..........saya adalah terlalu lama tinggal dengan orang tua. *big grin*
Setelah menikah pada akhir 2005, saya langsung diboyong suami ke Bandung dan tinggal di rumah mertua selama satu setengah tahun. Bukan pilihan terbaik memang, tapi apa boleh buat. Tabungan saya dan suami habis untuk biaya menikah apalagi perusahaan tempat suami dan saya bekerja di Bandung adalah perusahaan lokal yang belum bisa memberikan kesejahteraan layak bagi karyawannya. Alokasi gaji waktu itu: tabungan untuk biaya melahirkan, uang saku sebulan dibagi dua, dana belanja bulanan dan amplop untuk mertua. Biarpun orangtua/mertua sendiri, bantu keuangan mereka itu penting dan saya juga belajar untuk membayar pengeluaran sendiri. Dari sisa gaji yang ada, barulah jadi simpanan. Salah, ya?!
Tapi bukannya tidak mencoba cari rumah, lho. Usaha cari rumah tetap jalan. Pernah kita menemukan kawasan perumahan baru yang harganya terjangkau sekali tetapi tidak kita ambil. Kenapa? Lokasinya jauh di pinggiran kota (tentunya), rumahnya tipe kecil (pastinya), nanti kalau punya anak gimana, dan alasan yang kalau dipikir-pikir 'manja' sekali. Mau rumah dekat pusat kota dan mertua? Aih, mahal, uang tabungan belum cukup bahkan untuk down payment sekalipun. Biarpun sudah tahu ingin beli rumah, tapi alokasi simpanan tetap segitu-segitu saja. Ini tetap salah, ya?
Awal 2007, kami boyongan lagi ke rumah orangtua saya di Semarang karena suami pindah kerja dan ditugaskan di sini. Senang? Pasti, apalagi ketika itu saya dalam kondisi hamil dan butuh bantuan orangtua untuk merawat bayi. Di perusahaan baru tempat suami bekerja, kesejahteraan karyawan dan keluarganya sangat diperhatikan. Alhasil, kami mengalihkan dana biaya melahirkan untuk belanja keperluan bayi dan akikah. Untuk pengeluaran bulanan, pembagiannya tetap sama seperti sebelumnya.
Tiga bulan setelah Ayesha lahir, saya kembali bekerja. Dengan dua sumber pendapatan, seharusnya kami lebih cepat mengumpulkan uang untuk beli rumah. Eh, tapi kok masih jauuuh saja. Coba dilihat lagi! Belanja bulanan, uang saku, susu dan keperluan anak, bensin, dana pendidikan anak, amplop ke orangtua dan simpanan. Eh ternyata, tabungan ini banyak tersita untuk membeli perabot rumah (kata suami, "Persiapan buat isi rumah sendiri.") dan 3 J (jajan, jalan jalan). Sikap santai ini dipicu kenyataan bahwa, "Ah, masih bisa tinggal di rumah orang tua ini." Jadi jumlah uang yang disisihkan semau-mau kita aja lah. Padahal salah banget, ya!
Beli rumahnya gimana? Keinginan masih membara, tapi selalu ditunda dengan alasan klasik, "Entar, kalau uangnya sudah cukup."
Pertengahan 2009, orang tua mengutarakan niat untuk pulang kampung ke Tasikmalaya dan akan menjual rumah di Semarang. Panik? Ya. Rumah belum punya. Siapa yang menjaga Ayesha? Di sinilah titik di mana akhirnya kami harus benar-benar berpikir dan bertindak secara dewasa, bukannya masih bertingkah sebagai "anaknya orangtua".
Saya mengajukan resign dari kantor. Rasanya bisa gila kalau memikirkan Ayesha berada di rumah hanya dengan ART. Dan benar saja, beberapa bulan kemudian dia keluar. Eh, tapi lumayan bisa mengurangi pengeluaran, toh di rumah kan hanya bertiga. Gampanglah. Selain itu sementara rumah belum laku dijual, kami diminta menempatinya dahulu. Dari yang tadinya hanya tahu beres pengeluaran perawatan rumah, sekarang harus ditanggung sendiri. Bayar listrik, air, telepon rumah, iuran RT, keperluan rumah tangga lain yang otomatis bertambah, belanja harian, ditambah kenyataan bahwa pemasukan rumah tangga hanya dari penghasilan suami.
Hunting rumah pun segera dimulai (lagi). Kriteria rumah kali ini tidak neko-neko. Yang penting terjangkau, mengenai tipe dan lokasi tidak masalah, asal tidak kecil-kecil amat dan jauh-jauh amat.
Rumah sudah didapat, bagaimana cara membeli? KPR tentunya. Tabungan kami terkuras untuk membayar DP dan tetek bengek lainnya (bank admin fee, notaris, BPHTP, AJB). Belum lagi karena rumahnya adalah rumah second, kami harus mengeluarkan uang lagi untuk merenovasi beberapa bagian rumah. Habis-habisan? Ya, tapi terbayar lunas dengan rasa puas, akhirnya mempunyai rumah sendiri.
Kewajiban pengeluaran bertambah dengan adanya cicilan KPR tiap bulannya. Ini puncak kesalahan perencanaan keuangan saya. Ternyata nominal cicilan KPR ini lebih besar daripada simpanan yang disisihkan setiap bulannya. Memang jumlahnya tidak melebihi 30% penghasilan, tapi tetap saja bikin saya dan suami terkaget-kaget.
gambar dari sini
Perlahan-lahan saya menghitung ulang pengeluaran. "Need" diutamakan, "want" dilupakan sejenak. Berhemat adalah pilihan terbaik dan akhirnya kami terbiasa dengan hal ini. Apakah ini berarti kondisi keuangan sudah stabil? Oh belum. Masih ada dalam daftar di benak saya, bagaimana nanti kalau punya anak lagi? Harus mempersiapkan dana pendidikan lagi, belanja keperluan anak lagi lagi, punya ART,menambah investasi,renovasi rumah, menyisihkan uang lebih banyak lagi, dan sebagainya ... dan sebagainya ....
Terlalu banyak keinginan? Rasanya sih tidak, saya hanya ingin merencakan keuangan lebih baik dan tidak melakukan kesalahan lagi.