Tidak semua anak belajar dengan cara yang sama. Dua anak, dua cara belajar yang berbeda. Ini pula yang kemudian menjadi salah satu pertimbangan saya dalam memilih sekolah.
Memang terus terang waktu mencari sekolah untuk Aira dulu saya tidak se-picky sekarang saat memilih sekolah untuk Aidan. Bukan apa-apa, mungkin pengetahuan saya soal ini yang masih kurang. Bukannya kemudian saya asal-asalan pilih sekolah untuk Aira, hanya yang jadi bahan pertimbangan tidak sebanyak sekarang.
Sekolah pertama Aira dipilih berdasarkan dorongan hati ibu yang punya anak pertama. Umur 11 bulan sudah masuk sekolah. Hahaha. Sekarang, setelah saya pikir-pikir pengaruhnya nggak banyak untuk Aira. Giliran Aidan, benar-benar baru saya masukkan sekolah mendekati umur 3 tahun. Stimulus yang didapat di rumah juga sudah cukup, kok.
Untuk Taman Bermain, TK, dan SD, Aira bersekolah di satu sekolah yang sama, sekolah tempat ayahnya menjalani pendidikan SD dulu. Pertimbangannya hanya sekolah ini sudah teruji, mutu akademisnya baik. Saya belum terlalu memikirkan metode dan segala macam pada waktu itu. Untungnya memang saya diberi kemudahan oleh Tuhan lewat Aira, si anak yang kerap saya sebut autopilot. Belajar bukan hal yang sulit bagi Aira. Diminta duduk manis dan belajar dari buku bukan masalah. Saya tidak pernah harus menemani Aira belajar ketika mau ulangan, apalagi nge-drill soal-soal untuk latihan ulangan. Hobi baca Aira sangat membantu, dia tinggal baca materi sendiri atau membuat mind map untuk bantu belajar. Untuk materi yang sulit Aira lebih suka belajar lewat diskusi, biasanya dengan si ayah. Karena itu juga bersekolah di sekolah yang metode pengajarannya masih konvensional bukan masalah bagi Aira. Sekolah ini bukannya kuno banget metodenya, tapi tipikal sekolah lamalah, yang nomor satu adalah akademis. Memang kemudian yang saya sesali adalah saya merasa bahwa Aira akan bisa lebih berekspresi dan berkreasi jika sekolahnya seperti sekolah Aidan sekarang.
Ya, sekolah Aidan beda dengan sekolah kakaknya. Dari awal saya sudah lihat kalau sekolah Aira sudah pasti tidak cocok untuk anak seperti Aidan, dan saya tidak memaksakan mereka harus di satu sekolah yang sama. Karena itu saya mulai school shopping waktu Aidan mau masuk Taman Bermain. Saya sempat cek TKAI waktu Aidan umur 2 tahun, tapi waktu itu saya lihat Aidan belum siap. Akhirnya saya tunda hampir 1 tahun kemudian baru Aidan masuk TKAI. Yang ternyata memang cocok sekali untuk Aidan, dan juga untuk saya.
*gambar dari sini
Tahun ini Aira masuk SMP sementara Aidan masuk SD. Drama cari sekolah saya dobel, apalagi sekarang pertimbangannya lebih banyak, seperti yang saya bilang tadi. Saya perlu benar-benar memilih sekolah yang sesuai untuk Aira, yang bisa membantu memenuhi kebutuhan Aira yang tidak berhasil terpenuhi waktu ia SD dulu. Sementara untuk Aidan saya perlu mencari sekolah yang kurang lebih sejalan dengan TKAI, agar pola belajar yang menurut saya cocok untuk Aidan bisa diteruskan. Lagi-lagi saya tidak memaksakan mereka harus satu sekolah, asal jaraknya masih masuk akal. Karena saya dan suami sudah memutuskan untuk memilih sekolah yang jaraknya lebih dekat ke rumah, setelah kami melihat Aira 6 tahun harus bangun pukul 5 pagi untuk bisa sampai di sekolah (yang jaraknya sebenernya gak jauh-jauh amat) sebelum pukul 7, dan baru sampai rumah pukul 3 sore.
Memang setiap orang pasti punya pertimbangan yang berbeda ketika memilih sekolah untuk anak. Kepala Sekolah SD pilihan saya untuk Aidan pernah bilang kepada saya waktu saya lagi tanya-tanya soal program sekolahnya mengenai hal ini. Beliau bilang ketika memilih sekolah sudah pasti sulit sekali kalau mau ketemu yang 100% cocok dengan kriteria idaman kita. Karena itu paling tidak 75% harus sesuai, karena jika di bawah itu biasanya akan mendatangkan keluhan-keluhan di kemudian hari.
Untuk kedua sekolah ini saya belum bisa berbagi pengalaman tentunya. Mudah-mudahan saja pilihan saya tidak salah.