... the world I know doesn’t exist anymore. Welcome to the real one ...
Artikel “Selingkuh Teks” yang saya tulis beberapa saat yang lalu ternyata mendapat sambutan yang cukup meriah dalam berbagai bentuk, termasuk adanya beberapa orang “datang” kepada saya, baik melalui mention Twitter, e-mail maupun BBM untuk sekedar menceritakan kejadian sejenis yang menimpa mereka, bahkan ada juga yang meminta saran-saran. Sebenarnya agak kurang tepat jika meminta saran ke saya karena tentu saja saya bukan ahlinya, hehe.. Saya sehari-hari berprofesi sebagai arsitek yang kebetulan sesekali bisa menyempatkan waktu untuk menulis artikel dalam topik-topik yang kebetulan menarik minat. Namun, saya, sih, janji kalau terlalu berat pasti mereka saya sarankan untuk mencari bantuan segera ke psikolog terpercaya.
Beberapa cerita yang masuk tidak hanya tentang Selingkuh Teks saja tapi juga tentang selingkuh “beneran” Semuanya saya kompilasi dan membuat saya berpikir panjang sehingga selain berselancar di internet untuk mencari berbagai penyelesaian dengan kata kunci 'cheating', 'infidelity', 'selingkuh/perselingkuhan' di PsychologyToday.com, askdrphil, sampai rela membuka-buka kembali berbagai buku teori saat kuliah dulu, dari Derrida, Heidegger sampai Baudrillard, Barthes, bahkan kepikiran juga public sphere-nya Habbermas. Sekilas teori-teori yang saya baca tidak ada hubungannya dengan perselingkuhan dan psikologi, namun semua bercampur di otak saya dan menghasilkan suatu pemikiran yang baru dan semoga bermanfaat.
*gambar dari sini
Beberapa plot cerita selingkuh “beneran” yang kebetulan masuk ke telinga saya diantaranya adalah: seorang istri yang diselingkuhi suami dengan perempuan yang kurang waras dan kemudian menterornya (seperti cerita film Fatal Attraction, minus kelinci yang direbus), seorang istri yang menemukan foto-foto telanjang berbagai pose (dan close up beberapa bagian tubuh paling pribadi) seorang perempuan yang dia kenali sebagai istri orang, yang dikirimkan secara digital ke suaminya (yeah, Jakarta’ crazy right..), seorang istri yang memiliki hubungan terbuka dengan suaminya (open marriage relationship) sehingga masing-masing bebas berpacaran dengan siapa saja namun tetap serumah dan tetap berpartner sebagai orang tua yang baik bagi anak-anak mereka, seorang istri yang berselingkuh dengan beberapa pria karena menganggap suaminya kurang tangguh secara ekonomi dibanding dirinya, seorang suami yang berselingkuh dengan banyak perempuan sementara sang istri dengan tenang dan sabar menelpon setiap selingkuhan suaminya untuk menghentikan perbuatan tersebut dan cerita-cerita fantastik lainnya.
Tapi percaya, nggak, sebagian besar dari cerita-cerita tersebut tidak berakhir dengan perceraian, malah banyak di antaranya membuat hubungan perkawinan mereka menjadi lebih erat, lebih romantis dan lebih baik dari sebelumnya. Suami-suami atau istri-istri pelaku perselingkuhan seolah hanya berusaha menarik perhatian pasangannya saja karena selama ini ada masalah yang kurang dapat dikomunikasikan dan menghasilkan “jeritan” berupa perselingkuhan itu tadi.
Bagaimana, sih, kok bisa begitu? Sudah dikhianati, kok, malah perkawinan jadi semakin baik? Sekali lagi saya bukan psikolog, maka berbagai analisis dan kesimpulan yang saya ambil berikut ini berdasarkan perspektif saya seorang awam di bidang psikologi, dengan sedikit membaca berbagai artikel psikologi yang tersedia online (di antaranya di website PsychologyToday.com, DrPhil.com) dan berdasarkan buku-buku berbagai teori yang saya baca selama ini, yang kebetulan sama sekali bukan buku psikologi. Satu-satunya tokoh psikologi yang saya baca bukunya saat kuliah dulu adalah Sigmund Freud dengan psikoanalisisnya, itu pun bukan dalam rangka mempelajari psikologi.
“More marriages might survive if the partners realized that sometimes the better comes after the worse” – Doug Larson
Saat pertama kali mengetahui pasangan kita berselingkuh tentu dunia serasa runtuh, dengkul terasa lemas, kepingin ngamuk dan lain-lainnya. Sekuatnya segera singkirkan hal-hal tersebut dan fokus kepada keinginan kita akan hubungan yang ternoda ini: ingin lanjut atau ingin selesai saja? Teman saya yang berlatar belakang psikologi pernah menyarankan jangan sampai anak-anak menjadi alasan untuk bertahan pada suatu hubungan yang buruk, maka kalau boleh saya ulangi di sini: fokuslah pada keinginan yang hendak dicapai. Apakah ingin memperbaiki hubungan atau menyudahinya karena masalah ini? Berbagai faktor di luar hubungan pasangan termasuk faktor anak-anak jangan menjadi alasan pengikat yang kadang malah jadi salah.
Dari satu artikel yang saya baca, lebih baik anak-anak diasuh oleh orang tua yang 'tidak utuh' tetapi damai dibanding sepasang orang tua yang kerap berkelahi baik mulut maupun fisik sehingga suasana di rumah tidaklah kondusif untuk membesarkan seorang anak. Di lain pihak, walaupun terasa oleh orang luar peristiwa yang menimpa sebuah pasangan sungguh tidak termaafkan tapi jika istri/suami yang jadi korban perselingkuhan pasangannya tetap ingin meneruskan hubungan kenapa tidak? Teruskan hubungan dengan alasan-alasan yang hanya kalian berdua saja ketahui, tidak usah terpengaruh oleh pendapat yang kontra. Mantapkan hati dan pikiran, pertimbangkan baik-buruknya, lanjutkan dengan keyakinan tinggi. Intinya: tidak usah terlalu terpengaruh oleh faktor eksternal dalam memutuskan untuk melanjutkan atau menyelesaikan hubungan ini. Karena pada akhirnya hanya kita yang mengalaminya yang tahu persis: harus lanjut atau berhenti sampai di sini. Kedepankan logika dibanding emosi, betul harus lanjut tapi logiskah kita pertahankan jika dia berkali-kali berselingkuh? Atau, mungkin ingin menghentikan hubungan perkawinan sampai di sini saja, tapi logiskah dihentikan jika peristiwa perselingkuhan tersebut terjadi hanya sekali dan karena khilaf sesaat saja? Apakah harus “dihukum” seberat itu?
Istri yang rajin menelpon setiap selingkuhan suaminya tahu bahwa suaminya memang bukan 'married type', dia sudah tahu risiko yang harus ditanggungnya ketika awal menikah dulu, dan dengan kesadaran penuh tidak mempermasalahkan secara berlebihan setiap peristiwa perselingkuhan suaminya. Bagai sakit flu, begitu terkena dia beri obat dan rawat lalu sembuh. Life goes on. Mereka berdua tetap awet menikah sampai sekarang.
“Stop letting people who do so little for you control so much of your mind, feelings and emotions” – Will Smith
Kejadian perselingkuhan ini sendiri pada dasarnya adalah 'drama at its best', jadi kurang membantu jika kita menambah unsur drama lagi di dalamnya. Ya, betul, suami/istri kita selingkuh dengan orang yang kita tidak sangka, kita anggap tidak sepadan dan lain-lain, lalu mau apa? Kan sudah terjadi dan tidak bisa dihapus lagi. Tentu boleh saja kita mengeluarkan emosi seperti menangis dan lain-lainnya, tetapi sebaiknya tetap terkontrol dengan tidak melakukan hal-hal yang merusak, baik merusak diri sendiri, orang lain maupun barang-barang di sekitar. Anak-anak harus dilindungi dan sebaik-baiknya, tidak menyaksikan pertengkaran orang tuanya. Mereka tidak salah dan patut dijaga perasaannya. Ungsikan anak-anak ke tempat aman seperti rumah kakek-neneknya atau kerabat lain. Mereka boleh kembali ke rumah jika suasana sudah aman dan 'tidak berbahaya'. Tidak perlu meniru adegan sinetron dengan menemui perempuan/lelaki pengganggu rumah tangga kita dan, misalnya, menampar/memukulnya di depan umum. Semuanya untuk kebaikan kita juga kok. Apa lagi jika kita tujuan utamanya adalah tetap mempertahankan hubungan dengan pasangan, maka pihak luar sesedikit mungkin dilibatkan terutama si pengganggu itu tadi.
Pihak luar yang boleh disertakan dalam membantu memecahkan masalah ini misalnya psikolog/ penasehat perkawinan, orang-orang yang ahli dan diharapkan obyektif dalam melihat permasalahan. Bercerita dengan keluarga atau teman dekat ada kelebihan dan kekurangannya. Kelebihannya mereka sangat mengenal diri kita, gratis dan mau diganggu kapan saja, kekurangannya mereka cenderung subyektif dan malah memperkeruh suasana, clouded our judgements. Mungkin saja mereka bermaksud baik dengan membela kepentingan kita, tapi karena mereka tidak terlibat kadang-kadang saran-saran yang diajukan juga jadinya kurang tepat. Apa lagi diajukannya saat emosi kita sedang tidak stabil sehingga kita pun bisa terpengaruh untuk melakukan saran-saran yang kurang tepat. Jadi carilah 'pertolongan' pihak yang bisa bersikap obyektif dalam menyikapi masalah ini.
Istri yang menemukan foto-foto telanjang selingkuhan suaminya di inbox e-mail si suami, sengaja curhat kepada beberapa orang yang juga mengenal, bahkan teman dekat si cewek nekat telanjang itu tadi. Perspektif orang-orang tersebut dianggap lebih obyektif karena secara kemanusiaan mereka mungkin tidak tega dengan 'nasib malang' si istri ini namun karena si cewek telanjang mereka kenal secara personal bahkan ada juga yang kenal dekat maka mereka tidak memberikan nasehat yang bisa menyusahkan si cewek telanjang itu misalnya dengan tidak menyuruh si istri untuk mendatangi si cewek atau tidak memberikan ide untuk melaporkan foto-foto telanjang tersebut ke polisi misalnya.
Public sphere yang dimaksudkan di sini tidak hanya berupa ruang fisik tapi juga ruang sosial. Tetaplah mengunjungi tempat-tempat yang biasa didatangi dengan pasangan walaupun tempat-tempat tersebut telah 'ternoda' karena telah dipakai untuk menjadi tempat nge-date pasangan dengan selingkuhannya. Dengan mendatangi tempat-tempat tersebut kita melakukan reclaimed, mengklaim kembali, tempat tersebut dalam kehidupan kita, membebaskan kita dari keterbelengguan batasan fisik terhadap suatu tempat. Dengan melepaskan belenggu fisik, belenggu psikispun diharapkan lepas dan kita bebas.
Kembali lagi ke Bunga dari artikel Selingkuh Teks dia sengaja mendatangi tempat-tempat yang didatangi oleh suami dan selingkuhannya ketika nge-date karena kebetulan sebagian dari tempat-tempat tersebut adalah tempat favorit Bunga juga. Dia nggak mau hanya karena peristiwa ini kesenangannya terganggu, tidak bisa lagi mendatangi tempat-tempat tersebut. Rugi banget, kan. Ritual yang mereka jalani adalah suaminya harus mentraktir dia di tempat-tempat tersebut, duduk di tempat yang sama persis dengan ketika si suami dan selingkuhannya ke tempat tersebut, dan “membebaskan” tempat tersebut dari keterbelengguan fisik dan psikis dengan mengobrol lama, dan tertawa lepas berdua.
Ruang sosial sebenarnya mungkin bagi sebagian orang akan terasa lebih berat untuk dilepaskan keterbelengguannya dibanding ruang fisik. Ruang sosial mencakup pergaulan, pertemanan. Seharusnya kita tidak terhalang untuk tetap berteman dengan orang-orang yang lingkup pergaulannya dekat dengan si selingkuhan pasangan. Tapi selama kita memang pada dasarnya tidak terlalu perlu bersosialisasi, nggak apa-apa juga untuk tidak memaksakan diri berteman dengan mereka. Hal terpenting adalah tetap bisa membawa diri di hadapan mereka tanpa harus memerankan 'korban' setiap saat dan mengira mereka menertawakan di belakang kita. Walau misalnya itu memang betul, who cares? Nggak ada yang ngelarang orang untuk ketawa kan? Bukan urusan kita sama sekali. Free your mind, don’t sweat over such small stuff like that.
Ada contoh, satu istri setelah diselingkuhi suaminya jadi menjauh dengan teman-teman suaminya juga, nomor hp diganti, Twitter account dihapus, singkatnya semua orang dari masa lalunya dengan si suami tidak bisa menghubunginya lagi, termasuk anak tidak boleh bertemu dengan ayahnya lagi setelah proses perceraian mereka selesai. Tapi kalau dipikir-pikir hal tersebut kan menyusahkan diri sendiri, ya? Belum lagi si anak yang tidak bersalah harus menanggung kerugian terburuk dari sebuah perceraian: tidak bisa bertemu dengan orang tua, dalam hal ini ayahnya. Si istri yang satu ini terperangkap dalam ruang sosial bentukannya sendiri. Dia malah menjadi tidak bebas.
Setelah menyimak berbagai cerita soal perselingkuhan tadi, saya menjadi banyak berpikir soal penyelesaiannya dan kesimpulan yang bisa diambil dari penyelesaian-peyelesaian yang diambil oleh mereka pada masing-masing kasus. Rekonstruksi hubungan, membentuk hubungan menjadi sama persis seperti sebelum kejadian perselingkuhan rasanya kurang pas, bahkan bagi saya terasa mustahil, dibanding dengan dekonstruksi hubungan atau membentuk hubungan dengan tatanan baru dengan tetap mempergunakan serpihan elemen lama yang tersisa. Rekonstruksi hubungan adalah berusaha membangun/membentuk kembali hubungan yang hancur tepat persis sama seperti sebelumnya, mungkin akan terasa sia-sia belaka, sedangkan dekonstruksi hubungan lebih kepada memakai elemen-elemen yang ada, sisa yang hancur tadi, dan membentuk sesuatu yang baru dari elemen-elemen “sisa” tersebut, hal ini terasa lebih menjanjikan dan masuk akal. Bahkan jika seutuhnya memakai teori dekonstruksi Derrida yang diterapkan Bernard Tschumi pada Parc de la Villette di Paris, maka dekonstruksi akan menghasilkan bentuk yang bebas, lepas dari fungsi utama bangunan yang diembannya sebagai wadah sebuah/beberapa kegiatan.
Betul tetap terbentuk sebuah bangun yang estetik, tapi tidak berfungsi sebagai wadah kegiatan, betul tetap terbentuk sebuah hubungan yang sinergis, tapi tidak berfungsi sebagai suami-istri lagi.
Adapun bentuk dekonstruksi hubungan yang lebih 'ringan' adalah terbentuknya sebuah hubungan sinergis yang juga berfungsi sebagai suami-istri, namun komposisi, proporsi dan hirarki di dalamnya menjadi baru, terdekonstruksi karena “benturan” keras peristiwa perselingkuhan tersebut misalnya jika istri yang sebelumnya pasif menjadi lebih giat dan produktif, jemput bola dalam mengelola hubungannya dengan si suami. Suami yang tadinya dominan menjadi lebih pengertian dan mendengarkan kemauan dan kebutuhan si istri dan sebagainya. Masing-masing menjadi berusaha menjadi lebih baik demi dirinya sendiri, demi pasangannya, demi meningkatnya mutu hubungan dan keluarga mereka.
Perselingkuhan pada masa ini, masa yang dipenuhi perkembangan teknologi yang tak terbayangkan 20-30 tahun yang lalu terkait dengan kecepatan informasi berpindah dalam hitungan detik, sebaiknya tidak semata dilihat sebagai sebuah kehancuran atau berbagai hal negatif lainnya yang bermuara hanya di sebuah titik penyelesaian: perpisahan atau perceraian semata. Betul bahwa sebaiknya perselingkuhan adalah hal yang sebaiknya dihindari dalam kehidupan perkawinan/berpasangan, tapi jika sudah terlanjur terjadi, sikapi dengan benar dan hadapi secara proporsional. Think out of your (cultural) box and deconstruct it all.