Tepat setelah dua tahun kebersamaan kami, Allah menitipkan amanat itu. Bahagia rasanya, tak terkira. Maunya sih tiap minggu ke dokter untuk lihat via USG, terus minta print. Sampai kepikiran, coba bisa beli alat USG sendiri. Hehehe. Makan jadi 3x sehari, lengkap. Walaupun pulang pergi kerja rute Jakarta – Tangerang dilalui dengan motor. Sampai cek terakhir di usia kandungan 10 minggu, sudah ada detak jantungnya. Bunyinya seperti air terjun. Lalu selang 2 minggu kemudian, begitu sampai kantor terlihat flek. Langsung sorenya kontrol lagi. Pas kontrol, karena males tunggu suami, jadi masuk sendiri ke ruang dokter, karena juga nggak sabar ingin liat USG lagi, ingin dengar suara air terjun lagi. Sampai dokter masih ketawa-ketawa, bilang kalau ada flek. Dokternya bilang, "Ibu nggak khawatir?" Saya cengengesan saja, sudah nggak sabar rebahan terus diolesi gel dingin itu. Begitu alatnya dijalani di perutku, dokternya berkerut. Cari cari cari … “Mana detak jantungnya nih?” DHERRR!!! Selanjutnya kelabu. Kata dokter, baby sudah tidak berkembang dari dua minggu yang lalu. Seleksi alam .…
Kami berusaha lagi. Dan Alhamdulillah, Allah kasih amanat lagi tepat 6 bulan berselang. Saya tetap bersemangat untuk USG, bersemangat untuk makan. Tapi tidak untuk mencintai. Sakit rasanya kalau harus kehilangan lagi. Jadi tidak ada cinta. Saya rawat dan jaga hanya sekedar kewajiban. Bahkan yang ajak main dan ngobrol malah suami saya. Main pake senter, ngobrol ngalor ngidul tiap malam. Yang saya lakukan hanyalah mencari ilmu melalui dunia maya. Ikut 5 milis: 2 milis majalah, 1 milis ASI, 1 milis MPASI, dan 1 milis kesehatan. Saya tidak merasa perlu ikut seminar ini itu, karena merasa ilmu dari dunia maya pun udah cukup. Banyak situs yang reliable, kok, sebagai referensi. Aku pun sibuk dgn mempersiapkan kelahiran. Dari baju sampai neck ring, dari botol kaca ASIP sampai cloth diaper.
Walaupun sudah ikhtiar untuk melahirkan normal, tapi tetap berakhir di atas meja operasi. Dan sampai detik terakhir di atas meja operasi, cinta itu tetap belum terasa. Alhamdulillah, pada 30 Maret 2010, Dahniar Talita Kamila lahir dengan selamat tidak kurang suatu apa pun. Tapi begitu mendengar tangisan pertamanya, tangisan yang melengking, nggak tahu kenapa air mata ini malah menetes. Waktu itu rasanya bodoh sekali, kenapa juga harus nangis. Dan pas IMD, nggak tau kenapa hati kok kaya hangat. Saya sudah jatuh cinta pada pandangan pertama.
Talita lahir putih, bersih, dan … tanpa rambut. Hahaha! Setelah belajar duduk, Talita dibawa oleh suster dari inkubator. Lalu kami belajar menyusu. Dan syukur Alhamdulillah, Talita menyusu dengan sangat pintar pada perlekatannya. Langsung mencokot, kenyut kenyut kenyut. Rasanya aneh, bahagia. Rasanya seperti digigit tapi nggak sakit, dibelai tapi gak geli. Kaya mengawang-awang rasanya. Mungkin kalo orang nge-drugs trus fly, rasanya ya begini ini deh kali ya. Hahaha!
Hari keempat pulang. Saya bertekad … Talita … Ma bebe. Saya yang buat, saya yang mau. Saya juga yang melahirkan dia. Maka saya pun yang harus urus dia, setidaknya sampai masa cuti ini habis. Tidak akan saya biarkan orang lain bertanggung jawab dalam pengurusannya. Keluar RS, saya yang gendong Talita. Dengan sakitnya jahitan, tidak saya rasakan. Di mobil, Talita saya pangku dengan bantuan bantal menyusui. Dan sampai rumah, saya letakkan dia di kasur. Walaupun di rumah ada mama dan ibu mertua tetapi saya berhasil memandikan Talita sendiri. Alhamdulillah, I managed to take care of my baby in her first day at home.