Bhinneka Tunggal Ika. Semboyan itu pastinya akrab di telinga kita. Maknanya adalah walaupun berbeda namun tetap satu kesatuan, yang seringkali diasosiasikan dengan perbedaan budaya dan agama yang beragam di Indonesia.
Sebagai warga negara yang baik, semboyan itupun berlaku di pernikahan saya. Saya datang dari keluarga Batak. Dari kakek buyut sampai saya, semuanya Batak murni tanpa campuran sama sekali, walaupun banyak yang mengira saya orang Jawa. Seperti yang sudah bisa diduga, orang tua saya mengharapkan saya akan menikah dengan pria Batak juga.
Namun walaupun terdengar klise, memang jodoh tak dapat ditolak. Saya dikenalkan oleh teman saya dengan seorang pria Jawa and somehow we clicked. Dengan masa perkenalan dan pacaran yang sangat singkat, kami memutuskan untuk menikah. Tentu saja ini mengejutkan semua pihak, karena kami baru berkenalan pada September 2009 dan menikah pada Juli 2010. Yup, dari kenalan sampai menikah rentang waktunya tidak sampai 1 tahun.
Dari awal kami memutuskan untuk menikah, kami sudah siap dengan semua risiko yang asumsinya sebagian besar akan datang dari nilai budaya yang berbeda. Benar saja, dari awal sudah ada tantangan yang kami hadapi.
Pertama kali tentunya mengenai adat di acara pernikahan. Sebagai anak pertama dan satu-satunya perempuan di keluarga Batak di mana sang ayah adalah satu-satunya pria di keluarganya, tentunya keluarga besar saya ingin pernikahan dilakukan dengan adat Batak. Untungnya, ayah saya yang walaupun istilahnya BTL (Batak Tembak Langsung), cukup liberal dalam hal adat istiadat. Bagi ayah saya, yang penting kepercayaan sama, sehingga tentu saja suami yang beragama Katolik harus convert dulu ke Protestan supaya pernikahan bisa dilakukan di gereja Protestan. Untungnya suami saya tidak keberatan karena Katolik ke Protestan pada dasarnya toh sama.
Akhirnya pernikahan diselenggarakan tanpa adat istiadat, namun tetap di gereja Batak Protestan. Untuk lolos dari pernikahan adat, ayah saya harus menghadap ke keluarga besarnya sampai ke raja adat. Istilahnya mungkin seperti ngelobby supaya nantinya tidak menjadi bahan omongan di keluarga. Sampai sekarang I can’t thank him enough for all the trouble he went through demi anak perempuan satu-satunya ini. Tapi tentu saja orangtua saya mengharapkan suatu hari nanti akan ada acara adat supaya jika orangtua saya meninggal, misalnya, tidak ada masalah dalam proses penguburan jika diadakan sesuai adat istiadat. Bingung? Don’t be, karena sampai sekarang saya juga kurang paham dengan hal yang satu ini.
Untungnya lagi, pihak keluarga suami saya juga tidak terlalu menjunjung tinggi adat istiadat, jadi sewaktu pernikahan diselenggarakan secara nasional mereka tidak terlalu bermasalah. Lagipula pihak keluarga suami lebih beraneka ragam latar belakang budayanya dan mertua saya sudah pernah menikahkan anaknya yang pertama dengan adat istiadat Jawa. Jadi mungkin untuk anak bungsunya mereka lebih fleksibel.
Seiring berjalannya waktu, beberapa tantangan mulai bermunculan. Keluarga Batak terkenal dengan kedekatan dan acara keluarga. Setiap bulan ada saja acara keluarga dari yang sifatnya esensial sampai yang diada-adain supaya bisa berkumpul saja. Masalah utama dari acara keluarga Batak adalah, acara intinya hanya 1-2 jam namun acaranya bisa sampai seharian. Pernah ada kejadian sewaktu acara 7 bulanan kehamilan saya. Acaranya sendiri, sih, hanya setengah jam, tapi keluarga berkumpul dan mengobrol sampai malam, sampai keluarga suami semua sudah pulang. Waktu itu suami saya sampai bertanya, "Ini acaranya sampai jam berapa ya?"
Akhirnya kami memutuskan untuk pergi ke acara keluarga yang penting saja atau acara keluarga inti. Kami setor muka dulu dan chit-chat sebentar, setidaknya terlihat kalau kami datang. Atau in worst case scenario, biasanya saya saja yang datang dan buat alasan kalau suami sedang tugas. Yes, it’s a lie but it can save my marriage and my (or my husband’s) relationship with the big family. Kalaupun itu acara keluarga inti dan diadakannya di rumah saya, malah om dan tante saya yang biasanya menyuruh suami saya tidur kalau kecapekan.
Di lain pihak, saya juga harus menyesuaikan dengan keluarga suami yang adalah keluarga Jawa dengan budaya sopan santun yang tinggi dan sangat menghormati para tetua di keluarga. Mengobrol dan bercanda di pihak keluarga suami tidak terlalu terbuka dan tabu hukumnya kalau mencela orang yang lebih tua. Ini sangat berbeda dengan budaya saya yang tidak mengenal hirarki antar anggota keluarga. Entah ini budaya Batak atau hanya di keluarga besar saya saja, tua dan muda semua sederajat. Di keluarga besar saya bebas mencela atau berargumen bahkan dengan Ompung (kakek atau nenek) sekalipun Jadi kalau berkumpul dengan keluarga suami, bisa ditebak aktivitas saya adalah datang, duduk manis, mengangguk-angguk dan menjadi pendengar yang baik.
Dalam hal berkomunikasi pun saya dan suami sangat berbeda. Walaupun saya terlihat pendiam untuk ukuran perempuan Batak, tapi sebenarnya kalau bicara saya cukup lugas dan to the point. Kalau sedang berdebat, seringkali suami saya menganggap saya sedang marah karena nada suara saya tinggi padahal menurut saya nada bicara saya sudah halus. Atau suami saya menganggap kami sedang berantem padahal di kamus saya itu hanyalah berargumentasi dalam tingkatan yang masih sangat wajar.
Mungkin hal tersebut terdengar sangat sederhana tapi ternyata efeknya dahsyat kalau tidak segera dicari jalan tengahnya. Sampai saat ini kami masih belajar, apalagi dengan usia pernikahan yang baru seumur jagung. At the end, saya belajar banyak, bahwa toleransi adalah hal yang sangat penting dalam setiap pernikahan, tak hanya bagi pernikahan saya, yang berasal dari latar belakang budaya yang jauh berbeda. Setuju, Mommies?