Sorry, we couldn't find any article matching ''
When 2 (Not Always) Become One
Malam itu, kami sedang menonton sebuah acara televisi.
Saya: “Itu siapa, sih?”
Suami: “Itu Hariman Siregar, dia aktivis mahasiswa pas Malari tahun 74 yang mau menjatuhkan Soeharto model kaya tahun 98 kemarin.”
Suami saya pun menjelaskan panjang lebar mengenai Hariman Siregar dan kami pun asyik mengobrol mengenai kondisi politik Indonesia. Sampai tiba-tiba, “Ini lagu apa, sih?”
Saya: “Oh, itu George Michael. Ini lagu Wake Me Up Before You Gogo waktu dia masih sama The Wham, band-nya.”
Ya, kira-kira dapat gambaran, ya, bagaimana ‘dekat’nya interest saya dan suami? Masih banyak lagi perbedaan antara kami berdua.
Saya dari kecil hidup dekat dengan keluarga. Suami sejak SMP sudah ‘keluar’ rumah untuk sekolah di kota lain.
Saya biasa menghabiskan waktu dengan teman-teman di cafe atau coffee shop, suami suka camping atau naik gunung.
Saya enggan keluar rumah kalau hanya memakai daster, suami cuek pakai sandal jepit kalau ke mal.
Saya penikmat buku, majalah, tabloid dan film, suami penikmat koran dan tayangan berita serta sepakbola.
Begitu banyak perbedaan antara kami, bahkan banyak orang-orang sekitar kami yang berspekulasi saat kami mulai dekat dan memutuskan menikah. Tragis, ya *duile, lebay amat, haha*. Tapi serius, banyak yang meragukan hubungan kami. Terus apa yang membuat kami tetap bersama?
Niat *suit suiiit*.
Pasti banyak Mommies yang merasa hubungan dengan suaminya juga penuh perbedaan. Tapi sungguh, kalau sudah kenal saya dan suami baru akan tahu perbedaan macam apa yang ada di antara kami.
Di awal pernikahan hingga tahun keempat pernikahan, menyatukan 2 kepala (yang kebetulan sama-sama keras, nah ini dia persamaan kami, sama-sama keras kepala!), nggak mudah sama sekali. Ada saja hal-hal kecil yang kami ributkan, mulai dari saya yang merasa nggak diperhatikan, suami yang merasa dicurigai terus akibat saya kalau nanya seperti satpam (hehehe) dsb dsb.
Semakin ke sini, makin sadar bahwa niat saja nggak cukup dalam pernikahan. Harus ada toleransi antara suami dan istri. Seniat-niatnya atau secinta-cintanya, kalau nggak ada toleransi, perpisahan bisa saja terjadi. Nah, batas toleransi ini dalam setiap manusia kan berbeda-beda, ya. Misalnya, ada yang bisa cemburu buta kalau lihat istrinya terima SMS dari pria lain (ya, terima SMS saja padahal, kirim saja tidak), sementara pasangan yang lain si suami malah bisa mingle sama sahabat-sahabat istri yang lelaki semua itu. Yang lain lagi, ada pasangan yang suaminya merelakan sang istri menjadi bread winner, sementara pasangan lain si suami bete melihat istrinya sibuk dan karirnya bagus di kantor.
Menyadari hal ini, kami berkaca pada diri masing-masing, sejauh mana batas toleransi yang ada dalam diri masing-masing. Apakah saat suami nggak kasih kabar setiap 2 jam sekali harus jadi masalah? Apakah saat saya tertidur nggak bukakan pintu saat ia pulang malam akan dijadikan masalah olehnya? Atau sesederhana, apakah kalau suami menaruh handuk basah di kasur jadi masalah?
We try not to sweat small things. Mencoba, ya, bukan berarti saat ini sudah tidak melakukannya. Lalu berpikiran positif, suami nggak bisa ngasih kabar, saya lebih memilih untuk berpikir, “Oh, mungkin baterai habis atau nggak ada sinyal” daripada meneleponnya (yang nggak diangkat-angkat) atau mengirimkan beribu SMS (yang tidak dibalas), bikin kesal sendiri, kan? Mendingan berpikiran positif dan memiliki kesibukan sendiri.
Kemarin, 29 Juli, adalah 5 tahun kami bersama. Tak ada perayaan, tak ada kado spesial, tak ada bunga atau apa pun. Saya pribadi hanya bersyukur, kami bisa berjalan sejauh ini.
Kami memang telah menikah, menjadi satu dalam sebuah keluarga. Tapi ada hal-hal di mana kami harus tetap menjadi diri sendiri. Suami saya sangat mengerti jika saya butuh me-time entah nonton konser, ke bioskop, atau hang out dengan teman-teman zaman single. Demikian pun saya, nggak boleh menghentikan hobinya naik gunung, camping atau hanya sekedar nongkrong dengan sahabat-sahabatnya.
Banyak teman suami saya yang bilang, bahwa ia beruntung menikah dengan saya yang ‘rela’ membiarkan ia nongkrong dengan teman-teman lainnya tanpa harus berkilah, mencari alasan yang masuk akal atau berbohong pada pasangannya. Bahkan, teman-temannya yang masih single pun bilang, mau cari istri yang seperti saya, yang bisa membiarkan suami pergi kemana-mana sendiri, bergaul dengan teman-temannya *uhuk, maap, ini special edition, hihihi*.
Walaupun banyak yang memuji cara kami, tapi tidak ada yang sempurna kan? Kehidupan pernikahan setiap pasangan pasti berbeda. Ada yang setelah menikah langsung menjadi satu kemana pun mereka pergi atau ada juga yang seperti kami, which one are you, Mommies?
*foto jaman pacaran (sekitar 7 tahun yang lalu) masih ada dan selalu jadi primary pic dalam dompet kami. Ceileee :D
Share Article
COMMENTS