Uang jajan, sebenarnya perlu atau tidak diberikan ke anak? Khususnya anak usia SD. Saya cukup lama mempertimbangkan hal ini, sebelum akhirnya memutuskan untuk memberi Aira uang jajan saat ia duduk di kelas 4 SD.
Saya dan Pak Teddy punya pandangan yang sedikit berbeda tentang hal ini. Sekolah saya dulu tidak ada kantin, jadi kami memang tidak perlu bawa uang ke sekolah. Baru bisa jajan di parkiran luar sekolah, yang biasanya uang juga dibawa sama orang tua atau penjemput. Nggak tau sih anak yang lain gimana, tapi saya nggak pernah bawa uang jajan ke sekolah. Saya baru dapat uang jajan setelah SMP, karena ada kantin di sekolah. Tapi berbeda dengan teman-teman yang dapat uang jajan harian, uang jajan saya bulanan. Cukup nggak cukup ya cuma dapat segitu. Kalau mau jalan-jalan sama teman di akhir pekan harus baik-baikin orangtua, biar dikasih uang tambahan. Kala lagi nggak dapet ya diam saja di rumah.
Nah, sekolah SD Pak Teddy tipe sekolah yang banyak jajanannya. Jadi dari SD ia sudah dapat uang jajan, mulai dari harian, lalu mingguan. Berikutnya setelah kuliah dapat bulanan. Seperti juga saya, nominalnya nggak besar. Waktu kuliah malah kalau mau jalan-jalan (baca: pacaran) harus usaha sendiri. Karena itu juga Pak Teddy sejak semester 3 sudah mulai kerja sedikit-sedikit.
Jadi, waktu itu saya berpendapat kalau Aira dikasih uang jajan SMP saja, kan masih bawa bekal dari rumah ini. Sementara Bapaknya ternyata suka kasih uang jajan sekali-kali, Aira kelas 3 kalau nggak salah. Di sekolah Aira (yang sama dengan sekolah SD Bapaknya dulu) memang ada kantin dan banyak jajanan di luar. Akhirnya kami sepakat kalau Aira akan dikasih uang jajan saat kelas 4 SD. Pertimbangannya, pulang sekolah sudah jauh lebih siang, kadang-kadang dia kepengen beli camilan atau minuman. Karena itu, jumlah uang jajan Aira nggak besar, karena tujuannya bukan untuk beli makan siang di sekolah. Syaratnya pun dia hanya boleh beli di kantin, nggak boleh jajan yang di pinggir jalan.
Pertimbangan kedua, kami ingin Aira belajar mengatur uang. Karena itu lagi, nominal uang jajannya nggak besar dan diberikannya per minggu, bukan per hari. Jadi dia harus belajar mengatur agar uang yang hanya segitu itu cukup untuk seminggu. Lebih bagus lagi kalau ada sisanya.
Ternyata cara ini lumayan berhasil. Anak saya yang tertib itu nggak pernah jajan di luar, pasti di kantin. Kalau sekali-kali dia pengen bubur ayam yang di luar sekolah, pasti minta izin dulu sebelumnya ke saya. Kemudian, dia juga bisa belajar mengatur uang. Seringkali Aira beli buku atau sesuatu yang dia inginkan dari sisa-sisa uang jajan yang dia kumpulkan dalam satu kotak di kamarnya. Bahkan ia bisa membeli sendiri kado untuk Aidan seharga 200ribu lebih dengan uangnya sendiri. Terus terang saya saja kaget, waktu dia mau beli kado Aidan dengan harga segitu dan ada uangnya punya dia sendiri. Satu lagi yang membuat saya mau mewek pas tau, ternyata kalau ada infaq di sekolah atau tabungan untuk qurban Idul Adha di kelas, dia nggak pernah minta lagi sama saya atau Ayahnya, dia akan kasih dari uangnya sendiri.
Jadi menurut saya soal memberi anak uang jajan ini memang harus disikapi dengan bijak, agar anak justru bisa dapat manfaatnya. Hal-hal seperti mengatur uang, menabung kan bukan sesuatu yang cukup dipelajari dari teori bahwa kita harus menabung, tetapi sesuatu yang jika dipraktikkan langsung akan lebih tertanam dalam diri anak. Bagaimana menurut Mommies?