6 Country, 6 Years, 3 Toddlers

Parenting & Kids

Leija・11 Feb 2013

detail-thumb

People say, having a family is an adventure. But for the Thorpe-Willet family, the adventure must be an incredible one! Bayangkan, keluarga yang terdiri dari ayah, ibu, dan tiga gadis kecil ini tidak hanya dwi ras, tetapi juga telah merasakan tinggal di 6 negara dalam 6 tahun!

Saya kenal Fina Khairaty Thorpe-Willet sejak tiga tahun lalu. Saat itu, anaknya "baru" dua, dan keluarganya "baru" tinggal di dua negara. Tiga tahun kemudian, krucil mereka bertambah satu, dan kota yang telah mereka jajaki semakin banyak. Saya sungguh terkesima, sampai membatin, "One day, I'll have to do their story," dan akhirnya sekarang kesampaian.

Jadi mari kita ngobrol dengan Fina Khairaty Thorpe-Willet (33), istri dari Dave Thorpe-Willet, pria berkebangsaan Inggris, sekaligus ibu dari Jasmine (6,5), Erina (4), dan Davienne (hampir 3). Di tengah "kerusuhan" mereka settling down di Geoje, Korea Selatan, Fina menyempatkan diri untuk sharing dengan Mommies sekalian mengenai keluarga nomadennya.

Sebelum menikah, apakah Fina dan Dave memang sudah berencana hidup 'nomaden'? Atau apakah ini adalah hal yang datang tak terduga?

Weits … sangat tidak terduga! Salah satu alasan saya menerima pinangan suami adalah karena dia bersedia hijrah ke Jakarta, memulai dari awal dengan saya. Sebab, di beberapa pasangan yang saya kenal, si istri yang ikut ke negara asal suami. Lucunya, saya malah nggak pengen. Mungkin karena dari lahir sampai menikah, saya selalu di Jakarta, hanya keluar kota untuk traveling singkat.

Kalau diingat-ingat, saya memang agak tertipu, hihihi.

Mulai 'nomaden' sejak tahun berapa, dan ke kota mana saja?

Awalnya kami tinggal di Jakarta. Tak lama setelah menikah, ada masalah di tempat kerja Dave, yang bekerja di bidang oil & gas. Setelah rembukan dengan saya, akhirnya kami sepakat pindah ke Balikpapan tahun 2006. Suami berangkat duluan, cuma bawa koper baju. Saya lagi hamil 7 bulan, tuh. Jadi pengalaman saya pindahan pertama kali benar-benar heboh, all out.

Tahun 2008 kami balik ke Jakarta, tahun 2009 ke Bangkok – Thailand, tahun 2010 ke Perth – Australia, tahun 2011 ke London – Inggris, tahun 2012 ke Kuala Lumpur – Malaysia, meski hanya sebentar, lalu pada Oktober 2012 kami pindah ke ke sini, Geoje di Korea Selatan, hingga sekarang. Semoga, sih, belum akan pindah lagi, ya, hahaha .…

Dari awal pernikahan, kami memang sudah berkomitmen untuk ‘say no to Long Distance Marriage’. Nggak ada cerita suami ikutan rotasi dan saya mendekam di satu tempat. Jadilah kami boyongan dan selalu mencari perusahaan yang menerima Dave sebagai satu paket dengan saya dan anak-anak. Kebetulan bapak dan ibu saya juga begitu, walaupun berarti karir Bapak mandeg. Bagi kami, keutuhan keluarga yang utama. Uang bisa dicari, itu kata mereka.

How do you keep yourself sane, and how do you maintain your energy?

I keep myself sane by keeping myself busy doing anything that I like and maintaining good relationship with everyone. Jadi, kesibukan saya bukan hanya melaksanakan kewajiban—misalnya ngurus anak dan rumah tangga—tetapi juga sibuk melakukan kesenangan pribadi. Kemudian, semua anggota keluarga dilibatkan untuk urusan bersama. Anak-anak juga diajak untuk tertib dan mandiri. Jadi saya nggak perlu sakit kepala karena hal-hal sepele.

Tidak menjadi perfeksionis juga membantu. Saat transisi pindahan, saya juga nggak mau kaku dengan standar pribadi. Misalnya, kalau anak-anak bangun kesiangan, ya sudah, berangkat sekolah cuma cuci muka, nggak sisiran, lalu sarapan susu plus pisang. Nggak apa-apalah, toh, nggak setiap hari. Belum ketemu beras? Ya sudah, makan roti aja. Atau saat anak terlambat toilet training dan bicara, nggak usah panik-panik amatlah, yang penting sehat.

Apabila rumah berantakan dan saya nggak sempet masak, suami juga maklum. Dia bahkan akan masakin kami dan bantu beberes, hehehe.

Another thing that keeps me sane is balancingmenyeimbangkan peran sebagai ibu, istri, teman, anak, adik, dan sebagainya. Nggak kebayang kalau saya monoton hanya menjadi ibu dan istri!

Rajin Facebook-an juga sangat membantu, walau sekedar untuk ketawa-ketawa komenin status serta stay in touch dengan teman dan keluarga. Apalagi di Facebook juga ada komunitas warga Indonesia di perantauan, yang membantu saya untuk menyiapkan dan membekali diri dengan info-info selama di negara asing. Ini juga menimbulkan rasa senasib.

Saya juga rajin telponan sama Mama setiap minggu, serta berbalas email dengan para kakak, sehingga saya selalu updated dengan apa-apa yang sedang terjadi. Lumayan untuk mendistraksi rasa down di saat toilet training anak gagal, misalnya…

Soal energi, sepertinya ia datang dengan sendirinya. Soalnya, saya ini nggak rajin olahraga, pola makan buruk dan nggak langganan vitamin. Jadi, entah, deh. Setting-an badan saya sudah begini, ‘kali. Mengikuti alarm tubuh aja. Kalau badan minta istirahat, ya, istirahat. Saya ini termasuk 'kebo' dalam hal tidur, dan bisa tidur di mana saja. Alhamdulillah, saya jarang sakit. Kalaupun sakit juga sebentar.

Apa dampak hidup 'nomaden' ini terhadap anak-anak, baik positif maupun negatifnya?

Positifnya, karakter anak menjadi mudah beradaptasi, toleran dan fleksibel. Sejak hari pertama sekolah di tempat baru, guru-guru sudah memberi feedback bahwa Jasmine dan Erina bisa langsung blending dengan anak-anak lain. They adapt effortlessly.

Davienne juga begitu. Ketika saya bertemu teman baru yang helpful, dia nggak rewel kalau saya tinggalkan sebentar di rumah si teman.

Anak-anak belajar untuk bisa mencari zona nyamannya sendiri dan nggak nyusahin ortu alias kooperatif. Semoga suatu hari mereka bisa sadar betapa beruntungnya mereka mendapat kesempatan membuka hati dan melihat dunia sejak sangat dini.

Negatifnya, mereka galau setiap ditanya rumahnya di mana atau dari mana, hehehe. Kalau lagi memperkenalkan diri di sekolah baru, ‘kan ada pertanyaan “Where you come from”. Mungkin bingung, ya, mau nyebut rumahnya yang mana.

Walaupun dari awal sudah dibiasakan untuk ngaku dari Indonesia dan Australia—berhubung anak-anak punya dua paspor itu—tetap saja Jasmine gagu dengan pertanyaan tersebut. Jadinya jawabannya panjang, misal, “Mama saya dari Indonesia dan papa saya dari Australia, tapi saya datang ke sini dari Malaysia.”

Dampak buruknya lagi, anak-anak jadi susah menguasai satu keahlian yang perlu fokus atau rencana jangka panjang. Akibat hidup nomaden, selain sekolah pindah-pindah, aneka les juga harus berhenti, toh? Jadi, mana mungkin mereka menguasai skill yang butuh komitmen semacam balet, tap dancing, piano, berenang, senam, dan sebagainya? Tiap pindahan, ada jeda buat saya mencari tempat les tersebut, untuk melanjutkan les di kota sebelumnya. Tapi kalau ketemu pun, belum tentu metodenya sama. Bisa jadi mulai dari awal, atau anak-anak malah terdistraksi dengan minat baru. Rata-rata kursus-kursus itu berlangsung hanya 3-4 bulan saja.

What are the best things about moving around so much?

We got a chance to see the world and become a better person by observing and learning from so many different people. Ini sesuatu yang mahal sekali, yang nggak mungkin kami bayar dengan uang sendiri. Better ini bukan berarti kami jadi orang yang paling baik di dunia, namun kami jadi berkembang. Berevolusi, kali, ya? Contohnya, kalau membandingkan pribadi saya dan Dave sekarang dengan pribadi kami lima tahun lalu, misalnya, hari ini kami merasa lebih sabar, lebih mudah ikhlas dan lebih tenang menghadapi aneka permasalahan.

The worst?

No place we can call home now, hahaha. Sedih, lho, berasa kayak layangan putus—mengikuti  kemana angin bertiup saja. Misalnya, nih, berhubung saya cinta mati sama Jakarta, bukan berarti Jakarta itu rumah kami. Karena persepsi saya, Dave dan anak-anak tentang Jakarta, kan, berbeda. Jakarta mungkin saja kampung halaman saya, namun untuk dijadikan ‘rumah’ buat keluarga ini, masih butuh proses. Konsep rumah (home) kami berubah menjadi ‘home is wherever we are together’.

Apakah anak-anak belajar bahasa negara setempat? Sempat mengalami kebingungan bahasa nggak?

Belajar, tapi nggak selalu nyangkut. Mungkin jadinya mereka bisa pasif—terbiasa dengar dan mengerti—tapi nggak aktif. Tidak bisa berbicara dengan bahasa tersebut. Eh, kecuali Jasmine, ya, yang sampai hari ini masih ingat berhitung dengan bahasa Thai atau mulai mengucapkan beberapa kosa kata Korea.

Kasus bingung bahasa itu kejadian banget, tapi ini karena saya nggak konsisten berbahasa ke mereka. Untungnya, di mana pun kami tinggal, selalu ada komunitas berbahasa Inggris, jadi anak-anak nggak kaget-kaget amat.

Apa masing-masing peran Dave, Fina dan anak-anak saat pindahan? Bagaimana pembagian tugasnya agar saling membantu?

Sebelum pindahan, saya dan Dave riset kecil-kecilan melalui Internet, mengenai kondisi dan kehidupan di kota baru nanti. Kalau perlu di-print, dibaca berulang-ulang, dan beberapa hal di-share ke anak-anak, untuk menyiapkan mental mereka juga

Lalu, secara umum, Dave bagian urus aneka dokumen. Apa pun yang berhubungan dengan paperworks dan perlu tanda tangan, itu bagian dia. Ia juga yang inventaris barang-barang bulky dan pre-pack barang-barang pribadinya. Biasanya dia juga akan survei duluan ke kota calon tempat tinggal kami. Dave biasanya terbang duluan ke sana dan lihat calon sekolah, calon rumah, dan sebagainya.

Anak-anak diminta untuk memilah mainan dan pakaian—mana yang sudah habis ‘masa kontraknya’ (akan disumbangkan/dibuang kalau sudah nggak layak), mana yang ikut movers (dan berarti baru akan ketemu lagi setelah dua bulan), dan mana yang ikut terbang bareng, ikut naik pesawat. Setelah mereka pilah, saya akan inspeksi lagi. Ini sebenarnya supaya mereka ikut merasakan proses pindahan saja. Hasil pemilahannya, sih, nggak bisa terlalu diarepin, hehehe.

Saya mengerjakan semua sisanya, misalnya, memutus ‘kehidupan’ di kota yang akan kami tinggalkan, seperti memutus langganan TV/internet/telp/dsb, sekolah/aneka kursus, termasuk bikin farewell sederhana dengan teman dekat.

Lalu saya juga mengurus packing, de-cluttering seisi rumah, pre-pack barang—karena packing besarnya selalu pake jasa movers—hingga jadi mandor untuk packing di hari H.

Di kota tujuan, ketika barang dateng, lagi-lagi saya menjadi mandor untuk boks-boks yang dateng, untuk kemudian di-unpack rame-rame. Anak-anak doyan unpack, karena serasa nerima kado. They always wonder what kind of surprise inside the boxes!

Bagaimana cara Fina dan Dave menyiapkan fisik dan mental anak-anak setiap mau pindahan?

Dari jauh-jauh hari, mereka sudah dikasih tahu bahwa kami akan pindah ke kota X di negara Y. Lalu kami selalu ‘mendongeng’ tentang tempat baru itu setiap ada kesempatan. Contoh, saat lagi nonton TV dan ada tayangan Pororo, saya ngoceh, deh, “Pororo dari Korea, lho. Nanti kita akan pindah ke sana. Kira-kira kita bisa ketemu Pororo-nya nggak, ya?” Atau saat di koran ada foto Big Ben, saya panggil si Jasmine, lalu bilang, “Lihat, nih, ada jam di London namanya Big Ben. Katanya jam ini besar banget. Nanti kita lihat sama-sama ya .…”

Kami selalu buat suasana pindahan menjadi senang dan bikin anak-anak penasaran. And easily, they always count the days of our departure.

Punya rencana menetap di suatu kota for good / untuk jangka waktu panjang?

Tentu saja. We need it for the sake of the children and our sanity, hehehe. Tapi belum tahu kapan dan kemana.

Otomatis, Fina pasti jago dalam hal traveling with kids. Boleh minta kiat-kiatnya?

Waaah … bisa satu artikel sendiri, nih. Hahaha. Intinya:

Pack Carefully. Sebagai emak-emak, dulu saya cenderung bawa semua barang, dengan alasan jaga-jaga takut butuh. Tapi ternyata, kalau kita sudah terlebih dahulu mempelajari kota tujuan dan bentuk perjalanannya, kita bisa kok, ngepak dengan efisien. Tentunya dengan mempertimbangkan kondisi si anak. Jangan berlebihan bawa tas kabin, karena akan menyusahkan di jalan.

Sekedar bayangan, dengan tiga balita, bawaan kabin saya hanya berupa tas selempang kecil—cukup untuk barang pribadi saya dan paspor—plus satu ransel ukuran sedang. Di dalam ransel tersebut ada satu shopping bag lipat untuk jaga-jaga. Terbukti, shopping bag ini terpakai untuk mungutin aneka barang ceceran anak yang sayang dibuang selama perjalanan. Dengan bawaan seperti ini, saya masih sanggup membawa tiga anak sendirian. Si sulung jalan kaki, si tengah naik stroller, si bungsu saya gendong kangguru.

Pastikan ada obat pribadi, cemilan dan hiburan favorit anak di dalam tas kabin.

Select Flight Carefully Also. Sebisanya, pilih jadwal penerbangan di siang hari, dengan rute yang paling direct atau transitnya paling singkat tapi masuk akal. Sukur-sukur dapet business class, hahaha.

Terbang malam cukup bikin capai anak karena mereka terputus-putus bangun-tidur-bangun-tidur dengan durasi pendek-pendek. Maka efek jetlag-nya lebih lama. Ujung-ujungnya, kita juga yang capek.

Bagaimana cara Fina mengurus suami, tiga anak, serta rumah tanpa helpers, tapi tetap bisa mengerjakan proyek-proyek sampingan? Describe your typical day!

Saya bangun pukul 05.00, beberes rumah ala kadarnya. Masuk dapur, siapin sarapan dan bekel sekolah. Bangunkan anak-anak.

Pukul 08.00, antar anak-anak sekolah. Lalu pukul 12.00, makan siang. Bisa di rumah ala kadarnya, keluar bareng si bungsu, atau janjian sama suami, biasanya saya nyamperin ke kantornya. Kalau sudah keluar, nggak pulang lagi sampai jam pulang sekolah anak-anak.

Nah,pukul 13.00 – 15.00, sambil menunggu anak-anak pulang sekolah, jalan-jalan aja sama si bungsu. Kalau ada urusan, ya, diurus saat ini—ke bank, ke pasar, janji ngopi sama ibu-ibu lain, atau sekedar cuci mata di toko-toko terdekat.

Setelah jemput anak-anak sekolah, kalau nggak ada kerjaan penting, ajak anak-anak main ke taman, playdate, perpustakaan—pas di London, kalau nggak dingin, kami bisa main ke museum atau taman bermain yang tersebar dimana-mana. Kalau saya ada deadline atau kerjaan rumah numpuk, ya, langsung pulang.

Pukul 20.00, mulai ritual tidur. Targetnya,pukul 21.00 semua anak sudah tidur, atau minimal sudah di kasur masing-masing dan nggak mengganggu ortu.

Dua kali seminggu saya nyetrika. Setiap weekend, satu hari dipakai untuk quality time bersama-sama, satu hari lagi dipakai masing-masing untuk ‘isi batre’ alias tidur sepuasnya, atau me-time tanpa anak.

Kalau ada agenda menjamu brunch di rumah, malam-malam saya cicil masak, sementara jam kerja dipindah ke sore. Begitu juga kalau ada pesenan masakan, sudah saya cicil dari weekend.

Kalau diajak teman keluar malam, saya ketemuannya setelah waktu makan malam, ketika anak-anak sudah pakai piama dan bisa diserahkan ke bapaknya. Hal ini membuat saya bisa sering gaul malam hari, bersama teman-teman saya yang single atau belum punya anak. Hal ini saya anggap sebagai keuntungan, karena hidup saya jadi seimbang, bisa juga bergaul sama teman-teman yang single. Biar pun saya tentunya sayang anak, ada masa-masa di mana saya ingin berinteraksi tanpa urusan anak. Eh, tapi saya nggak bakat dugem, lho. Bisa sakit kepala! Buat saya, keluar malam berarti wisata kuliner, nonton (film/konser), atau karaoke-an.

Fina sempat menyebut bahwa sekarang sedang menjalankan usaha rendang bersama keluarga. Boleh cerita detailnya?

Latar belakang pendirian Rendang Warisan adalah kekecewaan saya dengan hidangan rendang di berbagai restoran Padang/Malay di aneka kota/negara. Sebagai orang Minang, menurut saya, yang dilakukan para restoran itu penipuan. Jangan sebut rendang kalau yang dihidangkan itu cuma kari daging!

Belum lagi, rendang belakangan lebih gencar dipromosikan oleh Malaysia. Nggak terlalu pengaruh kalau rendang masuk di Best Food List CNN sebagai makanan dari Indonesia, nomor satu pula, karena pada kenyataannya, rendang PASTI ada di restoran Malaysia.

FYI, ya, di London, restoran Malaysia lokasinya mentereng banget di Trafalgar Square. Sementara restoran Indonesia? Nyempil-nyempil saja. Kemudian, di Goodfood and Wine Show di Australia (festival dan roadshow kuliner bergengsi), stand Malaysia nongol segede-gede gaban di tengah-tengah, pake live kitchen, free cooking class, plus bagi-bagi makanan gratis yang katanya 'signature dish of the country' berupa rendang! Di berbagai program kuliner di TV kabel pun, pasti ada segmen masakan Malaysia. Indonesia mana?

Saya semakin geretan, karena psikologisnya, kalau ada orang yang pertama kali makan rendang mencoba rendang yang ‘begitu’, maka selamanya ia akan percaya bahwa rendang itu rasa seharusnya ya ‘begitu’.

Saya sendiri bukan maniak rendang, tapi memang suka banget rendang buatan ibu saya. Waktu di Perth, saat Mama berkunjung, beliau sempat mengajarkan temen-teman Australian cara masak rendang. Komen mereka positif sekali, bahkan katanya lebih enak dari redang di festival kuliner nusantara di Perth, buatan chef Indonesia ternama. Jadi rupanya, rendang Mama juga cocok dengan lidah orang bule. Saya akuin, selera orang sangat beragam, tapi setidaknya saya jadi yakin, rasa masakan Mama memang enak, bukan pandangan subyektif saya saja, hehehe.

Tahun 2012, saya menawarkan Mama untuk terima order rendang. Beliau setuju. Maka lalu saya beri modal, juga lakukan riset plus promosikan online. Manager lapangan di Jakarta dipegang uni saya. Alhamdulillah, Lebaran kemaren omsetnya 3x target dan sudah BEP dalam waktu 4 bulan. Selengkapnya, bisa liat di www.rendangwarisan.com, yaaa .…

Oke! Kembali ke soal hidup nomaden, gimana dengan Geoje, Korea Selatan, sejauh ini? Betah, nggak?

Betah banget! Bukan karena sekarang lagi demam Korea, ya, hahaha. Sejak baru mendarat, saya sudah dapet hawa positif dengan tempat ini. Saya ketimpa rejeki karena ketemu orang-orang yang baik dan ramah. Apalagi Koreans love children and are hardworker, cepat tanggap, dan jujur. Bahasa memang sempat jadi kendala, tapi sejauh ini selalu dimudahkan. Superaman pula. There’s not much to complain, lah!

---

Buat saya, kisah Fina ini sungguh inspiring banget. Apalagi sebagai ibu baru yang masih adapatasi, saya masih merasa susah mau ngapa-ngapain, karena masih terikat dengan bayi saya. Namun dengan menyimak kisah Fina, saya yakin, keliling dunia bersama satu, dua, bahkan tiga anak bukanlah hal yang mustahil! Bisa minta amin?