Can I Afford to be a Stay-at-Home-Mother?

#MommiesWorkingIt

vanshe・18 Mar 2013

detail-thumb

Saat menjelang akhir tahun, seperti banyak orang, saya menyusun resolusi untuk dicapai di tahun yang baru. Daftar yang saya miliki tidak begitu panjang, tapi ada beberapa hal yang kerap tercantum pada daftar itu selama beberapa tahun belakangan. Salah satu resolusi yang berulang itu adalah untuk menjadi stay-at-home mother, atau disingkat SAHM.

 

Alasan saya terus bekerja setelah menjadi ibu, selain agar memiliki sarana aktualisasi diri, juga untuk meraih target-target finansial kami sebagai keluarga. Sebutlah target dana-dana yang sifatnya 'wajib' seperti dana pendidikan anak, dana pensiun, dan dana darurat, hingga target dana yang sifatnya 'tersier' seperti liburan atau nonton konser. Tentunya, dengan bekerja, saya memiliki privilege untuk berkontribusi pada target-target ini. Tapi, keinginan untuk menjadi SAHM terus-menerus menggedor dinding nurani saya, dan setelah 3 tahun menunggu, insya Allah tahun ini saya bisa mewujudkannya.

Hal pertama yang saya pikirkan sebelum resmi "banting setir" adalah mengukur kesiapan dari segi finansial. Seperti judul artikel ini, saya bertanya pada diri sendiri, "Can I afford to be a SAHM?"

"Kran" penghasilan yang tadinya mengucur dari dua titik, akan berkurang satu, dan basically, we will be living on single-income.

Penantian saya selama 3 tahun untuk mewujudkan resolusi sebagai SAHM, memberikan saya waktu untuk menyusun persiapan dari segi finansial maupun mental. Kali ini, saya ingin berbagi persiapan yang saya lakukan dari segi finansial (sisi mentalnya hopefully segera menyusul, hehe), semoga bisa memberikan insight pada Mommies yang memiliki resolusi serupa :)

Hal-hal yang saya lakukan untuk mengukur kesiapan dari segi finansial, di antaranya:

1. Mencatat budget bulanan.

Kegiatan ini sebenarnya sudah menjadi 'makanan' saya sejak mulai berumah-tangga. Tapi sekarang, pencatatan budget yang saya lakukan difokuskan untuk mencari pos pengeluaran mana saja yang bisa dikurangi, atau bila perlu, dihilangkan.

Dari sini, kita juga dapat mengetahui seberapa besar 'biaya' yang kita keluarkan jika terus bekerja, dan seberapa banyak yang bisa dihemat dengan menjadi SAHM.

Saya juga berusaha mengisi budget-tracking dengan sejujur mungkin. Karena sebelumnya, kegiatan budgeting ini seringkali manis di awal (bulan) saja. Begitu sampai pada tahap review di akhir bulan, saya tutup muka melihat realisasi pengeluaran :)) Kejujuran dalam mengisi budget-tracking ini diharapkan bisa menghasilkan gambaran cashflow keuangan keluarga dalam versi paling baru dan realistis.

2. Menyusun cashflow tahunan dan mereview kesehatan keuangan keluarga.

Selain menyusun cashflow bulanan, cashflow tahunan juga sangat penting untuk dilakukan untuk mendapat gambaran lengkap mengenai kondisi keuangan kita. Dari cashflow tahunan, kita dapat mengetahui seberapa besar dana yang bisa kita alokasikan untuk berinvestasi, setelah dikurangi pengeluaran yang sifatnya tahunan. Me-list down pengeluaran tahunan tidak sulit kok, karena sifatnya yang rutin, seperti pembayaran pajak, premi asuransi, belanja keperluan hari raya, dan lain-lain.

Sementara rasio kesehatan keuangan keluarga yang dapat dihitung di antaranya rasio likuiditas, hutang, dan investasi. Dari situ, akan didapatkan gambaran riil mengenai kondisi keuangan kita. Tentunya ada batasan seberapa besar angka yang harus dicapai agar kondisi kita tergolong “sehat.”

Saya sendiri mencoba menentukan batasan minimum rasio yang perlu dicapai untuk mengukur kesiapan dari segi finansial. Tapi saya tidak menjadikannya tolak ukur, melainkan hanya sebagaibooster motivasi. Karena urgency untuk “banting setir” menjadi SAHM tidak dapat dibandingkan lurus dengan ‘angka,’ dalam hal ini nominal uang yang kita miliki, ‘kan?

3. Mencari cara mendapatkan penghasilan tambahan.

Yang enak dari hal ini, dengan lepasnya status saya sebagai pekerja, seakan-akan saya mendapat privilege untuk melakukan hal yang saya sukai. Melakukan hal yang kita sukai saja sudah menjadi obat jiwa, tentunyamendapatkan penghasilan tambahan dari hal itu menjadi 'bonus' yang sangat menyenangkan.

4. Melakukan 'trial' hidup dengan satu income beberapa bulan sebelum “banting setir”.

Selain untuk membiasakan diri supaya tidak terlalu 'kaget' nantinya, hal ini juga membantu kami menyusun prioritas pengeluaran. Misalnya dengan berusaha memenuhi dana darurat, meski belum bisa memenuhi pos ini seluruhnya, paling tidak mengurangi nominal kewajiban.

Melalui 'trial' ini, saya menyadari bahwa dengan mengurangi pengeluaran, we can contribute by saving money. Misalnya dengan mengurangi cicilan bulanan, atau dengan cara sederhana, seperti berkebun sayur-mayur (bagi yang hobi), membuat sendiri mainan anak, memanfaatkan promo kartu kredit, dan banyak lagi.

5. Saya pernah membaca pengalaman seorang ibu yang "banting setir" menjadi SAHM, bahwa sebelum resign, dia membuat rekening persiapan. Rekening itu bertujuan membiayai kebutuhan yang sifatnya personal atau 'tersier.' Saya meniru cara ini, dengan menyisihkan dana untuk mengisi rumah. Mommies lain mungkin ada yang ingin menyisihkan untuk ikut seminar parenting, dana bangun rumah, traveling, dan lain sebagainya.

Sekarang giliran para Mommies yang ingin "banting setir" seperti saya untuk menjawab, can you afford to be a SAHM? And what are your preparations? :D