Jadi, bukan anak-anak yang butuh.
---
Nah, betul kan, saya bilang? Semua jawaban Mbak Vera selaku psikolog juga digabung dengan pengalamannya sebagai ibu. Semoga Mommies juga mendapat ilmu baru, ya, seperti saya!