Setiap keluarga pasti inginnya tinggal di satu atap. Berkumpul bersama setiap hari, paling nggak malam hari sepulang beraktivitas. Namun, tren sekarang sepertinya makin banyak keluarga yang terpisah jarak. Si ibu di mana, ayah di mana, anak di mana. Kondisi ini biasanya terjadi karena salah satu atau salah dua dari anggota keluarga harus mencari nafkah jauh dari home base, dengan begitu mau nggak mau, kumpul keluarga yang normalnya bisa dilakukan setiap hari, hanya bisa dilakukan seminggu sekali, maksimal selama 2 hari, Sabtu & Minggu.
Kondisi itu juga terjadi dengan saya dan suami. Dari awal sebelum menikah, kami memang jauh-jauhan, saya di Bandung, suami di Jakarta. Kok, dari awal tinggal jauh-jauhan bisa menikah? Awal berkenalan memang di Bandung. Kami sama-sama diterima bekerja di perusahaan yang sama, dan selanjutnya mungkin bisa ditebak, (calon) suami saya itu dimutasi ke Jakarta segera setelah masa pendidikan di Bandung selesai, sementara saya berdinas di Bandung. Dan kemudian, menikahlah kami berdua.
Sejak itulah kehidupan keluarga long distance kami dimulai. Saya menjalani masa-masa hamil sendirian di Bandung. Suami hanya pulang saat weekend (plus bolos-bolos dikit di hari-hari kerja sih sebenernya hehehe). Sampai hamil besar, saya berangkat dan pulang kantor sendiri, di rumah sendiri, mengatasi morning sickness sendiri, sampai sekitar H-30 sebelum due date, saya “dipulangkan” ke rumah orangtua saya di Lampung karena suami khawatir bayinya tiba-tiba mbrojol. Ketika akhirnya Gendra lahir dan cuti saya habis, Gendra saya boyong ke Bandung. Ayahnya tetap mangkal di Jakarta.
Awalnya, karena sudah terbiasa jauh-jauhan, kami pikir semuanya bakalan fine-fine aja. Ternyata enggak! Sejak Gendra lahir, ayahnya makin sering nelongso karena kangen dengan si anak lanang. Saya juga beberapa kali down karena harus mengasuh Gendra tanpa didampingi suami, down karena capek mikirin nasib keluarga kecil kami ke depannya kalau harus terus jauh-jauhan begini, dan down karena kasian sama suami yang “gak keurus” dan sering kangen sama anaknya. Mau resign dari kerjaan dan ikut suami, sepertinya belum mungkin. Tapi kalo nggak resign lama-lama capek hati capek pikiran. Dan saya pun galau.
Sampai saat saya menulis ini pun saya masih galau. Galau terus setiap hari, antara resign-jangan-resign-jangan. Satu hal yang saya yakini, suatu saat pasti akan datang saatnya untuk membuat keputusan, dan saya harus memilih. Saat itu pasti ada yang harus dikorbankan. Saya hanya berharap, apapun keputusan saya nanti, mudah-mudahan itu yang terbaik buat keluarga kami. Untuk saat ini, saya meyakini, Tuhan menakdirkan kami untuk hidup terpisah agar suatu saat nanti, kami lebih menghargai kebersamaan kami sebagai keluarga. Semoga…
*thumbnail dari sini