Saya divonis mengidap penyakit jantung "Arithmia Cordis" ketika masih kelas 4 SD. Saat itu, vonis datang setelah saya dibawa ke Rumah Sakit untuk general check-up, setelah berulang kali pingsan tanpa diketahui dengan jelas apa penyebabnya. Ternyata, ritme jantung saya tidak teratur seperti manusia sehat pada umumnya.
Life goes on! Seperti kata dokter anak ahli jantung yang menangani saya, hidup saya tidak boleh 'terganggu' dengan ritme jantung yang tidak beraturan, dan terkadang membuat saya pingsan jika terlalu lelah atau karena menahan tangis. Tidak ada obat yang saya minum. Demi menjaga ritme jantung, saya harus menyadari dengan pasti kapan alarm tubuh saya berbunyi dan mengharuskan saya istirahat. Pingsan terakhir yang saya ingat itu waktu saya kuliah semester 3 karena menahan sakitnya haid.
Haid sakitnya sampai pingsan? Eits, jangan sedih, hehehe. Saya adalah salah satu anak SMP-SMA yang pasti izin setidaknya sebulan dua kali untuk stay at home ketika haid di hari pertama dan kedua. Dari pada pingsan di sekolah, begitu praktisnya. Kenapa sakit sekali? Kata ibu, sakit ketika haid itu biasa, jadi saya tidak pernah mencari tahu lebih lanjut. Akhirnya penyebab sakit sampai pingsan ketika haid, baru saya ketahui ketika saya hamil! Dokter kandungan saya kesulitan melihat kantung rahim waktu USG pertama kali. Beliau sampai berdiri dan konsentrasi tinggi menggerakkan alatnya demi menemukan si kantung rahim. Ternyata, posisi rahim saya terbalik dan agak di belakang. Istilah medisnya: retroflexy. Inilah sebabnya saya merasakan sakit berlebihan ketika haid, dan juga 'ngerjain' sperma suami yang konon harus bekerja lebih keras untuk bisa ketemuan sama si telur.
Pertanyaan selanjutnya: apakah saya bisa melahirkan dengan normal?
Jawabannya: (ternyata) Bisa. Sejujurnya, walaupun saya memang ingin melahirkan normal, tapi saat mengetahui soal kehamilan ini, saya belajar ikhlas apabila harus operasi karena penyakit jantung dan letak si rahim. Tapi Alhamdulillah, dokter kandungan saya saat itu terus menyemangati dan memberikan banyak informasi yang membuat saya yakin soal melahirkan secara normal (padahal saya saat itu selalu 'merengek' menanyakan apakah saya benar-benar bisa melahirkan normal karena kalau haid saja saya bisa melintir kesakitan sampai pingsan). DSOG waktu itu bilang, jika memang harus operasi, nantinya itu merupakan operasi tanpa rencana karena ada suatu hal yang mengancam nyawa ibu atau bayi (atau keduanya).
Bagaimana proses melahirkannya?
Ketika bidan datang di ruang observasi, saya menyebutkan soal penyakit jantung dan letak rahim. Dokter kandungan saya tidak menyebutkan pilihan soal ILA atau epidural. Menurut beliau, titik puncak sakit kontraksi bisa diatasi dengan mengatur nafas yang baik. Setelah menunggu selama kurang lebih 6 jam sampai pembukaan lengkap, saya bersiap mengejan sesuai aba-aba. Dua kali mengejan salah hingga urat di dada saya masih terlihat sampai sekarang, akhirnya di percobaan mengejan yang ketiga saya berhasil membantu bayi perempuan saya lahir dengan selamat ke bumi. Tanpa intervensi alat medis, bahkan tanpa tambahan oksigen. Sesungguhnya pagi itu, saya takjub dengan diri saya sendiri yang biasanya 'cemen' banget ketika sakit saat haid. Dokter kandungan pun tersenyum lebar dan bilang, "Hebat, Saz!" Belakangan, ketika saya kontrol setelah melahirkan, dokter mengatakan ritme jantung saya sangat baik ketika melahirkan. Sakit berlebih karena posisi rahim terbalik pun, tidak terasa karena beberapa hormon seperti adrenalin dan oksitosin ikut berpacu cepat dalam tubuh.
Sejujurnya, saya bangga karena bisa melahirkan normal dengan riwayat penyakit jantung dan posisi rahim yang abnormal. Karena tadinya saya tidak pernah terpikir sedikitpun soal melahirkan normal (dalam kasus saya, punya penyakit jantung). Ternyata pikiran saya dibuka oleh dokter kandungan yang tidak pelit ilmu dan memberikan banyak referensi sebagai bahan untuk menambah pengetahuan. Jadi jangan berkecil hati dulu jika memiliki penyakit bawaan dari kecil. Konsultasikan dengan dokter kandungan dan pastikan semua keputusan adalah win-win solution untuk semua pihak. Jangan juga malas mencari opini kedua atau ketiga jika merasa kurang puas dengan hasil konsul yang pertama. Yang perlu diingat, normal atau operasi sesar sebetulnya sama saja, kesehatan dan keselamatan ibu dan bayi yang utama.