5 Tahun Pernikahan

Sex

irasistible・17 Jul 2013

detail-thumb

Banyak yang bilang, usia 5 tahun adalah stage bahaya pertama dalam sebuah pernikahan. Di sini diuji apakah Anda dan pasangan cukup kuat untuk terus bersama, atau tidak. Kelak, ujian-ujian lain akan datang setiap 5 tahun berikutnya.

Tahun ini, pernikahan saya dan suami genap menginjak usia 5 tahun. Perjalanan kami nggak mulus-mulus amat. Ada kalanya saya ingin berteriak saking frustrasi dengan sifatnya. Dan saya yakin, dia pasti merasakan hal yang sama.

Apalagi selama 3 tahun pertama, kami harus tinggal bareng mertua. Friksi-friksi pun banyak terjadi. Niatan untuk berpisah sudah melintas di kepala saya ribuan kali, saking stresnya.

Lantas, kenapa bisa kuat bertahan selama 5 tahun? Padahal banyak lho teman-teman saya yang menyerah dan berpisah pada usia pernikahan 3 tahun, bahkan tak sedikit yang hanya menikah selama beberapa bulan saja.

Terus terang, saya kadang juga sering terpukau dengan diri sendiri, kok kuat ya? Hahaha.. Apalagi sejak dulu saya bukanlah tipe yang suka berada dalam komitmen jangka panjang.

Anyway, berikut ini ada beberapa hal yang mungkin bisa saya bagi dari pernikahan saya. Masih seumur jagung sih, tapi lumayan lah :)

*gambar dari sini

1. Opposite attract

Saya dan suami memiliki banyaaaakk sekali perbedaan yang bagaikan bumi dan langit. Saya benci bangun pagi, suami tidak bisa jika tidak bangun pagi. Saya benci beres-beres rumah, suami gemar sekali beres-beres. Saya cenderung easy going dalam berbagai hal jadi jarang terserang stres, suami selalu overthink dalam berbagai hal makanya gampang stres. Saya gemar traveling, suami benci traveling. Saya punya banyak teman dan sahabat, suami hanya punya sedikit teman dan 1 orang sahabat. Saya cenderung pesimis dan kurang pede, suami amat optimis dan pede. Saya tipe fun, suami tipe boring. Saya mudah puas, suami perfeksionis. Saya lebih suka berkomunikasi via tulisan, suami lebih suka via berbicara langsung.

Wah kalo ditulis semua, daftar perbedaan antara kami berdua bisa 5 halaman sendiri kayaknya, hehehe..

Dengan segitu banyak perbedaan, nggak ribet? Nah di sinilah untungnya saya punya sifat easy going. Saya berusaha menjalani semua dengan santai. Sepanjang sifat-sifat kami tidak merusak satu sama lain, atau malah saling mengisi, ya nggak masalah lah ya. Suami pun jadi ketularan sifat saya ini.

Bahkan, ipar saya sempat bilang "Mas, bagus deh lo merit sama Ira. Jadi hiduplo yang ibarat TV hitam putih jadi agak berwarna sekarang." Hahaha..

Yah, meski begitu, sering juga kami bertengkar perihal perbedaan-perbedaan ini. Tapi ya itu tadi, kami berusaha menyikapi dengan tenang. Dan tentu saja, menggunakan logika, yang akan dibahas di poin berikutnya.

2. Kedepankan Logika

Di balik semua perbedaan tadi, kami punya satu kesamaan, yakni kami berdua sama-sama orang yang logis. Makanya, salah satu alasan saya mau menikah dengan suami adalah karena saya bisa berdiskusi berbagai macam hal dengannya, tanpa harus bertengkar. Sepanjang hidup saya, hanya sedikit pria yang bisa begini. Rata-rata jika diajak diskusi langsung malas saat saya terlihat lebih menguasai topik. Mereka enggan terlihat "kalah" pintar. Zzz...

Ternyata, suami pun merasakan hal yang sama dengan saya. "Among my friends, family and ex girlfriends, you're the only person whom I can discuss anything and everything with. From politics, music, movies to religion. Your knowledge is compatible and sometimes, exceeding mine," said hubby to me last night.

Aduh, biarin deh gak pernah dikasih bunga (curcol bok). Tapi dipuji kayak gitu, saya langsung GR! Hahaha...

Jadi ya gitu deh. Kalo ada masalah, kami memecahkannya dengan logika dan berdiskusi, macam kerja kelompok ya, hehehe... Sulitnya, jika salah satu dari kami tengah merasa terpuruk dan down, masalah ini agak susah diselesaikan pakai logika. Bingung deh karena ini di luar kebiasaan, kan?

3. Cinta Dewasa

Beberapa waktu lalu seorang teman curhat tentang tunangannya. Ia merasa masih ada yang kurang dari hubungan mereka karena "koq perasaan gue ke dia nggak semeletup-letup ke first love gue dulu ya, Ra? Takutnya nanti pas nikah gue jadi bosen deh."

Terus terang, itu juga saya alami dengan suami. Waktu kami pacaran dan memutuskan menikah, kami melakukannya berdasarkan cinta. Tapi, menurut saya, cinta yang kami rasakan sudah dalam kategori dewasa ya. Pakai perasaan dan ada chemistry, sudah pasti. Tapi tidak melupakan logika.

Kalau dibandingkan dengan cinta masa ABG dulu, apalagi first love yang unforgettable itu, ya beda lah sensasinya. First love selalu menggetarkan hati, serta membuat siapa saja membuncah perasaannya saat mengalaminya. And we'd do anything for our first love, right?

Beda dengan cinta dewasa yang menurut saya nih, tidak meletup-letup dan menggebu-gebu. Tapi menggunakan logika bahkan menghitung untung-rugi agar tidak sia-sia.

Jadi ya begitulah, saya mendefinisikan perasaan antara saya dan suami. Apalagi kebetulan kami sama-sama menikah di usia dewasa, dan sama-sama ingin serius. Jadi begitu klik, langsung menikah dan Alhamdulillah, survived sampai sekarang :)

4. Tentukan Hal-hal Prinsip

Saya selalu ingat wejangan Mama saya sebelum menikah. "Jangan gampang minta cerai, nanti kalo bener terjadi, pasti sakit hati. Kalo ada masalah, dilihat dulu apakah masalah itu masuk prinsip kamu dan suami atau tidak. Kalo bukan hal-hal yang prinsip, jangan dijadikan alasan untuk bercerai."

Karena itu, saat menikah, pertama-tama kami merumuskan apa-apa saja hal prinsip yang tidak boleh kami langgar. Saat ini sih, hal paling prinsip yang sama-sama kami sepakati adalah soal perselingkuhan. Saya sudah berkali-kali bilang pada suami, jika dia berselingkuh, silakan say goodbye pada saya dan Nadira. Soalnya saya nggak yakin bisa memaafkan sekaligus melupakan jika suami begitu (amit-amit, knock on woods).

Tiap-tiap pasangan memiliki hal prinsip yang berbeda-beda. Ada yang tidak masalah dengan perselingkuhan, tapi amat tidak bisa menolerir urusan finansial, misalnya. Jadi saran saya, silakan tentukan sendiri dengan pasangan Anda supaya tahu, batas mana yang boleh dan tidak boleh dilanggar dalam pernikahan.

5. Percaya Saja

Saya bukan tipe pencemburu. Jadi saya berharap pasangan saya juga begitu. Alhamdulillah, suami saya bukan pencemburu. Dia juga berupaya memberikan saya lebih banyak kebebasan dan tidak suka mengekang.

Kenapa? Menurutnya, jika ia pencemburu dan suka mengekang, ia hanya akan menghabiskan energi dan pikiran saja. "Lagi pula, siapa yang bisa menjamin kalo aku mengekang dan mencemburui kamu terus-terusan, kamu akan 100% setia? Terus, dari pengalaman teman-temanku, rata-rata istri yang dikekang suami, justru akan selingkuh jika ada kesempatan," kata suami.

Bisa dibilang, kami saling memercayai satu sama lain saja. Jaraanng sekali saya cemburu, begitu pula sebaliknya. Paling-paling saya jadi cemburuan saat hamil dulu. Kayaknya karena perpaduan hormon dan rasa insecure karena tubuh sebesar kuda nil deh, hahaha...

Mungkin itu aja ya 5 hal yang bisa saya share dari 5 tahun pernikahan saya. Nggak spektakuler bahkan membosankan, mungkin. But they keep us survived this whole time. Not bad, eh? :)