Tidak terasa sudah hampir 5 tahun melakoni peran sebagai single parent. Dulu waktu memutuskan untuk tidak menikah, sepertinya nggak terbayang saya bakalan sanggup membesarkan Kaia sampai hari ini. Ternyata, waktu cepat sekali berlalu, ya.
Sebagai single parent, saya hanya bisa mengajari Kaia berdasarkan dari cara mengajar orangtua saya. Saya termasuk ibu yang jarang browsing tentang parenting, bukannya sok tahu, lho, tapi karena apa yang saya lihat dari keluarga besar saya, rasanya cukup untuk diambil mana yang baik dan diterapkan ke Kaia. Lagipula, setiap keluarga pasti punya pola pengasuhan yang berbeda-beda, kan :)
Saya yakin setiap keluarga pasti punya kata kunci yang menggambarkan parenting style-nya, nah, kalau saya, demokrasi. Maklum kami keluarga tentara, jadinya waktu saya kecil “demokrasi” itu seperti barang langka, hehe. Sebetulnya, sih, saya ingin mengajarkan ke Kaia bahwa walaupun dia masih kecil, pendapat dia itu berharga. Makanya, apa pun yang melibatkan dia, selalu saya tanyakan, misalnya mau makan pagi/siang/malam apa, mau pakai baju yang mana sampai pemilihan sekolah. Selain menerapkan demokrasi di rumah, sejak dia sudah mulai bisa bicara, saya juga selalu mengajarkan dia untuk bertanya tentang apa pun yang dia temukan di sekelilingnya, maklum, ibunya dulu kuliah jurusan filsafat, yang selalu diajarkan untuk memertanyakan apa pun :D Alhasil, Kaia adalah tipe anak yang suka sekali bertanya dan berani berpendapat.
Menurut saya pribadi, bertanya adalah hal yang paling penting dalam proses pembelajaran seorang anak. Dengan banyak bertanya, Kaia menjadi sangat peka dengan lingkungan sekitarnya. Contoh waktu belum sekolah, Kaia senang sekali menyiram tanaman di pagi hari. Biasanya sambil nyiram dia tanya ini itu, seperti; “Ma, kenapa daun warnanya hijau?”, “Ma, kenapa air jatuhnya ke bawah?”, “Kenapa tanaman cuma bisa tumbuh di tanah?”, dan banyak lagi. Bahkan di usia 3 tahun, Kaia sudah bertanya tentang Tuhan, “Ma, Tuhan, kan, nggak bisa dilihat, aku tahunya dari mana, dong, kalau Tuhan itu ada dan baik?” Untungnya, hal ini pernah saya pelajari pas kuliah, jadinya nggak bengong pas ditanya begini, hihi.
Konsep banyak bertanya ini juga saya terapkan pada saat menonton TV. Kaia sekarang lebih memilih menonton Discovery Channel, Animal Planet dan National Geographic karena kata Kaia, “Nonton TV itu, kan, bisa buat belajar juga, Ma. Aku nonton kartun nggak belajar apa-apa, lho. Mama mau aku tambah pintar ,kan?” Karena banyak sekali hal-hal yang belum pernah dilihat oleh Kaia di kehidupan sehari-hari ada di channel tersebut, akhirnya sesi menonton jadi sesi tanya jawab dan diskusi intens *cieleh* yang malah jadi pemicu saya untuk belajar lebih banyak lagi. Kan, aneh kalau tiba-tiba si anak tanya, “Ma, Hukum Kepler itu kayak apa?” dan ibunya harus sibuk googling dulu sebelum menjawab *pengalaman* :D
Memang, sih, harus diakui, terkadang kalau lagi nggak mood, malas rasanya ditanya-tanya Kaia. Rasanya gemas, gitu, hahaha. Tapi saya selalu mengingatkan diri sendiri, kalau saya malas jawab, itu akan membunuh curiousity Kaia. Sayang sekali, kan, padahal ini adalah masa emasnya Kaia. Oh, belum lagi pada saat saya menerapkan aturan baru, si Kaia pasti akan tanya kenapa dan buat apa. Biasanya saya menyiasati dengan penjelasan lengkap. Misal, melarang makan permen lolipop, saya jelaskan dulu ke Kaia alasan kenapa tidak boleh makan lolipop terlalu sering. Selama penjelasannya masuk akal dan ditambah materi pendukung seperti foto-foto gigi anak-anak yang keropos, Kaia akan langsung mengerti dan menuruti.
Mempunyai anak yang kritis memang tidak mudah, salah-salah bisa dicap “sotoy” sama lingkungan sekitar. Tapi selama kita sebagai orangtua mendukung kekritisan anak, dengan menjawab pertanyaan-pertanyaannya sejelas mungkin, justru akan membuat anak semakin cerdas dan peka terhadap lingkungannya. Walaupun banyak orang tua lain yang merasa apa yang saya terapkan ini aneh dan melenceng, saya cukup bangga, kok, dengan kemampuan Kaia yang belum menginjak umur 5 tahun tapi sudah bisa menjelaskan apa itu gravitasi :D