“Ih kerjaan gue sucks banget, pengen rasanya nyoba punya bisnis sendiri, tapi ntar kalo bisnisnya ga jalan, gue dah telanjur resign, cari kerja lagi susah”
“Duh gue dah punya anak, takut ah coba-coba, ntar kalo gagal, anak gue ngga bisa gue kasih makan lagi”
Pernah dengar kalimat-kalimat tersebut di atas? Pasti pernah. Seperti juga kalimat yang awalnya pernah membuat saya ragu untuk berusaha sendiri. Tetapi pertemuan dengan Natalie, perempuan Swedia, semakin membuat saya yakin bahwa kita harus mengalahkan rasa takut dan bergerak untuk mengejar mimpi
Kisahnya begini.
Saat itu, I just got back from my long overdue new year’s vacation.
Kali ini, kami - saya dan suami - pergi ke Lombok dan memutuskan untuk tinggal beberapa hari di Gili Trawangan. Waktu sedang jalan-jalan di sana kami menemukan vintage shop yang unik dan super keren bernama VINTAGE DELIVERY.
Beruntung banget pas kami melihat-lihat, kami bisa bertemu langsung dengan owner-nya. Perempuan berumur 29 tahun ini berasal dari Swedia, Natalie Josefsson. Ngobrol-ngobrol singkat, bla..bla..bla..bli..bli, akhirnya saya minta Natalie untuk ketemuan lagi buat ngobrol lebih panjang. Kenapa? Karena menurut saya keputusannya untuk memilih Gili Trawangan sebagai lokasi bisnisnya sangat menarik
Yeay, my first interview for my articles on Moms who are also business entrepreneur was made!
*gambar dari siniMoms? Yup... dia adalah ibu dari seorang anak laki-laki berusia 4 tahun.
Noah berumur 1 tahun ketika Natalie dan suaminya Johny menjual semua barang-barang mereka di Swedia dan pindah ke tempat lain. Petualangan pun dimulai. Waktu memutuskan untuk pergi dari Swedia, mereka benar-benar tak punya bayangan mau tinggal di mana.
Mereka beli one way ticket ke Thailand, berputar-putar selama 3 bulan di Asia termasuk Philipine dan Malaysia, ends up di Gili Trawangan, Lombok, and that was that. Ya, memang, sih, mereka sudah beberapa kali ke Gili Trawangan dah jatuh cinta pada tempat ini sejak lama. Tapi yah, tetap 1000 jempol buat keluarga kecil ini!
"Gile, gue cuma mau traveling dalam negeri sama anak-anak ( 4 dan 2 tahun ) aja mikir, ntar gimana makanannya, penginapan, dan lain sebagainya. Eeehh, keluarga kecil ini pindah lho … bukan cuma keluar kota, tapi ke luar negeri", kataku dalam hati.
Dan lagi mereka bukan cuma pindah ke negara tetangga, mereka memilih Asia, yang notabene sangat berbeda nggak cuma musim dan makanan, tapi kebiasaan, kebudayaan, singkatnya, berbeda betul cara hidupnya dengan negara asal mereka. But.. they did it anyway .Dan terbukti they live happily in Gili.
Bukan berarti tanpa hambatan. Masalah kebiasaan orang Indonesia yang sangat suka menjadikan urusan orang lain menjadi urusan mereka sendiri ternyata sangat mengganggu keluarga kecil ini.
Tapi hal ini boleh dibilang tak terlalu berarti dibandingkan dengan fasilitas yang bisa mereka dapatkan ketika hidup di Indonesia.
Living cost yang relatif rendah di Indonesia (dibanding negara asal mereka) membuat mereka mampu membayar orang untuk membantu mereka. Mungkin ini bukan hal yang luar biasa bagi kita yang seumur hidup ngendon di Indonesia. Kita terbiasa dengan adanya pembantu di rumah, bayar staf buat membantu pekerjaan tapi menurut Natalie, waktu dia masih tinggal di Swedia, semua hal itu tak mungkin terjadi. Jangankan buat menggaji pembantu, buat membayar staf saja mereka berpikir keras saking mahalnya standar gaji di sana. Alhasil di Swedia dulu semua pekerjaan dari mengurus anak, rumah dan toko, mereka urus sendiri. Padahal di toko mereka dulu juga ada small cafe dan art gallery. Tiga hari setelah melahirkan, Natalie sudah harus mulai kerja lagi mengurusi toko… arrrgghhh!! Membayangkan saja sudah bikin pegal!
Alasan utama mereka untuk pindah karena mereka berpendapat bahwa semua kesibukan itu membuat mereka menjadi orangtua yang kurang baik. Di sana mereka menyewa bekas gudang bir yang disulap jadi rumah dan tempat bisnis mereka, dah Noah pun harus rela diganggu oleh berisiknya tempat. Apalagi kalau sudah kelelahan urusan kerja, sudah pasti waktu menghadapi anak, tenaga dan konsentrasi mereka sudah tak maksimal lagi. Semua orangtua pasti mengerti sekali tenaga yang kita butuhkan untuk main-main dan merawat anak itu tidak sedikit. Apalagi kalau anak lagi rewel. Haduh!
Nah di Indonesia, mereka bisa membayar orang buat membantu mengurus rumah dan staf untuk toko. Alhasil mereka bisa punya waktu lebih banyak buat anak mereka Noah. They manage to have quality time with Noah, eventough they are also bussy taking care of their business. .
Menurut saya, cerita singkat tentang hidup mereka ini adalah living proof bahwa kalau kita punya mimpi, punya keinginan, kita tak usah takut untuk mewujudkannya. This is a perfect example of getting out from your comfort zone.
Kadang kita terlalu nyaman dengan zona nyaman kita. Takut menghadapi sesuatu yang tidak pasti, takut keluar dari rutinitas yang mudah ditebak, padahal kita sebenarnya tidak nyaman dengan kenyamanan tersebut, seperti cetusan kalimat-kalimat di awal tulisan ini.
Bukan berarti kalau kita melakukan sesuatu, kita mengambil risiko yang tidak memakai perhitungan. Misalnya saja, keluarga kecil dari Swedia ini, sebelum pindah pun mereka sudah punya rencana akan berbisnis apa di tempat tinggal baru nanti. Walau kebanyakan expat di Gili Trawangan berbisnis hotel dan restauran, mereka tak mau ikut-ikut karena merasa pengalaman mereka di bidang ini adalah NOL besar. Berhubung pengalaman kerja pasangan suami istri ini selalu di bidang retail dan sebelumnya mereka juga sudah punya pengalaman punya toko sendiri, mereka memutuskan untuk memiliki toko baju.
So, jangan pernah takut menggapai mimpi, no matter how old or what your status are. Hambatan mungkin saja muncul, masalah bisa saja menganggu, tapi asal kita serius dan mau kerja keras, percayalah mimpi dan keinginan kita pasti akan terjadi, cepat atau lambat..
Dari obrolan dengan Natalie pelajaran terpenting yang saya dapat adalah “Jangan memakai anak-anak sebagai alasan kita untuk tidak melakukan sesuatu, sebaliknya anak-anak kita seharusnya kita pakai sebagai penyemangat kita dalam melakukan sesuatu".