Bulan depan, Nadira Insya Allah genap berumur 5 tahun. Pertanyaan “klasik” seputar tambah anak sudah seriingg saya dengar sejak ia masih baru lahir. Ada yang pake embel-embel jenis kelamin (“tambah 1 lagi nih, siapa tahu laki-laki supaya pas sepasang”), teman main Nadira (“kalo tambah 1 lagi, nanti Nadira ada teman mainnya”), partner bapaknya (“kasian tuh bapaknya belum punya teman karena anak kamu kan perempuan”), dll dsb.
Reaksi saya? Yah berhubung sudah hampir 5 tahun mendapat berondongan pertanyaan dan pernyataan seperti itu, bisa dibilang saya sudah hampir kebal sih. Biasanya kalau ada yang tanya kapan Nadira dapat adik, saya hanya senyum. Kalau didesak terus (biasanya sih yang begini orang-orang tua, seperti tante, budhe, atau nenek), saya menjawab tergantung mood. Kalau mood lagi baik, paling hanya senyum lagi. Tapi kalo mood lagi jelek, saya keluarkan jurus andalan “Sekolah zaman sekarang mahal. Kalo aku punya anak banyak, kamu mau bayarin sekolahnya?”.
Sesungguhnya, alasan saya sampai sekarang masih belum mau hamil lagi lebih dari sekadar memikirkan biaya sekolah anak. Lebih kompleks lagi lah. Kalo saya flashback ke belakang, memang ada beberapa hal yang membuat saya begini. Padahal, kalo orang melihat saya, saya ini mungkin terlihat tipe yang santai, easy going dan fearless. Saya juga suka anak-anak. Tapi entah kenapa, untuk urusan tambah anak, saya jadi penakut banget.
*gambar dari sini
Saya hamil sebulan setelah menikah. Saat itu, saya dan suami masih harus tinggal di rumah orangtua suami. Ibu mertua saya memang khusus meminta itu karena beliau baru saja ditinggal bapak mertua saya untuk selama-lamanya beberapa bulan sebelum kami menikah. Jadi kebayang ya adaptasi saya berlipat-lipat. Selain harus adaptasi dengan kehidupan pernikahan, adaptasi dengan mertua, juga adaptasi dengan kehamilan.
Proses adaptasi tersulit adalah adaptasi dengan mertua yang memang dikenal berwatak keras. Alhasil, selama hamil, saya seriingg sekali menangis. Ditambah lagi, pada saat yang bersamaan, saya ditempatkan kantor di bidang ekonomi, yang amat sangat tidak saya sukai. Jadi hidup saya saat itu rasanya nelangsa banget. Satu-satunya yang membuat saya bahagia ya cuma jabang bayi di dalam perut saja. Untung juga kehamilan saya nggak repot. Saya jarang mual, dan tidak mengalami gangguan apapun.
Untuk menghilangkan kesedihan, saya rajin membaca forum dan artikel kehamilan, serta menyiapkan berbagai perlengkapannya. Saya juga menekan segala perasaan sedih dan tertekan saya, supaya tidak membebani orang.
Begitu Nadira lahir, tentu saja saya bahagia dan, Alhamdulillah saya tidak kena baby blues. Tapi PR saya semakin bertambah, karena saya ingin menjadi ibu “ideal” seperti yang saya baca di forum dan artikel-artikel di internet. Saya keukeuh memberikan ASI dan memerah ASI di mana saja saya berada. Begitu Nadira mulai makan, saya memasak dan menyiapkan sendiri semua makanannya. Hampir tiap hari, saya sampai di rumah jam 6 sore, lalu main-main sebentar dengan Nadira dan mandi. Pukul 10 saya menyusuinya hingga ia tidur. Karena masih tinggal di rumah mertua, saya baru bisa bebas menggunakan dapur di atas pukul 11 malam. Sesudah memasak dan menyiapkan makanan, saya masih harus memerah ASI untuk stok. Hampir tiap hari, saya cuma tidur maksimal 4 jam saja. Namun demi memotivasi diri agar ASI saya tetap stabil, saya berusaha menekan semua lelah, sedih dan emosi negatif lainnya.
Mungkin, itu pula yang membuat saya takut hamil lagi. Semua trauma dan emosi negatif yang saya tekan dan simpan rapat-rapat ternyata tetap bersemayam di alam bawah sadar. Akibatnya, memori tentang masa-masa baru punya anak dulu buat saya justru traumatis. Bukannya gembira, tapi mengingatnya saja membuat saya bersyukur semuanya telah lewat. Jadi disuruh mengulanginya lagi kok malas ya.
Memang, kadang kala ada keinginan untuk menambah adik untuk Nadira. Apalagi saya masih punya tabungan nama-nama anak yang sudah saya pilih sejak dulu hehehe.. Tapi, lagi-lagi, keinginan itu sering kalah oleh ketakutan saya sendiri.
Mungkin oleh beberapa orang, perasaan saya ini terdengar lebay ya. Atau, seperti yang banyak orang bilang “Lo nggak akan tahu rasanya gimana kalo nggak melakukannya sendiri. Just do it, lah.”
Buat saya, urusan tambah anak nggak bisa pake semboyan “just do it”. Unsur finansial sudah pasti harus dihitung lagi. Tapi yang terutama sih, siap nggak orangtua, terutama ibu, untuk punya anak lagi? Kalau ternyata belum siap, dan keburu hamil, anaknya mau dikemanain?
Jadi ya begitulah. Sampai sekarang saya masih menutup opsi tambah anak. Kebetulan suami juga santai. Ia melihat tidak ada masalah dengan gender Nadira yang, buat sebagian orang, dianggap “merugikan” si bapak karena “kan nggak ada teman untuk salat Jumat”. Orang tua saya dan ibu mertua pun hanya bertanya sesekali saja.
Yang paling sering, yah tentu saja keluarga besar serta para kenalan yang menurut saya, bisa diabaikan. Karena, kasih makan anak saya saja nggak, kenapa mereka jadi ikutan repot sih?