“Aduuh ... Ita, mah, lagi kecil cengengnya minta ampun!”
Begitu komentar yang sudah sangat saya hafal. Sejak anak-anak sampai sekarang punya anak, kalimat itu sangat nempel di otak saya. Kemudian, seiring waktu, alam bawah sadar saya seperti menolak ‘label’ tersebut. Saya mulai jarang menangis, terutama untuk masalah saya sendiri. Seberat apa pun masalahnya, saya tahan untuk tidak menangis. Emosi saya seperti datar kalau sedang punya masalah.
Penyalurannya? Saya sering menangis saat mendengar cerita orang lain, membaca buku atau menonton film.
25 April 2008
“Wah, dari suaranya Mama udah tahu, deh, yang nangis itu pasti anak kamu”
Mama saya mengatakan hal tersebut setelah saya melahirkan Langit. Suara tangis Langit memang cukup (jika tidak mau dibilang sangat) kencang, untuk ukuran anak yang baru lahir beberapa menit. Dan semua keluarga dan kerabat yang tahu betapa cengengnya saya waktu kecil, pun mengamini pernyataan tersebut.
Entah karena sugesti atau apa, Langit memang lebih sering menangis dibandingkan anak lain. Bayangkan, ibu baru, yang masih gagap lalu mendengar cap tersebut. Kalau Langit menangis, saya langsung membatin, “Duh, cengeng amat, sih”. Saya pun sering iri kalau melihat bayi lain yang bisa anteng tidur atau main sendiri.
Alhamdulillah, hal ini nggak berlangsung lama. Setelah beberapa kali trial and error terhadap metode pengasuhan tertentu (karena ikut-ikut), saya kemudian menemukan pola sendiri. Hal ini tentunya nggak lepas dari hasil sharing dengan teman-teman di forum femaledaily yang suportif untuk urusan pengasuhan anak. Rileks dan happy. Itu kuncinya. Saya menyadari, parenting should be fun :)
Kalau dipikir-pikir, ya juga, ya. 9 bulan saya membawa bayi ini kemana-mana dalam perut, menantikan saat-saat bertemu dengannya, masa hanya karena tangisan, bikin saya menginginkan ia jadi seperti anak lain?
Tentu saya ingin Langit menjadi dirinya sendiri. Dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Tugas saya sebagai orangtua hanya menjaganya sebaik mungkin, tidak terluka baik fisik apalagi jiwanya. Mendiamkan anak saat ia menangis, akan membuat ia merasa diabaikan. Saya pernah, lho, melakukan ini :( Membandingkan ia dengan anak lain, saya rasa Mommies semua pasti pernah mengalaminya, ya? Rasanya nggak enak, kan?
Kalau kata Ibu Elly Risman, “Anak itu titipan Allah, diberikan ke kita dalam kondisi dengan begitu sempurna, masa kita kembalikan ada cacatnya?” Hakjleb, banget!
Maka, saya pun semakin yakin untuk mengatakan pada Langit bait sebuah lagu yang sering saya dan suami nyanyikan bersama:
“Cepatlah besar matahariku, menangis yang keras janganlah ragu, tinjulah congkaknya dunia, buah hatiku. Doa kami di nadimu..”
Ibu sayang kamu, Langit ....
Walaupun kamu kekeuh maunya pakai piyama dengan rok tutu dengan bando di pertengahan dahi itu untuk kita jalan-jalan... :D