Janganlah banyak mengeluh ketika hamil. Sesungguhnya perjuangan menyusui jauh lebih sulit dan berat
Wuih gaya banget ya saya buat quote. Eh, tapi benar, lho. Hamil itu nikmat. Ketika hamil saya benar-benar dimanja. Hampir semua pekerjaan rumah tangga diambil alih si doi (suami – red). Saya tidak boleh mencuci sama sekali. Memang dasar saya ndableg. Kadang saya nekat mencuci. Dan begitu ketahuan, suami marah-marah dan langsung mengusir saya ke kamar. Ya elah, hamil kok disuruh tidur melulu. Bisa gembrot. Paling enak kalau pulang kerja bilang capek ke suami. Wuahhh … dia bergegas memijit dari kepala sampai kaki. Enak tenan.
Nah, kenyamanan ini langsung berbalik seratus delapan puluh derajat setelah melahirkan. Awalnya bahagia banget melihat bayi mungil yang selama sembilan bulan di perut, kini dalam dekapan saya. Namun beberapa jam setelahnya, perjuangan berat dimulai.
ASI Belum Keluar
Yup, ASI saya tidak langsung keluar begitu Aleisha lahir. Tapi sebelum melahirkan, saya sudah berburu informasi tentang ASI. Normal, kok, sampai tiga hari ASI belum keluar. Lagi pula bayi bisa bertahan tiga hari tanpa minum ASI. Saya pun tenang-tenang saja. Tapi tidak bagi Mama (dalam hal ini, mertua).
Saya melahirkan Maghrib. Sekitar pukul delapan, Aleisha menangis. Dan mama menganggapnya haus. Saya mencoba menjelaskan tidak apa-apa bayi belum minum sampai tiga hari. Tapi mama terus ribut. Ya, alasannya karena kasihan. Saat itu, suami sedang pulang ke rumah mengambil beberapa kebutuhan Aleisha yang tidak terbawa. Saya terpojok menghadapi rasa kasihan mama. Berhubung saya tidak mau memberikan sufor, mama meminta agar Aleisha diberikan air putih. Hiks … air putih lebih bahaya lagi. Sayangnya saya bingung mau bicara apalagi. Oke, baiklah air putih. Namun harus saya yang memberikan. Saya hanya mengoleskan sedikit di bibir Aleisha. Dalam hati berdoa, "Ayo, Nduk. Gumohin. Gumohin." Alhamdulillah… Aleisha langsung gumoh. Saya berharap Aleisha tidak menangis lagi karena saya ingin tidur. Di tengah tidur-tidur ayam, Aleisha menangis lagi. Mama memberikan air putih dengan sedotan yang dimasukkan ke air, lalu dimampatkan di salah satu ujungnya. Ya Allah, pasti lumayan banyak air putih yang masuk. Saya berteriak dalam hati, "Nduk, gumohin air putih barusan." Alhamdulillah… Aleisha gumoh banyak sekali. Saya pun langsung bangun dan tidak tidur. Saya harus menjaga Aleisha. Tidak boleh ada lagi air putih yang masuk walau setetes.
Sehari setelah melahirkan, saya pulang. ASI saya masih belum keluar. Malamnya Aleisha tidak bisa tidur. Ia terus menangis. Sampai hari kedua, ASI saya tidak juga keluar. Makin ributlah mama.
“Kasihan nangis terus.”
“Kasihan nanti bla bla bla.”
Saya tetap keukeuh tidak akan memberikan sufor atau air putih. Tidak berhasil membujuk saya, Mama mendekati suami. Alhamdulillah suami mendukung ASI 100%.
Mencarikan Ibu Susuan
Lama-lama saya tidak tahan dengan perkataan mama. Saya buka laptop dan searching donor ASI. Ya, saya putuskan mencari ibu susuan untuk Aleisha agar mama tenang. Alhamdulillah ... saya menemukan seorang bunda yang bersedia memberikan sedikit ASI-nya.
“Tapi malam ya, Mbak, ke rumahnya. Saya hari ini pulangnya lebih sore.”
What? Malam? Saat itu pukul satu siang dan Aleisha terus menangis. Ya, Allah bagaimana ini? Tiba-tiba saya ingat tetangga yang anaknya berusia satu tahun. Saya bergegas ke sebelah.
“Mbak Novi, tolong dong, susui Aleisha. ASI belum keluar. Saya nggak mau Aleisha dikasih air putih,” pinta saya dengan menahan air mata.
“Aduh, maaf Mbak Astri. Bukan enggak mau. Tapi puting saya lagi lecet parah.”
“Kalau diperah bisa, Mbak? Sedikit enggak apa-apa deh.”
Alhamdulillah … bisa diperah walaupun sedikit. Saya memberikannya kepada Aleisha dengan sendok. Mama minta menggunakan dot. Tapi saya menolak. Aleisha belum pintar menyusu. Kalau diberi dot nanti tidak mau menyusu sama bundanya.
Malamnya saya ke rumah Mbak Asri – mirip namanya – untuk mengambil ASIP donor. Bayangkan, hari kedua setelah melahirkan, saya dibonceng motor ke arah Babelan. Rumah saya dekat tol Bekasi Timur. Ibu-ibu lain mungkin masih berbaring di rumah sakit. Saya sudah naik motor. Nyeri? Banget. Luka jahitan yang masih basah nyut-nyutan. Untuk jalan pun masih sulit. Tapi demi Aleisha, saya harus kuat. Mbak Asri memberikan beberapa botol yang bisa saya gunakan sampai seminggu. Lagi-lagi saya menolak saat mama kembali meminta menggunakan dot. Ya, saya tahu memang repot pakai sendok. Tapi saya akan lebih sedih jika Aleisha tidak mau menyusu.
Inverted Nipple
Masalah lain yang saya hadapi adalah inverted nipple. Puting saya sukses mendelep. Walaupun sudah berbekal banyak informasi, tetap saja saya mati kutu di hadapan mama. Saat mama melihat puting saya, langsung men-judge, “Enggak ada pentilnya nih. Entar nggak bisa (me)nyusui.”
Bukan hanya mama, ibu saya pun langsung panik ketika saya cerita tidak punya puting. Nah, lho, ibu ke mana saja. Kok, baru tahu anaknya enggak punya puting *hihihi*.
Dan setiap jam, puting saya selalu jadi bahan pembicaraan ke tetangga dan saudara. Saya nyaris frustrasi. Apalagi saat Aleisha demam. Saya mengeluarkan dot yang didapat ketika membeli breast pump. Saya cuci dan steril. Waktu suami pulang kerja, dengan berurai air mata, saya bilang malam ini mau kasih ASI dari Mbak Asri pakai dot.
Alhamdulillah … suami keukeuh melarang saya. Malam itu, saya tetap memberikan ASIP Mbak Asri dengan sendok. Dan di hari kelima, Aleisha mau menyusu di payudara kiri dengan sempurna. Payudara kanan belum mau.
“Kalau enggak dikasih, entar tiga hari kering lho.”
Ya Allah. Andai saya bukan anak baik *tsah* rasanya saya ingin teriak dan membentak semua orang di rumah. Stop talking about my nipple!
Ternyata masih ada orang yang memberikan semangat untuk saya. Bude di Klaten.
“Nduk, biarpun enggak ada pentilnya, kasih terus, ya, ke anakmu. Nanti lama-lama bisa sendiri kok.”
Ah, coba Bude di sini. Sudah saya kecup, deh. Komentar seperti itu yang saya harapkan dari orangtua dan mertua. Sayangnya … hiks.
Saya terus menyodorkan payudara kanan. Aleisha masih saja menolak. Saya pun putus asa. Nipple shield menjadi pilihan saya. Saya googling nipple shield yang direkomendasikan. Pilihan saya jatuh pada merk Medela. Sebelum saya pasang, saya coba dulu menyodorkan payudara kanan ke Aleisha. Dan berhasil! Aleisha bisa menangkapnya. Walaupun saya harus menunggu menangis kejer dulu agar mulutnya terbuka lebar. Saya pun memandang merana nipple shield di hadapan saya. Ya, rugi dong seratus dua puluh ribu. Nggak jadi dipakai. Sekarang Aleisha pintar menyusu di payudara kanan tanpa menunggu menangis.
Nyaris Dibelikan Sufor
Hingga hari keempat setelah melahirkan, saya sama sekali belum tidur. Hanya tidur-tidur ayam. Sampai mata hitam mirip mata panda. Saya keluar kamar menjelang Maghrib saat orangtua saya datang dari Sorong. Tadinya saya berharap kedatangan orangtua dapat membantu meredakan stres yang sudah memuncak. Ternyata ….
Malam itu Aleisha demam. Mungkin karena kehausan atau capek akibat terus-terusan menangis. Aleisha belum mau menyusu langsung. Saya masih mengasupnya dengan ASIP dari Mbak Asri. Sambil saya coba terus menyodorkan payudara. Tangisan Aleisha membuat ayah saya tidak bisa tidur.
“Kalau sampai nanti sore belum mau nenen, Ayah belikan X (menyebut salah satu merk susu formula),” kata ayah dengan pedenya.
What? Susu formula X? Itu kan maharani, bo.
“Nggak, ah. Bikin bangkrut,” tolak saya.
“Biarin saja bangkrut. Yang penting anak enggak rewel. Nanti Ayah bantuin buat beli susu,” desak ayah.
Hadeuh. Pendeknya pikiran orangtua. Cuma supaya anak diam terus dengan entengnya kasih sufor. ASI saya sudah keluar, kok. Hanya Aleisha perlu belajar sedikit lagi.
“Ayah nggak ingat sama, tuh, bocah,” tunjuk saya ke adik yang usianya beda lima belas tahun. “Nggak ingat gaji habis cuma buat beli susu kaleng. Sampai aku langganan majalah tiga puluh lima ribu aja distop. Belum lagi penyakitnya yang aneh-aneh.”
Eh, ayah langsung diam sambil senyum. Nah, kena, deh. Memang adik saya sejak lahir minum sufor. Akibatnya duit ibu dan ayah amblas buat beli susunya dia. Dan setiap bulan pasti rajin silaturahim ke dokter anak.
Seperti yang saya bilang sebelumnya, hari kelima Aleisha sudah mau menyusu kepada saya. Demamnya langsung turun. Subhanallah … betapa canggihnya cairan emas ciptaan Allah ini.
Puting Nyeri
Katanya saat baru menyusui, banyak ibu-ibu yang putingnya lecet akibat pelekatan yang salah. Alhamdulillah sebelum melahirkan saya berkunjung ke klinik laktasi. Sehingga tahu posisi latch on yang benar. Namun puting saya tetap lecet karena kering. Ya, saya sering reflek menyabuni puting saat mandi. Kering, deh. Tapi obatnya gampang. Cukup oleskan ASI dan puting lembab kembali.
Sayangnya, ada bagian dari puting yang tidak ada kulit arinya. Mungkin karena awalnya inverted. Ketika tertarik keluar oleh hisapan, jadi seperti itu. Saya sempat parno menyusui karena nyeri sekali saat puting melewati gusi Aleisha. Saya selalu oleskan ASI. Namun tetap seperti itu. Beberapa kali tidak saya susukan. Memang mengering. Tapi begitu dihisap Aleisha lagi, bagian puting itu lembab lagi. Saya pun mencoba curhat sama Aleisha.
“Nduk, anak hebat. Puting Bunda sakit nih. Bantu Bunda, ya, Nduk. Pelan-pelan nenennya. Biar Bunda nyaman.”
Ternyata bayi sangat pintar. Aleisha selalu pelan-pelan ketika menangkap puting saya. Alhamdulillah … walaupun luka, saya tidak pernah merasakan nyeri lagi.
*foto milik ariminrua, di kontes Indahnya Masa Menyusui, Breastfeeding Week 2011
No matter how hard breastfeeding was, I love it.
*Breastfeeding is worth fighting for, right?