Sorry, we couldn't find any article matching ''
"Aku Nggak Mau Punya Adik!"
“Nggak! Zahra gak mau punya adik! Zahra gak suka bayi!”
Kira-kira begitu jawab Zahra menjelang umur 3 tahun waktu ditanya orang dia mau punya adik atau nggak. Kalau saya tentu saja gak akan menanyakan Zahra mau punya adik atau nggak, karena itu bukan pilihan. Mau gak mau Zahra harus siap punya adik, karena saya dan suami memang ingin nambah anak lagi. Tapi mendengar penolakan ‘keras’ nya saat itu, toh nyali saya ciut juga.
Anak usia 2 tahun yang sudah memasuki pendidikan anak usia dini (PAUD) idealnya dianggap sudah cukup mengerti dengan kehadiran anggota baru di rumahnya. Tapi kenyataan kadang berkata lain. Padahal di antara begitu banyak pertimbangan kami untuk menambah anggota keluarga, ya soal biaya, terus secara mental siap nggak lebih rempong, siap begadang lagi, menyusui lagi, pertimbangan utama kita justru kepada kemandirian dan kesiapan mental si anak pertama.
Jadi setahun belakangan saya dipusingkan dengan penolakan Zahra dan berusaha menyiasati dengan langkah-langkah berikut.
Pertama : Perkenalkan
Bayi mungkin menjadi seseorang yang asing bagi anak, karena itu Zahra cemburu kalau saya gendong bayi. Jadi saya tidak memaksakan kalau dia protes dan melarang saya gendong bayi orang lain. Saya kembalikan bayi pada ibunya, sambil menunjukkan kalau bayi itu lucu sekali dan saya ajak dia terlibat untuk komentar. Seperti layaknya marketing jual produk ke customer, ini saya promosiin bayi ke anak sendiri.
Kedua : Prospek
“Semua orang punya kakak atau adik, Mama juga punya adik kan.. ada Om Ito, Om Aldi sama Om iji, jadi Mama seneng banyak temen mainnya di rumah”. Kira-kira itu salah satu usaha saya untuk menjelaskan betapa menyenangkan punya kakak/adik. Atau kalau jalan di mal kebetulan kita ngelewatin bayi saya akan komentar “Ih lucu banget itu ada bayi Zahra! Kalau Zahra jadi kakak nanti mau dorong stroller baby?” Saya tawarkan begitu karena Zahra memang suka banget dorong-dorong stroller-nya sendiri. Saya juga bicara tentang betapa hebatnya jadi seorang kakak, bisa bantu kasih adek susu, bisa ajak main dan ngajarin macem-macem.
Ketiga : Bantuan Pihak Ketiga dan Alat Komunikasi
Saya melibatkan keponakan saya yang saat itu baru lahir untuk membantu saya dalam langkah Pertama dan Kedua di atas. Dan juga sebagai alat bantu komunikasi sengaja membelikan Zahra boneka bayi lengkap dengan stroller, botol susu dan perlengkapan lain supaya dia lebih ngerasa dekat dengan bayi. Tentu saja dia senang dapet mainan baru. Dia suka gantiin baju boneka bayinya, ganti popok, kasih makan di high chair, setelahnya dia akan cuci piring abis nyuapin bayinya, seperti layaknya Ibu.
Sampai suatu hari di umur 4 tahun pertanyaan itu keluar :
“Mama, kapan Zahra punya adik? Zahra mau punya adik Mama...”
Lama kelamaan dia luluh juga ternyata. Mungkin memang setiap kondisi anak berbeda. Ada anak teman saya gak usah diusahain macem-macem udah langsung minta adik bayi, padahal umurnya masih 2 tahun! Haha..
Setelah pertanyaan yang ditunggu-tunggu itu keluar, saat itu saya jadi sadar, ternyata saya siap hamil lagi kalau si anak pertama sudah siap jadi kakak. Jadi tanpa keraguan lagi kita hentikan program KB dan mulai program untuk nambah anak.
Setelah akhirnya kita sampaikan berita kalau Zahra akan punya adik, dia senang luar biasa. Yang lucu, dia jadi lebih care sama Mamanya. Pernah saya pakai celana dengan karet di perut, dia nanya itu celananya gak sempit? Nanti bayinya keteken gak?
Atau pas saya ngerasa lelah dan duduk selonjoran di sofa sepulang dari kantor, tiba-tiba ada tangan mungil yang mijitin kaki saya, sambil bilang “Cape ya Mama? Mama Pusing?” lalu dia elus-elus perut saya :')
Dia juga sering berbisik ke perut saya, lalu saya tertawa dan menjelaskan bahwa adiknya belum bisa mendengar karena bentuknya masih sebesar bola golf :D
Puncaknya adalah sekarang setiap ke mal dia lebih tertarik ke toko perlengkapan bayi daripada toko mainan, ini agak ajaib mengingat Zahra selalu suka ke toko mainan. Sambil pakai pesan sponsor kalau nanti stroller adiknya harus yang posisi bayinya menghadap ke yang dorong, bukan yang kaya punya Zahra. Karena katanya kalau posisi bayi menghadap ke yang dorong jadi bisa keliatan terus.
Entah karena dia ngerasa punya “mainan” baru, usaha pendekatan saya berhasil, atau karena memang sudah tambah dewasa, tapi sungguh ada kelegaan tersendiri saat kita tau si anak pertama sudah siap menerima anggota baru di keluarganya. Ya gak Mommies? (khususnya buat mommies yang mengalami keraguan hamil lagi karena penolakan anak untuk punya adik :D)
Share Article
COMMENTS