Sorry, we couldn't find any article matching ''
Tradisi Satu kunci
“Sudah sampai depan, nih," suara suami saya di telepon. Saya lirik jam di handphone, menunjukkan pukul 11 malam. Berusaha membuka mata, saya membukakan pintu untuk suami yang baru saja pulang. Setelah ia sampai, saya tak langsung tidur, tapi menemaninya makan atau nonton TV sambil ngobrol ngalur ngidul. Satu atau dua jam setelahnya saya baru tidur lagi, lalu pukul 6 pagi bangun untuk menyiapkan Langit ke sekolah.
Saya tahu, ada beberapa teman yang masing-masing pasangan memegang kunci rumah, untuk mempermudah aktivitas dan tidak bergantung satu sama lain. Tapi bagi saya dan suami, memiliki satu kunci untuk rumah kami, justru menjadi sangat berarti.
Kenapa?
Suami saya bukan pekerja kantoran yang pergi pagi dan malam sampai rumah. Ia bisa saja dini hari baru tiba di rumah, atau bahkan sebulan, dua bulan tidak berada di rumah karena pekerjaan. Frekuensi pertemuan kami pun bisa jadi minim di saat-saat seperti itu. Jika tidak diakali, komunikasi kami bisa-bisa macet.
Lalu, apa hubungannya dengan kunci yang hanya satu?
Saya teringat cerita seorang teman, ia mengatakan ingin sekali punya anak lagi. Lalu ketika saya bilang, “Why not?” Ia mengeluhkan suaminya yang sampai rumah ketika ia sudah tidur dan masih tidur ketika ia sudah harus berangkat kerja. “Kapan bikin anaknya, coba?”
Saya tak mau seperti itu. Kok, rasanya rumah hanya jadi tempat singgah saja. Kami beli rumah sesuai keinginan berdua, mengaturnya senyaman mungkin supaya semua anggota keluarga betah, masa kemudian hanya dijadikan tempat mandi, tidur, dan ganti baju?
Selain itu, bukan karena masalah ‘kapan bikin anaknya’, ya. Tapi lebih kepada, kapan ngobrolnya? Ya, zaman semakin canggih, saya minta belikan bubur ayam kesukaan saja hanya tinggal BBM suami. Tapi komunikasi dan intensitas pertemuanlah yang saya maksud.
Ketika bertemu langsung, saya bisa melihat ekspresi wajahnya kalau saya menceritakan tentang Langit, anak kami. Atau membaca air mukanya saat ia mengeluhkan sesuatu, berdiskusi politik, musik, bahkan sama-sama browsing aneka hal tertentu. Hal yang tak bisa saya dapatkan dari membaca teks di BBM.
Jika suami memegang kunci rumah sendiri, maka saya akan terus tertidur saat ia tiba di rumah. Ia tak harus menelepon untuk membangunkan saya minta dibukakan pintu rumah, kan? Ya, mungkin hal ini sepele, but it’s a big thing for both of us.
Memang ada akibatnya, sih, bagi saya dan suami. Saya jadi kurang tidur, sementara suami yang capek sampai rumah langsung disambut ocehan saya, haha. But I think it’s worth it.
Ide memiliki satu kunci dalam rumah ini sebenarnya tak disengaja. Sejak kami pindah ke rumah sendiri, kira-kira 4,5 tahun yang lalu, kami memang belum punya kunci duplikat, jadi mau nggak mau saya harus ‘jagain’ pintu sembari nunggu suami pulang. Setelah dijalani, kami me-review-nya dan baru sadar bahwa memiliki satu kunci ini adalah salah satu kunci komunikasi kami. Yah, sesekali saja suami bawa duplikat kunci rumah jika ia sudah tahu akan pulang telat sekali. Tapi selain itu, telepon saya pasti akan tetap berbunyi, jam berapa pun.
Bagaimana dengan Mommies?
Share Article
COMMENTS